Lambang NU Hasil
Istikharah Kiai, Para Habib Pun Menghormatinya
Setelah NU didirikan
oleh para kiai di Surabaya pada 31 Januari 1926, organisasi ini sebagaimana
umumnya, membutuhkan lambang. KH Abdul Wahab Hasbullah menunjuk KH Ridwan
Abdullah untuk mendesaiannya.
KH Ridwan Abdullah
adalah seorang kiai yang alim, tapi dia memiliki kelebihan dibanding kiai-kiai
lain, yaitu terampil melukis. Tak banyak kesempatan untuk mendesain lambang
itu. Ia hanya diberi waktu satu setengah bulan untuk menyelesaikan tugasnya
itu. Ternyata, dia tak mampu membuatnya. Ia tidak mendapatkan inspirasi yang
sesuai dengan keyakinan hati. Jalan yang ditempuh kemudian adalah melakukan
shalat istikharah, meminta petunjuk Allah.
Setelah
beristikharah, lambang NU pun ditemukannya, yaitu bola dunia yang diikat sebuah
tali yang memiliki untaian tampar 99 orang, lima bintang di atas bumi, empat
bintang di bawahnya. Sedangkan tulisan Nahdlatul Ulama yang menggunakan huruf
Arab yang membentang melebihi bola dunia, dan Latin adalah tambahan dari Kiai
Ridwan sendiri.
Kiai yang Total
Berorganisasi
Kiai Ridwan Abdullah
adalah santrinya Syaikhona Cholil Bangkalan, sebagaimana umumnya para kiai
pendiri NU yang lain. Ia merupakan kiai yang total dalam berorganisasi. Buku
Antologi Sejarah, Istilah, Amaliyah, dan Uswah NU menggambar sosoknya
demikian:
Sejak terjun dalam
organisasi Kiai Ridwan terpaksa mengurangi kesibukannya mengurus ekonomi. DUlu
ia punya toko kain di Jalan Kramat Gantung sekaligus tailor. Toko itu kemudian
diserahkan kepada adiknya.
Rumah milik mertuanya
di Bubutan juga diserahkan untuk kepentingan NU. Lantai bawah untuk percetakan
NU, sedangkan lantai atas dipakai untuk sekretariat dan ruang pertemuan.
Setiap ada anak mau
berangkat mondok dan sowan kepadanya, selain diberi nasihat dan wejangan, juga
tidak ketinggalan diberikan uang saku untuk bekal. Padahal dia sendiri
sesungguhnya jarang punya uang banyak.
Habib Ali Kwitang Pun
Hormati Lambang NU
Habib Ali bin
Abdurrahman Al-Habsyi (1870-1968), akrab disebut Habib Ali Kwitang, adalah
ulama’ besar di Jakarta yang sangat akrab dengan para kiai NU. Menurut KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) bahwa NU masuk Betawi ya melalui Habib Ali Kwitang. Hal itu
bisa dilihat jejaknya karena habib tersebut beberapa kali turut menghadiri
muktamar NU, misalnya pada tahun 1932 dan 1933.
Alhafiz Kurniawan
pada tulisannya yang dimuat di NU Online, menyebutkan, semasa hayatnya,
Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari juga sangat akrab dengan Habib Ali
Kwitang.Bahkan, Kiai Hasyim berpesan kepada keluarga dan santrinya untuk selalu
sowan kepada Habib Ali Kwitang setiap kali datang di Jakarta.
Pada suatu
musyawarah, para kiai dan habaib diundang di Kantor PBNU. Selain Habib Ali
Kwitang, hadir juga Al-Habib Ali bin Husein Al-Athas atau Habib Ali Bungur,
Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Athas. Pada pertemuan itu, ada seorang santri
bernama Abdullah yang saat itu sangat senang melayani para habaib dan kiai. Ia
mengantarkan makanan dan minuman yang sudah disediakan, termasuk kepada Habib
Ali Kwitang.
Ketika bersimpuh di
hadapan Habib Ali, Abdullah menurunkan nampan kaleng bermotif warna-warni
bersisi makanan dan minuman. Habib Ali Kwitang meminta Abdullah untuk
mengangkat nampan itu. Ternyata ia melihat lambang NU di pantat nampan.
“Jangan kalian
berani-berani membuat jatuh perkumpulan ini dengan meletakkannya di bawah.”
Mendengar nasehat
yang sangat tegas ini, KH Idham Chalid menyimaknya dengan penuh khidmah,
apalagi itu adalah nasehat sosok ayah angkat dan ulama’ besar yang sangat
dihormati. Para kiai dan habaib juga menyaksikan penuh dengan penuh takzim atas
apa yang disampaikan Habib Ali. KH Idham Kholid segera bergerak cepat
berkoordinasi kepada para santri untuk segera memakai nampan yang biasa, tanpa
ada lambang NU. Wujud takzim dan sam’an watha’atan dengan dawuh seorang ulama.
Para ulama dan habaib
yang menyaksikan itu langsung paham dengan lambang NU. Itu bukan lambang biasa,
hasil istikharah KH Ridwan Abdullah yang sudah direstui KH Hasyim Asy’ari. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar