Soal Uighur, Timur-Tengah Bersama China
Oleh: Zuhairi Misrawi
Cuitan Mezut Oezil, pemain Arsenal yang keturunan Turki dan
berkewarganegaraan Jerman perihal kaum minoritas Uighur di Xinjiang, China
menimbulkan polemik yang serius. Di satu sisi Oezil didukung oleh Amerika
Serikat melalui Menteri Luar Negeri karena dianggap menyuarakan kebenaran dan
hati nurani. Tetapi di sisi lain, China mengambil langkah tegas dengan
membatalkan siaran langsung laga besar Liga Inggris pekan ini antara Arsenal
dan Manchester City.
Tidak hanya itu, nama besar Oezil dihapus dari mesin pencarian di seantero China. Popularitas Oezil ambruk seketika di Negeri Tirai Bambu itu.
Di Tanah Air, isu Uighur kembali mengemuka di media sosial dan menjadi salah satu trending topic di Twitter. Isu Uighur menjadi pembicaraan, bahkan berujung desakan agar pemerintah mengambil sikap tegas terhadap China. Tidak hanya itu saja, Harian Wall Street Journal menurunkan berita yang menuduh sejumlah ormas Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia telah dikendalikan oleh China untuk bungkam dalam menyikapi nasib Muslim Uighur.
Sontak, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama melakukan protes keras,
dan mengancam mengambil langkah hukum terhadap media ternama itu, karena
dianggap telah menyebarkan fitnah. Sikap ormas-ormas Islam terhadap China
sebenarnya sama, agar menjamin kebebasan beribadah bagi warga Muslim Uighur.
Mereka diundang oleh pemerintah China untuk melihat kamp-kamp deradikalisasi
dan pembinaan warga Muslim Uighur di Xinjiang.
Isu Uighur sudah terlalu jauh menjadi isu geopolitik. Negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa telah menjadikan isu Uighur sebagai instrumen untuk merusak citra China yang sedang menjadi primadona dalam kemajuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan. Hal tersebut terlihat dari narasi-narasi yang digunakan oleh media Barat dalam memojokkan China.
Jangan jauh-jauh, kita bandingkan antara narasi mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di China dan warga yang pernah berkunjung ke Uighur dengan media-media besar AS dan Eropa yang secara eksplisit tidak mampu menggambarkan Muslim Uighur dari dua sisi (cover both side). Seolah-olah China melakukan pembantaian etnis. Padahal menurut mahasiswa Indonesia dan warga yang pernah berkunjung ke kamp-kamp deradikalisasi di Xinjiang, ada perlakukan manusiawi terhadap Muslim Uighur dalam konteks membangun integrasi dan cinta Tanah Air.
Istimewanya lagi, sikap negara-negara Timur-Tengah terhadap China dalam menyikapi perlakuan terhadap Muslim Uighur justru sangat positif. Negara-negara Timur-Tengah memilih untuk mendukung pemerintah China, atau setidak-tidaknya netral dan ingin menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Muslim Uighur.
Pada Juli lalu, dalam sebuah voting yang dilakukan oleh Dewan Hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada dua kelompok dalam menyikapi masalah Muslim Uighur. Pertama, ada 22 negara yang meminta China agar mengakhiri sikap tidak manusiawi terhadap Muslim Uighur, dan sejumlah kelompok minoritas lainnya. Kedua, ada 37 negara yang justru mendukung China dalam melawan kelompok separatis dan kelompok teroris.
Di antara negara-negara yang mendukung itu adalah Timur-Tengah. Mereka yang mendukung China dalam masalah Muslim Uighur jauh lebih besar daripada yang menentang. Bahkan Erdogan, Presiden Turki secara blak-blakan menyatakan, jika ada negara yang ingin mengganggu China, maka ia akan berada di garda terdepan membela China. Erdogan sadar betul bahwa isu Uighur tidak murni sebagai pembelaan terhadap hak asasi manusia, melainkan juga terkait pertarungan global yang disertai dengan perang dagang dan tirani negara adidaya.
Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emerat Arab juga berpandangan sama, bahwa pemerintah China mempunyai hak untuk menyelesaikan masalah separatisme dan terorisme di dalam negeri. Sudah menjadi dalil sahih dengan sanad yang terpercaya, bahwa ada jumlah besar warga Muslim Uighur yang terlibat dalam gerakan terorisme global, seperti al-Qaeda dan ISIS. Bahkan, mereka kerap melakukan aksi-aksi terorisme yang dapat mengancam keamanan dalam negeri China sendiri.
Hal tersebut juga dialami oleh negara-negara Timur-Tengah yang sedang mengalami masalah tumbuhnya kelompok-kelompok teroris yang akan mengancam keamanan dalam negeri. Negara-negara Timur-Tengah sedang mengalami masalah serupa dengan China, yaitu mereka yang ingin mendirikan negara dalam negara.
Maka dari itu, negara-negara Timur-Tengah sangat tegas terhadap al-Qaeda, ISIS, Hizbut Tahrir, dan Ikhwanul Muslim. Di Mesir misalnya, seluruh warga yang terindikasi dengan Ikhwanul Muslimin langsung ditangkap dan dipenjara. Mantan pemain Timnas Mesir, Mohammad Abou Treka harus eksodus ke Qatar karena diduga terlibat dan ikut mendanai gerakan Ikhwanul Muslimin. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab tidak memberikan toleransi terhadap Ikhwanul Muslimin.
Di samping itu, negara-negara Timur-Tengah memberikan apresiasi terhadap China yang selama ini tidak pernah melakukan intervensi terhadap masalah politik di Timur-Tengah. Kehadiran China selalu membawa energi positif melalui para diplomat yang fokus pada kerja sama ekonomi. Kita dapat melihat para diplomat selalu tampil di media-media Timur-Tengah untuk turut serta membangun infrastruktur dan ekonomi di Timur-Tengah.
Nilai investasi China di Timur-Tengah setiap tahun terus bertambah. Sebab itu, bahasa Mandarin sekarang diajarkan di Arab Saudi agar hubungan antara China dan Arab Saudi semakin erat. Hal-hal tersebut telah menjadikan negara-negara Timur-Tengah memberikan dukungan yang setimpal terhadap China dalam menyikapi kasus Muslim Uighur.
Langkah China dalam membuka diri terhadap negara-negara Muslim untuk melihat langsung apa yang terjadi di Xinjiang telah membangun opini yang berbeda dari apa yang diberitakan oleh media-media Barat selama ini. Kita tahu, bahwa apa yang dilakukan AS dan Eropa tidak sepenuhnya benar. Ada udang di balik batu. Ada kepentingan geopolitik di balik sikap mereka.
Memang betul ada masalah yang dialami oleh Muslim Uighur, tetapi hal tersebut harus digambarkan secara berimbang. China mempunyai kedaulatan untuk menyikapi masalah separatisme dan terorisme. Kita apresiasi China mulai mengambil langkah-langkah manusiawi. Tetapi hal-hal yang masih bermasalah harus diperbaiki, sehingga Muslim Uighur di masa mendatang diperlakukan lebih manusiawi. []
DETIK, 19 Desember 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran
dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar