Rabu, 11 Desember 2019

Satrawi: Terorisme, Anarkisme, dan Deradikalisasi


Terorisme, Anarkisme, dan Deradikalisasi
Oleh: Hasibullah Satrawi

Sebagai presiden terpilih, Joko Widodo menyatakan akan memberikan perhatian pada penyelesaian radikalisme dalam pemerintahan keduanya.

Ini salah satu visi besar yang kontekstual untuk masa sekarang. Visi besar tentu memiliki tantangan tak kalah besar. Sebagai langkah awal, beberapa kementerian yang selama ini tak terlalu masuk dalam penanganan masalah radikalisme mulai didorong berperan secara lebih aktif. Bahkan, deradikalisasi menjadi salah satu tugas khusus Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).

Persoalannya, sebagai sebuah masalah, radikalisme belum jadi rumus yang dimafhumi semua pihak, alih-alih disepakati. Radikalisme pun acap jadi konsepsi liar, multitafsir, dan cenderung jadi ”penghakiman” kepada pihak lain sekaligus ”pembersih” untuk diri sendiri. Bahkan, belakangan jadi kontroversi. Sebagian pihak menggunakan istilah radikalisme, padahal yang dimaksud adalah terorisme. Sebagian lain menggunakan istilah radikalisme untuk merujuk problem intoleransi, anarkisme, serta penolakan pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Masih banyak lagi kemungkinan lain sebagai bentuk rumusan subyektif dari sebuah masalah yang diberi nama radikalisme, termasuk di dalamnya bentuk-bentuk pakaian tertentu dan ekspresi tertentu.
Ketika istilah radikalisme menjadi kontroversi, beberapa persoalan riil yang tak secara mufakat disebut dengan istilah radikalisme justru semakin akut. Pelbagai macam aksi kekerasan (dari penusukan hingga pengeboman) sebagai salah satu inti persoalan justru acap semakin tak terkendali memakan korban dari kalangan masyarakat sipil hingga aparat. Di sini dapat ditarik kesimpulan awal, di balik kontroversi istilah radikalisme, ada kegagalan dalam mendefinisikan beberapa inti persoalan secara tepat, akurat, dan disepakati bersama.

Terorisme

Persoalan pertama adalah terorisme. Merujuk pada UU No 5/2018, terorisme didefinisikan sebagai ”Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan” (Pasal 1 Ayat 2).

Dengan definisi itu, cakupan terorisme sudah sangat jelas. Sejatinya terorisme tak boleh diperluas menjadi radikalisme yang cenderung liar dan subyektif mengingat definisi itu telah memberikan gambaran yang sangat jelas, termasuk motifnya; ideologi, politik, dan gangguan keamanan. Terlebih lagi ketentuan-ketentuan selanjutnya dalam UU ini tak hanya membatasi persoalan terorisme pada aksi pengeboman ataupun penyerangan (aksi kekerasan), tetapi juga peran dan keanggotaan seseorang dalam sebuah organisasi teror, baik di dalam maupun di luar negeri (Pasal 12 A). Bahkan, juga termasuk pelatihan militer (Pasal 12B).

Hal yang jamak disalahpahami oleh banyak pihak selama ini adalah bahwa terorisme seakan selalu berangkat dari radikalisme (dalam hemat penulis, istilah yang lebih tepat adalah anarkisme atau intoleran) ataupun radikalisme selalu berakhir dengan terorisme. Padahal, yang terjadi di lapangan tak selalu demikian. Sebagian orang jadi teroris tanpa melalui proses radikalisme, sebaliknya tak selalu orang yang disebut radikal menjadi teroris.

Adalah benar bahwa ada sebagian orang yang menjadi teroris setelah mengalami radikalisasi sebelumnya. Namun, hal ini terlalu kecil kasusnya untuk dijadikan sebagai rumus paten bahwa seorang teroris harus melalui radikalisasi ataupun orang yang radikal pasti menjadi teroris. Singkat kata, hal-hal yang terkait dengan terorisme bersifat spesifik, tak bisa diperluas ke wilayah lain. Dalam hal aksi kekerasan yang dilakukan, contohnya kelompok teroris kerap menggunakan cara-cara nonkonvensional, seperti pengeboman, penembakan, bahkan taktik perang kota.

Hal lebih kurang sama juga terjadi dalam konteks doktrin. Kelompok teroris memiliki jenis doktrin spesifik yang tak dimiliki kelompok lain yang selama ini disebut dengan istilah radikal. Dalam hal pengafiran, contohnya kelompok teror tak hanya melakukan pengafiran secara umum, tetapi sampai pada tahap pengafiran secara spesifik (takfir mu’ayyan), seperti vonis kafir yang dijatuhkan kepada aparat keamanan yang dianggap sebagai anshar thaghut (penolong thaghut) dan anggota DPR yang dianggap merampas hak legislasi (tasyri’) dari Allah. Bahkan, sebagian kelompok teroris (khususnya yang bergabung dengan NIIS) sampai pada tahap tidak mau makan daging yang dijual di pasar karena keislaman orang yang menyembelih diragukan atau bahkan telah dianggap kafir.

Secara jumlah, kelompok teroris seperti ini bisa dibilang sedikit. Menurut beberapa sumber di lapangan, saat ini terdapat sekitar 600 orang yang dipenjara karena persoalan terorisme. Walaupun, misalkan, angka ini diperbesar menjadi 700-an (dengan penangkapan pasca-penusukan Wiranto dan bom Medan) atau bahkan 2.000 (dengan mereka yang sudah bebas) atau bahkan 20.000 sekalipun, itu tetap sedikit sebagai sebuah jumlah, khususnya apabila dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia.

Namun, dilihat dari sadisme dan kekerasan yang dilakukan, kelompok ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi mereka memiliki militansi dan orientasi hidup yang berbeda; kebanyakan orang takut mati, tetapi kelompok teroris justru berani mati. Kelompok ini secara spesifik dan definitif bisa disebut dengan istilah terorisme daripada radikalisme.

Anarkisme

Persoalan kedua adalah anarkisme. Persoalan ini mungkin terlihat ada kemiripan dengan terorisme mengingat sama-sama menggunakan kekerasan dalam menjalankan perjuangannya. Namun, anarkisme sejatinya berbeda dengan terorisme.

Dalam hal kekerasan yang dilakukan, contohnya, kelompok anarkis atau intoleran lebih menggunakan cara-cara yang bersifat konvensional, seperti pelemparan batu, bambu runcing, atau hal-hal konvensional lainnya. Pun demikian dengan sasaran aksinya. Pada umumnya kelompok intoleran menyasarkan aksinya pada tempat-tempat maksiat, penjual minuman keras, ataupun tempat-tempat lain yang dianggap menjadi tempat perbuatan yang dilarang oleh Allah.

Meski demikian, secara jumlah kelompok seperti ini hampir bisa dipastikan jauh lebih banyak dibandingkan dengan kelompok teroris mengingat kekerasan di wilayah ini acap kali melibatkan para pihak yang tergabung dalam sebuah ormas dengan struktur lengkap hingga ke banyak daerah. Bahkan, ormas yang ada secara resmi terdaftar sebagai organisasi yang legal dalam sistem hukum Indonesia.

Sebagaimana kelompok teroris, aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini juga menjadi persoalan. Walaupun kerap dilakukan atas nama melindungi masyarakat, kekerasan yang dilakukan tak bisa dibenarkan. Minimal karena perbuatan itu masuk dalam kategori tindakan kekerasan dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan Perppu No 2/2017 tentang Ormas (Pasal 59 poin 3 huruf c dan d).  Secara spesifik dan definitif, kelompok ini dapat disebut dengan istilah anarkisme daripada radikalisme.

Dalam konteks NKRI dan Pancasila, kelompok teroris dipastikan bersikap anti dan tak mau mengakuinya mengingat Pancasila dan NKRI dianggap sebagai sistem thaghut. Tunduk dan menerima NKRI sama dengan tunduk dan menerima thaghut yang dianggap merusak keimanan mereka. Sementara kelompok anarkisme tidak semua bersikap anti terhadap NKRI dan Pancasila walaupun sebagian dari mereka ada yang berjuang secara non-kekerasan untuk mengganti NKRI dengan sistem pemerintahan khilafah.

Deradikalisasi

Sebagaimana istilah radikalisme bersifat problematis karena cenderung liar dan subyektif, istilah deradikalisasi sejatinya mengandung problem lebih kurang sama. Sebelum menjadi bahasa hukum, istilah deradikalisasi bisa dipahami sebagai upaya membuat seseorang tidak menjadi radikal. Belakangan, istilah deradikalisasi menjadi bahasa hukum seiring disahkannya UU No 5/2018 sebagai revisi atas UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam UU ini, deradikalisasi didefinisikan sebagai ”Suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi” (Pasal 43D, Ayat 1). Deradikalisasi dilakukan kepada tersangka, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, dan orang atau kelompok yang sudah terpapar paham radikal terorisme (Pasal 43D Ayat 2) melalui empat tahapan: identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, reintegrasi (Pasal 43D Ayat 4).

Dengan pengertian seperti di atas, obyek deradikalisasi adalah mereka yang sudah terpapar paham radikal terorisme (meminjam istilah yang digunakan dalam UU ini). Sementara upaya deradikalisasi di kalangan masyarakat luas yang belum terpapar tidak disebut dengan istilah deradikalisasi, tetapi kontraradikalisasi (Pasal 43C).

Konsepsi deradikalisasi yang sekarang telah menjadi bahasa hukum ada kemiripan dengan program deradikalisasi yang dikembangkan dan dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), khususnya pada masa-masa awal (sekitar 2013). Dugaan penulis, konsep deradikalisasi yang saat ini jadi salah satu norma dalam UU No 5/2018 diadopsi dan dikembangkan dari program deradikalisasi BNPT di atas.

Jika hal ini benar, pengadopsian konsep deradikalisasi dari bahasa program menjadi bahasa hukum mengandung keistimewaan sekaligus kelemahan. Menjadi keistimewaan karena segala prosesnya telah menjadi norma hukum yang harus dijalankan oleh para pihak. Menjadi kelemahan karena dengan demikian, deradikalisasi sebagai sebuah proses mengalami sebentuk pembakuan dengan kekakuan tertentu pada tingkat tertentu pula.

Berdasarkan pengalaman penulis dalam beberapa tahun terakhir terkait upaya membangun perdamaian, baik di dalam maupun di luar lembaga pemasyarakatan (lapas), dibutuhkan adanya energi sangat besar dengan segala kehati-hatian, kelenturan, dan keberanian dalam menghadapi mereka yang terpapar paham ekstrem sekaligus mendukung setiap perubahan yang dialami oleh mereka (akibat pendekatan tertentu), sekecil apa pun. Tentu semuanya dengan tetap berpegang teguh pada prinsip akurasi, koordinasi, dan partisipasi dari semua pihak, mulai dari aparat keamanan, petugas lapas, tokoh agama, peneliti, bahkan hingga para korban aksi terorisme, mengingat hal ini terkait dengan keyakinan orang yang tak otomatis berubah hanya karena dihukum atau bahkan ditembak mati sekalipun.

Kembali ke visi besar Presiden Jokowi, semua itu harus dibarengi dengan penggunaan diksi yang tepat sebagai cerminan dari penguasaan masalah yang ada. Pada tahap selanjutnya, pemilihan dan penempatan orang yang tepat sesuai dengan keahlian dan kebutuhan yang ada di lapangan. Terakhir, yang tak kalah penting adalah pengelolaan yang terorganisasi sebagai satu tim untuk memenangi perdamaian dan mewujudkan Indonesia maju ke depan. []

KOMPAS, 2 Desember 2019
Hasibullah Satrawi | Alumnus Al Azhar Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar