Perempuan Asal Sunda
Ini yang Pertama Kali Berpidato di Muktamar NU
Pada tahun 1946
ibu-ibu di kalangan Nahdlatul Ulama yang didorong para kiai mendirikan
organisasi, Muslimat. Nyai Djuaesih adalah ketuanya pada periode 1950-1952.
Meski menjadi sosok perintis Muslimat NU, ia tak begitu menonjol sebagai
organisator. Dia lebih populer sebagai mubalighah dalam kepengurusan Muslimat
NU Jawa Barat.
Meski demikian, ia
memiliki reputasi yang tak dimiliki banyak perempuan NU karena dialah perempuan
pertama yang naik ke mimbar resmi organisasi NU, tepatnya dalam forum
persidangan Muktamar ke13 NU di Menes, Banten tahun 1938. Disusul kemudian Nyai
Siti Syarah, tokoh perempuan NU dari Menes.
Berikut ini laporan
Berita Nahdlatoel Oelama No 6 tahun ke-10 edisi 19 Januari 1941, hal.4/86
“Kemudian dari pada
itu, tampillah ke muka, Ny Djunaesih, voorzitter (ketua) Muslimat NU Bandung
yang telah memerlukan datang di kongres ini, berhubung kecintaan dan tertarik
beliau kepadanya.
Dengan panjang lebar menerangkan akan asas dan tujuan dari NU adalah suatu perkumpulan yang sengaja mendidik umat Islam ke jurusan agamanya dengan seluas-luasnya. Di dalam agama Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik tentang soal-soal yang berkenaan dengan agamanya, bahkan kaum perempuan juga harus mendapat didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntunan agama, sebagaimana lakinya. Inilah natinya yang akan dapat membawa keamanan dunia dan akhirat.”
Djuaesih lahir pada
Juni 1901 di Sukabumi. Ia tidak mengikuti pendidikan formal dan hanya belajar
kepada orang tuanya R.O. Abbas dan R. Omara S yang membekalinya dengan ilmu
agama.
Djuaesih memiliki
kemampuan alamiah sebagai mubalighah dan cukup terkenal di Jawa Barat. la
sering memberikan ceramah agama bagi ibu-ibu di berbagai pelosok Jawa Barat
seperti di Pandeglang, Tasikmalaya, Sukabumi, Ciamis, dan Bekasi.
Persentuhannya dengan
NU muncul setelah menikah dengan Danuatmadja alias H. Bustomi, seorang pengurus
NU Jawa Barat. Dalam berbagai acara organisasi ia menyertai suaminya. Ia pun
merasa bahwa NU perlu mengorganisasi para perempuannya agar bisa ikut
bersama-sama berdakwah.
Djuaesih mempunyai
sumbangan besar dalam gerakan perempuan di lingkungan NU dengan gagasannya
mendirikan organisasi khusus bagi kaum hawa di lingkungan NU.
Menurutnya, NU
mempunyai kewajiban untuk berdakwah menyebarkan ajaran Islam, dan itu bukan
hanya tanggung jawab kaum pria. Karena itu, ia mengusulkan agar perempuan NU
dapat menjadl anggota dan aktif serta memiliki wadah organisasi sendiri.
Dalam forum Muktamar
NU di Menes tersebut, sebagaimana dilukiskan Mahbib Khoiron yang mengutip
"50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa",
1996 (Jakarta: PP Muslimat NU), Djuaesih menyatakan,
”Di dalam agama
Islam, bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama
dan pengetahuan lain. Kaum wanita juga wajib mendapatkan didikan yang selaras
dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum wanita yang tergabung
dalam Nahdlatul Ulama mesti bangkit...."
Meskipun menjadi
salah satu perintis organisasi perempuan NU, ia tidak menduduki jabatan
tertentu pada kepengurusan pertama Muslimat NU Jawa Barat. Baru pada periode
1950-1952 Djuaesih menjabat sebagai ketua.
"Di dalam Islam
bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan
pengetahuan lain. Kaum wanita pun wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan
kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kami wanita yang tergabung dalam NU
mesti bangkit." []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar