Terorisme, Anarkisme, dan Deradikalisasi
Oleh: Hasibullah Satrawi
Sebagai presiden terpilih, Joko Widodo menyatakan akan memberikan
perhatian pada penyelesaian radikalisme dalam pemerintahan keduanya.
Ini salah satu visi besar yang kontekstual untuk masa sekarang.
Visi besar tentu memiliki tantangan tak kalah besar. Sebagai langkah awal,
beberapa kementerian yang selama ini tak terlalu masuk dalam penanganan masalah
radikalisme mulai didorong berperan secara lebih aktif. Bahkan, deradikalisasi
menjadi salah satu tugas khusus Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Politik,
Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
Persoalannya, sebagai sebuah masalah, radikalisme belum jadi rumus
yang dimafhumi semua pihak, alih-alih disepakati. Radikalisme pun acap jadi
konsepsi liar, multitafsir, dan cenderung jadi ”penghakiman” kepada pihak lain
sekaligus ”pembersih” untuk diri sendiri. Bahkan, belakangan jadi kontroversi.
Sebagian pihak menggunakan istilah radikalisme, padahal yang dimaksud adalah
terorisme. Sebagian lain menggunakan istilah radikalisme untuk merujuk problem
intoleransi, anarkisme, serta penolakan pada Pancasila dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Masih banyak lagi kemungkinan lain sebagai bentuk rumusan
subyektif dari sebuah masalah yang diberi nama radikalisme, termasuk di
dalamnya bentuk-bentuk pakaian tertentu dan ekspresi tertentu.
Ketika istilah radikalisme menjadi kontroversi, beberapa persoalan
riil yang tak secara mufakat disebut dengan istilah radikalisme justru semakin
akut. Pelbagai macam aksi kekerasan (dari penusukan hingga pengeboman) sebagai
salah satu inti persoalan justru acap semakin tak terkendali memakan korban
dari kalangan masyarakat sipil hingga aparat. Di sini dapat ditarik kesimpulan
awal, di balik kontroversi istilah radikalisme, ada kegagalan dalam
mendefinisikan beberapa inti persoalan secara tepat, akurat, dan disepakati
bersama.
Terorisme
Persoalan pertama adalah terorisme. Merujuk pada UU No 5/2018,
terorisme didefinisikan sebagai ”Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas,
yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan
hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi,
politik, atau gangguan keamanan” (Pasal 1 Ayat 2).
Dengan definisi itu, cakupan terorisme sudah sangat jelas.
Sejatinya terorisme tak boleh diperluas menjadi radikalisme yang cenderung liar
dan subyektif mengingat definisi itu telah memberikan gambaran yang sangat
jelas, termasuk motifnya; ideologi, politik, dan gangguan keamanan. Terlebih
lagi ketentuan-ketentuan selanjutnya dalam UU ini tak hanya membatasi persoalan
terorisme pada aksi pengeboman ataupun penyerangan (aksi kekerasan), tetapi
juga peran dan keanggotaan seseorang dalam sebuah organisasi teror, baik di
dalam maupun di luar negeri (Pasal 12 A). Bahkan, juga termasuk pelatihan
militer (Pasal 12B).
Hal yang jamak disalahpahami oleh banyak pihak selama ini adalah
bahwa terorisme seakan selalu berangkat dari radikalisme (dalam hemat penulis,
istilah yang lebih tepat adalah anarkisme atau intoleran) ataupun radikalisme
selalu berakhir dengan terorisme. Padahal, yang terjadi di lapangan tak selalu
demikian. Sebagian orang jadi teroris tanpa melalui proses radikalisme,
sebaliknya tak selalu orang yang disebut radikal menjadi teroris.
Adalah benar bahwa ada sebagian orang yang menjadi teroris setelah
mengalami radikalisasi sebelumnya. Namun, hal ini terlalu kecil kasusnya untuk
dijadikan sebagai rumus paten bahwa seorang teroris harus melalui radikalisasi
ataupun orang yang radikal pasti menjadi teroris. Singkat kata, hal-hal yang
terkait dengan terorisme bersifat spesifik, tak bisa diperluas ke wilayah lain.
Dalam hal aksi kekerasan yang dilakukan, contohnya kelompok teroris kerap
menggunakan cara-cara nonkonvensional, seperti pengeboman, penembakan, bahkan
taktik perang kota.
Hal lebih kurang sama juga terjadi dalam konteks doktrin. Kelompok
teroris memiliki jenis doktrin spesifik yang tak dimiliki kelompok lain yang
selama ini disebut dengan istilah radikal. Dalam hal pengafiran, contohnya
kelompok teror tak hanya melakukan pengafiran secara umum, tetapi sampai pada
tahap pengafiran secara spesifik (takfir
mu’ayyan), seperti vonis kafir yang dijatuhkan kepada aparat
keamanan yang dianggap sebagai anshar
thaghut (penolong thaghut)
dan anggota DPR yang dianggap merampas hak legislasi (tasyri’) dari Allah.
Bahkan, sebagian kelompok teroris (khususnya yang bergabung dengan NIIS) sampai
pada tahap tidak mau makan daging yang dijual di pasar karena keislaman orang
yang menyembelih diragukan atau bahkan telah dianggap kafir.
Secara jumlah, kelompok teroris seperti ini bisa dibilang sedikit.
Menurut beberapa sumber di lapangan, saat ini terdapat sekitar 600 orang yang
dipenjara karena persoalan terorisme. Walaupun, misalkan, angka ini diperbesar
menjadi 700-an (dengan penangkapan pasca-penusukan Wiranto dan bom Medan) atau
bahkan 2.000 (dengan mereka yang sudah bebas) atau bahkan 20.000 sekalipun, itu
tetap sedikit sebagai sebuah jumlah, khususnya apabila dibandingkan dengan
populasi penduduk Indonesia.
Namun, dilihat dari sadisme dan kekerasan yang dilakukan, kelompok
ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi mereka memiliki militansi dan orientasi
hidup yang berbeda; kebanyakan orang takut mati, tetapi kelompok teroris justru
berani mati. Kelompok ini secara spesifik dan definitif bisa disebut dengan
istilah terorisme daripada radikalisme.
Anarkisme
Persoalan kedua adalah anarkisme. Persoalan ini mungkin terlihat
ada kemiripan dengan terorisme mengingat sama-sama menggunakan kekerasan dalam
menjalankan perjuangannya. Namun, anarkisme sejatinya berbeda dengan terorisme.
Dalam hal kekerasan yang dilakukan, contohnya, kelompok anarkis
atau intoleran lebih menggunakan cara-cara yang bersifat konvensional, seperti
pelemparan batu, bambu runcing, atau hal-hal konvensional lainnya. Pun demikian
dengan sasaran aksinya. Pada umumnya kelompok intoleran menyasarkan aksinya
pada tempat-tempat maksiat, penjual minuman keras, ataupun tempat-tempat lain
yang dianggap menjadi tempat perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Meski demikian, secara jumlah kelompok seperti ini hampir bisa
dipastikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok teroris mengingat
kekerasan di wilayah ini acap kali melibatkan para pihak yang tergabung dalam
sebuah ormas dengan struktur lengkap hingga ke banyak daerah. Bahkan, ormas
yang ada secara resmi terdaftar sebagai organisasi yang legal dalam sistem
hukum Indonesia.
Sebagaimana kelompok teroris, aksi kekerasan yang dilakukan oleh
kelompok ini juga menjadi persoalan. Walaupun kerap dilakukan atas nama melindungi
masyarakat, kekerasan yang dilakukan tak bisa dibenarkan. Minimal karena
perbuatan itu masuk dalam kategori tindakan kekerasan dan melakukan kegiatan
yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan Perppu No 2/2017
tentang Ormas (Pasal 59 poin 3 huruf c dan d). Secara spesifik dan
definitif, kelompok ini dapat disebut dengan istilah anarkisme daripada
radikalisme.
Dalam konteks NKRI dan Pancasila, kelompok teroris dipastikan
bersikap anti dan tak mau mengakuinya mengingat Pancasila dan NKRI dianggap
sebagai sistem thaghut.
Tunduk dan menerima NKRI sama dengan tunduk dan menerima thaghut yang dianggap
merusak keimanan mereka. Sementara kelompok anarkisme tidak semua bersikap anti
terhadap NKRI dan Pancasila walaupun sebagian dari mereka ada yang berjuang
secara non-kekerasan untuk mengganti NKRI dengan sistem pemerintahan khilafah.
Deradikalisasi
Sebagaimana istilah radikalisme bersifat problematis karena
cenderung liar dan subyektif, istilah deradikalisasi sejatinya mengandung problem
lebih kurang sama. Sebelum menjadi bahasa hukum, istilah deradikalisasi bisa
dipahami sebagai upaya membuat seseorang tidak menjadi radikal. Belakangan,
istilah deradikalisasi menjadi bahasa hukum seiring disahkannya UU No 5/2018
sebagai revisi atas UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Dalam UU ini, deradikalisasi didefinisikan sebagai ”Suatu proses
yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan
untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme
yang telah terjadi” (Pasal 43D, Ayat 1). Deradikalisasi dilakukan kepada
tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, dan
orang atau kelompok yang sudah terpapar paham radikal terorisme (Pasal 43D Ayat
2) melalui empat tahapan: identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, reintegrasi
(Pasal 43D Ayat 4).
Dengan pengertian seperti di atas, obyek deradikalisasi adalah
mereka yang sudah terpapar paham radikal terorisme (meminjam istilah yang
digunakan dalam UU ini). Sementara upaya deradikalisasi di kalangan masyarakat
luas yang belum terpapar tidak disebut dengan istilah deradikalisasi, tetapi
kontraradikalisasi (Pasal 43C).
Konsepsi deradikalisasi yang sekarang telah menjadi bahasa hukum
ada kemiripan dengan program deradikalisasi yang dikembangkan dan dijalankan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), khususnya pada masa-masa awal
(sekitar 2013). Dugaan penulis, konsep deradikalisasi yang saat ini jadi salah
satu norma dalam UU No 5/2018 diadopsi dan dikembangkan dari program
deradikalisasi BNPT di atas.
Jika hal ini benar, pengadopsian konsep deradikalisasi dari bahasa
program menjadi bahasa hukum mengandung keistimewaan sekaligus kelemahan.
Menjadi keistimewaan karena segala prosesnya telah menjadi norma hukum yang
harus dijalankan oleh para pihak. Menjadi kelemahan karena dengan demikian,
deradikalisasi sebagai sebuah proses mengalami sebentuk pembakuan dengan
kekakuan tertentu pada tingkat tertentu pula.
Berdasarkan pengalaman penulis dalam beberapa tahun terakhir
terkait upaya membangun perdamaian, baik di dalam maupun di luar lembaga
pemasyarakatan (lapas), dibutuhkan adanya energi sangat besar dengan segala
kehati-hatian, kelenturan, dan keberanian dalam menghadapi mereka yang terpapar
paham ekstrem sekaligus mendukung setiap perubahan yang dialami oleh mereka
(akibat pendekatan tertentu), sekecil apa pun. Tentu semuanya dengan tetap
berpegang teguh pada prinsip akurasi, koordinasi, dan partisipasi dari semua
pihak, mulai dari aparat keamanan, petugas lapas, tokoh agama, peneliti, bahkan
hingga para korban aksi terorisme, mengingat hal ini terkait dengan keyakinan
orang yang tak otomatis berubah hanya karena dihukum atau bahkan ditembak mati
sekalipun.
Kembali ke visi besar Presiden Jokowi, semua itu harus dibarengi
dengan penggunaan diksi yang tepat sebagai cerminan dari penguasaan masalah
yang ada. Pada tahap selanjutnya, pemilihan dan penempatan orang yang tepat
sesuai dengan keahlian dan kebutuhan yang ada di lapangan. Terakhir, yang tak
kalah penting adalah pengelolaan yang terorganisasi sebagai satu tim untuk
memenangi perdamaian dan mewujudkan Indonesia maju ke depan. []
KOMPAS, 2 Desember 2019
Hasibullah Satrawi | Alumnus
Al Azhar Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar