Selasa, 06 Oktober 2015

Ulil: Yang Tetap dan Yang Berubah



Yang Tetap dan Yang Berubah
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

Kalau saya menyaksikan dunia Islam sekarang ini dari suatu jarak, akan tampak bahwa umat Islam saat ini cenderung memberikan tekanan yang berlebihan terhadap aspek “permanensi” ketimbang “perubahan”; aspek yang “tetap” (al-tsabit) ketimbang yang berubah (al-mutahawwil). Dalam hampir setiap diskusi yang saya ikuti, selalu ada kekhawatiran pada sebagian publik Islam bahwa perubahan yang tak terkontrol akan dapat merusak agama itu sendiri.

Karena percepatan perubahan dalam pelbagai aspek kehidupan modern saat ini, dorongan untuk berpegangan kepada al-tsabit lebih kuat ketimbang kepada al-mutahawwil. Perubahan kerap dicurigai. Masa lalu selalu dijadikan model yang “tetap” untuk mengontrol serta mengendalikan perubahan itu.

Istilah al-tsabit dan al-mutahawwil datang dari seorang penyair dan budayawan besar Arab modern, Adonis. Istilah itu dia gunakan untuk judul bukunya yang menjadi diskusi ramai di dunia Arab pada tahun 80-an, Al-Tsabit wa-Al Mutahawwil: Bahts fil al-Ittiba’ wa al-Ibda’ ’inda al-’Arab” (Yang Tetap dan Yang Berubah: Pembahasan Perihal Epigonisme dan Inovasi di Dunia Arab).

Buku yang terdiri atas tiga jilid itu mengupas dengan baik akar-akar intelektual, politik, dan kultural yang menyebabkan mandeknya kreativitas di dunia Arab.

Dengan argumentasi yang bertakik-takik, berlapis-lapis, rumit, dan canggih, Adonis sampai kepada kesimpulan bahwa di dunia Arab, aspek al-ittiba’ lebih menonjol ketimbang al-ibda’.  Al-ittiba’: mengikut pola yang sudah ada. Al-ibda’: menempuh jalan baru yang belum parnah dirambah sebelumnya. Ittiba’ adalah membebek saja terhadap generasi lampau yang kerap disebut sebagai “salaf”; ibda’ adalah mencipta sendiri sesuatu yang baru yang belum pernah ada contohnya pada generasi salaf itu.

Bagi Adonis, “masa lampau” terlalu kuat menguntit memori masa kini dunia Arab sehingga gerak perubahan ke masa depan terhambat. Ini terjadi pada kehidupan pemikiran, politik, dan kebudayaan.
Saya kira, tidak ada salahnya kalau kesimpulan Adonis itu di-ta’mim atau digeneralisasi untuk dunia Islam pada umumnya, khususnya Indonesia. Kerap kita dengar retorika berikut ini: bahwa dalam Islam ada al-tsawabit atau kaidah-kaidah tetap yang bersifat universal dan tidak boleh dibantah. Setiap upaya menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman akan di-wanti-wanti agar tidak menabrak tsawabit itu. Bukan Islam yang harus disesuaikan dengan zaman, tetapi sebaliknya.

Intinya: ada kecenderungan pada sebagian umat untuk takut pada sesuatu yang ’berubah”. Pada kasus dunia Arab, stagnasi pemikiran di dunia Arab, bagi Adonis, tidak bisa diatasi kalau tidak ada perubahan paradigmatik, yaitu mengubah fokus dari “masa lampau” kepada situasi “kini” yang terus berubah.

Kesimpulan ini, saya kira, bisa kita pakai untuk dunia Islam secara luas. Jika tidak ada perubahan fokus dari tsawabit kepada perubahan, maka stagnasi dalam dunia Islam tidak bisa diatasi. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar