Dialog Dua Malaikat
dan Al-Muwafaq yang Batal Naik Haji
Kala itu, Ibnu Mubarak sedang berbaring di pelataran Masjidil Haram. Hatinya begitu lega karena ia baru saja usai melaksanakan rangkaian ibadah haji. Dari mulai ihram, tawaf, sa'i, hingga tahallul telah dilakoninya dengan khusyuk dan penuh hikmat. Dalam hatinya, ia berharap besar hajinya dapat diterima oleh Allah dengan predikat haji yang mabrur.
Tak terasa, rasa
kantuk mengelabuhi pandangannya hingga ia tertidur pulas. Dalam tidurnya itu,
ia bermimpi mendengar dua malaikat yang sedang bercakap-cakap.
"Ada berapakah
kaum muslim yang haji pada tahun ini?" tanya seorang malaikat.
"Kurang lebih,
ada sekitar 700 ribu orang," jawab yang satunya.
"Berapakah yang
diterima oleh Allah?" "Tidak ada sama sekali," jawab malaikat
itu kembali.
Seketika malaikat
yang bertanya itu pun termenung. Membayangkan betapa nahasnya nasib jamaah haji
tahun itu. Ibadah haji yang mereka lakukan dengan hikmatnya, ternyata di mata
Allah tak ada nilainya. Pun dengan Ibnu Mubarak yang sedang mendengarkan
percakapan tersebut.
Tak berselang lama,
segera malaikat tersebut menimpali perkataanya, "Namun, akibat amal salah
seorang yang batal haji di tahun ini. Seluruh ibadah haji jamaah tahun ini
diterima oleh Allah subhanahu wata'ala "
"Siapakah orang
tersebut" tanya malaikat satunya penasaran.
"Ia adalah
Al-Muwafaq"
Seketika Ibnu Mubarak
terjaga dari tidurnya. Ia begitu kaget dan bergegas untuk mencari seorang
Al-Muwafaq dalam mimpinya itu. Setelah ditelusuri, ternyata ia adalah seorang
tukang sol sepatu yang tinggal di daerah Damaskus, Syiria.
"Apakah anda
Al-Muwafaq yang batal haji di tahun ini?" tanya Ibnu Mubarak mengawali
percakapan dengan seseorang yang ia cari-cari tersebut.
"Ya, dan
bagaimana anda mengetahuinya?" jawab Al-Muwafaq yang juga balik bertanya.
Ibnu Mubarak tak mau
gegabah, ia tak lantas menjelaskan tentang mimpinya. Malah dengan segera ia
mengajukan pertanyaan yang lainnya, "Gerangan apa yang membauatmu batal
melaksanakan rukun islam yang kelima?" sergah Ibnu Mubarak penasaran.
Hening pun
menyelimuti keduanya, Al-Muwafaq terlihat kosong pandangannya. Menghela nafas
agak panjang, untuk kemudian mengatur emosi dalam sanubarinya agar dapat angkat
bicara. Ibnu Mubarak pun juga terdiam, ia begitu sabar menanti jawaban dari
Al-Muwafaq.
"Engkau tahu
sendiri bahwa aku hanyalah seorang tukang sol sepatu di kota ini." dengan
mata berkaca, Al-Muwafaq mengawali kisah kegagalannya. Ibnu Mubarak tak
menimpali sepatah kata pun, malah ia semakin terdiam agar dapat berkonsentrasi
mendengarkan penjelasan Al-Muwafaq.
"Tentunya
menunaikan ibadah haji adalah sebuah impian besar bagiku. Ya, bagaimana tidak.
Dengan hal itulah aku dapat menyempurnakan rukun islam yang lima. Aku pun telah
menabung jauh-jauh hari. Dari hasil upah jasa menjahit sepatu bekas, ku
kumpulan sepeser demi sepeser uang guna mewujudkan impianku. Alhamdulillah,
setelah sekian lama akhirnya aku kira uang tabunganku telah mencukupi. Saat itu
kira-kira telah terkumpul 350 dirham."
"Namun, ketika
aku berniat untuk menata barang bawaanku dan bergegas pergi ke mekah. Tiba-tiba
istriku yang tengah hamil muda menghampiriku dan berkata, 'wahai suamiku,
sungguh aku tidak pernah mencium aroma masakan selezat ini sebelumnya. Oh
betapa senang hatiku kiranya engkau berkenan mencari sumber aroma masakan ini
dan meminta sedikit saja demi menuruti keinginan jabang bayi dalam perutku ini."
Ternyata istri
Al-Muwafaq saat itu tengah ngidam. Al-Muwafaq lantas keluar rumah dan mencari
sumber aroma masakan tersebut. Dan memang, sungguh dari aromanya saja telah
terbayang betapa lezatnya masakan tersebut.
Sampailah ia dirumah
salah seorang janda beranak pinak yang tengah memasak di dapurnya. Tanpa
berkata panjang lebar, ia segera mengutarakan maksud kedatangannya untuk
meminta sedikit saja masakan janda tersebut.
"Sekali-kali
janganlah engkau meminta masakan ini. Karena aku tak akan memeberikannya,"
ujar si janda yang menolak mentah-mentah permintaan Al-Muwafaq. Al-Muwafaq pun
tak patah arang, ia menawarkan akad jual-beli kepada si janda agar rela menjual
masakannya meski dengan harga berapa pun.
Namun, sekali tidak
tetaplah tidak. Janda itu tetap bergeming. Menolak dengan keras segala
penawaran yang diajukan oleh Al-Muwafaq. Al-Muwafaq pun terheran, mengapa
wanita ini begitu kokoh tak mau memberikan barang sedikit saja hasil dari
olahannya.
Karena Al-Muwafaq
begitu memaksa dan wanita itu pun telah kehabisan kata untuk menolaknya.
Akhirnya sang janda berkata, "Sungguh, makanan ini tak kan kuberikan
kepadamu. Karena bagiku ini halal, sedang bagimu ini hukumnya haram."
Al-Muwafaq semakin
bingung dengan ujaran si janda tersebut. Mengapa makanan selezat itu bisa haram
hukumnya bagi Al-Muwafaq. Oh ternyata, janda tersebut merupakan orang yang amat
fakir nan miskin. Sedang dalam tanggungannya terdapat beberapa anak yang lemas
kelaparan.
Ya, mereka telah
berhari-hari tak makan. Bahkan mereka sekeluarga terancam mati kelaparan.
Hingga akhirnya, ketika sang janda tengah menyusuri jalan, ia melihat bangkai
keledai kaku terkapar di pinggiran. Kemudian ia pun mengambilnya dan kemudain
jadilah masakan yang kini tengah diperdebatkan.
Al-Muwafaq lantas
merasa iba, ia segera berjalan gontai berbalik arah menuju ke rumahnya. Ia
ambil sekantong uang dirham yang tadinya ia rencanakan sebagai dana perjalanan
ibadah hajinya. Ia tak menghiraukan tentang kegagalan naik haji yang telah lama
ia dambakan. Baginya kebatalannya demi menolong kehidupan si janda beserta
anaknya lebih penting ketimbang impiannya untuk menyempurnakan rukun islam yang
kelima.
Ia lantas kembali ke
kediaman si janda dengan membawa sekantong uang dirhamnya. Ia meminta agar uang
ini dimanfaatkan untuk si janda sebagai modal untuk membuka usaha. Hingga
nantinya kehidupan anak-anaknya dapat terjamin dan janda pun tak sampai
terpaksa mengolah bangkai keledai demi melangsungkan kehidupan mereka.
"Masya Allah…
ternyata akibat amal itulah engkau menjadi sebab diterimanya 700 ribu jamaah
haji di tahun ini" ujar Ibnu Mubarak yang terharu mendengar kisah
Al-Muwafaq. Al-Muwafaq yang tak mengerti maksud Ibnu Mubarak pun terlhat
kebingungan, "Apa maksud dari ujaranmu, wahai orang yang mendatangiku
secara tiba-tiba?"
Ibnu Mubarak akhirnya
menjelaskan tentang mimpi yang telah ia alami. Seketika itu juga Al-Muwafaq
tersungkur sujud bahagia, dengan mata basah terharu akan karunia Allah yang
maha besarnya. []
Dikisahkan oleh
Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Grobogan, Jawa Tengah dalam momen
pengajian KITAB Tafsir Jalalain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar