Al-Khairiyah Saksi
Bisu Masa Perkembangan NU
Siapa sangka gedung Sekolah Dasar Islam (SDI) Al-Khairiyah yang terletak di Jalan Kapten Ilyas, No. 47, Banyuwangi itu menyimpan sejarah penting. Di gedung tersebut, 85 tahun lalu, menjadi saksi bisu fase penting bagi Nahdlatul Ulama (NU). Sebuah fase yang menandai dari masa pertumbuhan ke perkembangan.
Dalam buku
"Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama" karya Choirul Anam
disebutkan fase perkembangan NU bermula saat pelaksanaan Muktamar ke-IX NU di
Banyuwangi pada 21-26 April 1934. Ada sejumlah penanda yang ditiliknya. Salah
satunya adalah untuk pertama kalinya peserta muktamar (muktamirin) duduk di
kursi. Tak lagi lesehan sebagaimana pada pelaksanaan muktamar-muktamar
sebelumnya. Pada saat itu pula, untuk pertama kalinya, rapat tanfidziyah dan
syuriyah terpisah. (Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010: 93-95)
Penanda tersebut,
dalam riset yang dilakukan oleh Komunitas Pegon, terjadi di SDI Al-Khairiyah.
Pada saat itu, gedung tersebut dikenal sebagai Madrasah Al-Khairiyah. Ini
merupakan salah satu madrasah tertua di Banyuwangi. Diperkirakan madrasah
tersebut dibangun pada awal abad 20.
Konon, madrasah
tersebut, pertama kali berdiri di Kelurahan Lateng dengan bentuk angkringan
sederhana. Pengelolanya adalah kalangan Ahlussunah wal Jama'ah (Aswaja), baik
dari kalangan Arab maupun pribumi. Hal ini, besar kemungkinan, sebagai respon
atas munculnya sekolah-sekolah kolonial ataupun sekolah agama yang berhaluan
Wahabi yang mulai bermunculan di Banyuwangi.
Madrasah Al-Khairiyah
dibangun cukup megah dengan model art deco yang populer di masa kolonial.
Kemegahan bangunannya terekam dalam Swara Nahdlatoel Oelama Nomor 7 Tahun ke-II
Rajab 1348. Dalam majalah resmi NU tersebut, memuat berita kunjungan pengurus
PBNU ke Madrasah Al-Khairiyah.
Pengurus PBNU yang
datang ke Banyuwangi pada 16 Januari 1930 itu, dibuat takjub. Saat itu, ada
tiga orang pengurus NU yang datang. Antara lain KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH.
Bisri Syansuri, dan KH. Mas Alwi Abdul Aziz. Nama yang terakhir, merupakan
redaktur di Swara Nahdlatoel Oelama (S.N.O).
Atas nama redaksi
majalah resmi Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama/ HBNO (istilah PBNU waktu itu),
Kiai Mas Alwi menulis demikian:
"Kita muji
syukur alhamdulillah ala wujudanil Madrasah al-Khairiyah Banyuwangi. Qulnaa:
muta'ajuban maa akbaruhaa wa maa ahsana hay'atuhaa."
Pengurus pusat
tersebut bersyukur sekaligus takjub dengan gedung madrasah. Baik karena
besarnya bangunan, maupun karena keindahan arsitekturnya.
Masih merujuk pada
pemberitaan di SNO di atas, bangunan madrasah tersebut terdiri dari sepuluh
kelas untuk belajar mengajar. Juga terdapat 20 kamar untuk asrama bagi pelajar
yang berasal dari luar daerah. Serta dilengkapi dengan dua ruang pertemuan.
Satu ruang untuk menerima tamu dan satu ruang lain untuk istirahat para guru
maupun digunakan untuk menggelar rapat-rapat.
Di penghujung
tulisan, Kiai Mas Alwi juga menulis demikian:
"Dene sampurnane
wahu madrasah, kita mboten badhe hamanjingaken cariyos."
Kurang lebih artinya
adalah karena sempurnanya madrasah ini, kita (HBNO) tidak akan memberikan
masukan (saran). Hal ini menandakan betapa majunya madrasah tersebut
dibandingkan dengan madrasah-madrasah lainnya di luar Banyuwangi.
Tak seperti saat ini
yang halamannya tak seberapa luas. Kala itu, halaman Madrasah Al-Khairiyah
cukup luas. Dalam 'De Indische Courant' - sebuah surat kabar berbahasa Belanda
yang terbit di Nusantara - tertanggal 12 Desember 1933, memberitakan bahwa di
halaman madrasah tersebut mampu menampung hingga 2.000 pengunjung.
Saat itu, diadakan
open baar (rapat umum) guna mensosialisasikan pelaksanaan Muktamar NU beberapa
bulan mendatang. Rapat yang dihadiri oleh KH Wahab Chasbullah tersebut diikuti
juga oleh sejumlah pejabat. Baik dari unsur pemerintah, kepolisian, penegak
hukum, penghulu, dan sejumlah kiai dari seantero Banyuwangi.
Kebesaran Madrasah
Al-Khairiyah pada dekade 30-an tersebut, terbukti dalam sebuah foto yang masih
tersimpan di sekolah tersebut. Ratusan murid dan dewan guru berfoto bersama
pada 1930. Gedung madrasah yang megah menjadi latar belakangnya. Dari proyeksi
foto itu, halaman yang sangat luas juga bisa terlihat. Tak heran, jika tempat
tersebut menjadi salah satu venue muktamar selain di Masjid Jami' Banyuwangi
dan di Pesantren Lateng yang jaraknya tak terlampau jauh itu. []
(Ayung Notonegoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar