Yang
Tetap dan Yang Berubah
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
Kalau saya menyaksikan dunia
Islam sekarang ini dari suatu jarak, akan tampak bahwa umat Islam saat ini
cenderung memberikan tekanan yang berlebihan terhadap aspek “permanensi”
ketimbang “perubahan”; aspek yang “tetap” (al-tsabit) ketimbang yang berubah
(al-mutahawwil). Dalam hampir setiap diskusi yang saya ikuti, selalu ada
kekhawatiran pada sebagian publik Islam bahwa perubahan yang tak terkontrol
akan dapat merusak agama itu sendiri.
Karena
percepatan perubahan dalam pelbagai aspek kehidupan modern saat ini, dorongan
untuk berpegangan kepada al-tsabit lebih kuat ketimbang
kepada al-mutahawwil. Perubahan kerap dicurigai. Masa lalu selalu
dijadikan model yang “tetap” untuk mengontrol serta mengendalikan perubahan
itu.
Istilah al-tsabit dan al-mutahawwil datang
dari seorang penyair dan budayawan besar Arab modern, Adonis. Istilah itu dia
gunakan untuk judul bukunya yang menjadi diskusi ramai di dunia Arab pada tahun
80-an, Al-Tsabit wa-Al Mutahawwil: Bahts fil al-Ittiba’ wa al-Ibda’ ’inda
al-’Arab” (Yang Tetap dan Yang Berubah: Pembahasan Perihal Epigonisme dan
Inovasi di Dunia Arab).
Buku yang
terdiri atas tiga jilid itu mengupas dengan baik akar-akar intelektual,
politik, dan kultural yang menyebabkan mandeknya kreativitas di dunia Arab.
Dengan
argumentasi yang bertakik-takik, berlapis-lapis, rumit, dan canggih, Adonis
sampai kepada kesimpulan bahwa di dunia Arab, aspek al-ittiba’ lebih
menonjol ketimbang al-ibda’. Al-ittiba’: mengikut pola yang sudah
ada. Al-ibda’: menempuh jalan baru yang belum parnah dirambah sebelumnya.
Ittiba’ adalah membebek saja terhadap generasi lampau yang kerap disebut
sebagai “salaf”; ibda’ adalah mencipta sendiri sesuatu yang baru yang
belum pernah ada contohnya pada generasi salaf itu.
Bagi
Adonis, “masa lampau” terlalu kuat menguntit memori masa kini dunia Arab
sehingga gerak perubahan ke masa depan terhambat. Ini terjadi pada kehidupan
pemikiran, politik, dan kebudayaan.
Saya
kira, tidak ada salahnya kalau kesimpulan Adonis itu di-ta’mim atau
digeneralisasi untuk dunia Islam pada umumnya, khususnya Indonesia. Kerap kita
dengar retorika berikut ini: bahwa dalam Islam ada al-tsawabit atau
kaidah-kaidah tetap yang bersifat universal dan tidak boleh dibantah. Setiap
upaya menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman akan di-wanti-wanti agar
tidak menabrak tsawabit itu. Bukan Islam yang harus disesuaikan
dengan zaman, tetapi sebaliknya.
Intinya:
ada kecenderungan pada sebagian umat untuk takut pada sesuatu yang ’berubah”.
Pada kasus dunia Arab, stagnasi pemikiran di dunia Arab, bagi Adonis, tidak
bisa diatasi kalau tidak ada perubahan paradigmatik, yaitu mengubah fokus dari
“masa lampau” kepada situasi “kini” yang terus berubah.
Kesimpulan ini, saya kira, bisa kita pakai untuk dunia Islam
secara luas. Jika tidak ada perubahan fokus dari tsawabit kepada perubahan,
maka stagnasi dalam dunia Islam tidak bisa diatasi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar