Senin, 23 Desember 2019

Azyumardi: Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme (1)


Majelis Taklim, PAUD, dan Radikalisme (1)
Oleh: Azyumardi Azra   

Apa hubungan Majelis Taklim (MT) atau bahkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan radikalisme? Wacana yang dimunculkan beberapa pejabat tinggi negara ini dalam beberapa pekan belakangan tidak terbatas sampai di situ. Masih ada pranata ketiga yang belakangan juga dikaitkan dengan radikalisme, yaitu masjid. Ada lagi wacana dari pejabat tinggi, ceramah di masjid perlu dipantau aparat Polri.

Seperti di masa-masa sebelumnya, istilah ‘radikalisme’ saja sudah menimbulkan perbedaan pandangan dan kontroversi. Apalagi jika dikaitkan dengan MT, PAUD dan masjid. Tetapi supaya ringkas, radikalisme yang dimaksudkan adalah paham dan praksis anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-UUD 1945 dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam pengertian itu, penganut radikalisme adalah mereka yang mendukung pembentukan khilafah atau daulah Islamiyah. Negara khilafah mereka harapkan dapat menerapkan syari’ah sepenuhnya. Para pengusung radikalisme percaya benar, hanya dengan khilafah dan syari’ah umat Islam dapat menyelesaikan berbagai masalah yang mereka hadapi.

Dengan pengertian radikalisme seperti itu, jelas orang tidak bisa secara ngebyah uyah mengaitkannya baik langsung maupun tidak dengan MT, PAUD dan masjid. Berbagai penelitian tentang masjid menemukan, bukan masjidnya yang radikal atau menyebarkan paham dan praksis radikalisme. Yang benar, ada pengurus masjid pro-radikalisme yang suka menghadirkan penceramah, ustaz atau khatib yang menyampaikan ceramah mengandung paham yang termasuk ke dalam kategori radikal.

Tetapi, sejauh ini nampaknya belum ada penelitian atau kajian akademik-ilmiah yang dilakukan berbagai lembaga penelitian tentang MT dan PAUD dalam kaitan dengan radikalisme. Tentu saja sudah banyak kajian tentang MT atau tentang PAUD; tetapi kajian itu lazimnya secara terpisah-pisah. Sejauh ini belum ditemukan adanya korelasi positif di antara MT atau PAUD dengan radikalisme.

Boleh  jadi ada ustadz MT atau guru PAUD yang memegangi paham dan praksis radikalisme. Tapi jelas sangat sulit untuk mengetahui pasti seberapa banyak ustadz MT atau guru PAUD yang radikal. Jika ada, pasti jumlahnya segelintir. Karena itu, kalangan pejabat dan pengamat tidak perlu membesar-besarkan ‘gejala radikalisme’ di MT, PAUD dan di masjid.

Dalam wacana tentang radikalisme sampai masa awal pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin (sejak 20 Oktober 2019), MT praktis tidak pernah disebut terkait dengan atau bahkan menjadi tempat perkecambahan (breeding ground) paham dan praksis keagamaan radikal. Sebaliknya pertumbuhan dan perkembangan ektrimisme dan radikalisme keagamaan juga tidak pernah dikaitkan dengan atau bersumber dari MT.

Karena itu agak mengagetkan dan sekaligus mengherankan jika Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. PMA itu pada dasarnya diterbitkan agar MT dapat berperan dalam mengembangkan moderasi Islam; Islam yang toleran dan humanis; dan sekaligus memperkuat nasionalisme, kesatuan dan persatuan bangsa (pasal 4).

Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, PMA itu bermaksud  memberangus radikalisme. Menteri Agama Fachrul Razi berulang kali menyatakan tentang PMA itu untuk mengkonter radikalisme.

Untuk semua kepantingan itu, PMA No 29 menggariskan bahwa Majelis Taklim harus terdaftar pada Kantor Kementerian Agama c/q Kantor Urusan Agama Kecamatan. Pendaftaran itu dilakukan dengan mengajukan permohonan tertulis pengurus kepada Kepala KUA (pasal 6).

Ada birokratisasi pranata dan lembaga keagamaan. MT yang dapat mengajukan pendaftaran harus memiliki kepengurusan; memiliki domisili; dan memiliki sedikitnya 15 orang jamaah. Birokratisasi itu tambah sempurna ketika permohonan untuk pendaftaran MT itu perlu melampirkan: fotokopy KTP pengurus; struktur pengurus; surat keterangan domisili MT dari desa/kelurahan; dan fotokopy KTP anggota jamaah.

Apakah MT yang merupakan lokus pendidikan Islam informal memerlukan birokratisasi. Sebenarnya tidaklah perlu. Apalagi birokratisasi itu terkait dengan kebijakan politik untuk memberantas radikalisme.

Terlalu simplistis dan misleading mengaitkan MT Taklim dengan radikalisme. Pemberantasan radikalisme yang belakangan ini nampaknya menjadi salah satu agenda pokok pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin harus dilakukan secara bijak dan hati-hati, supaya tidak menimbulkan hubungan tidak harmonis di antara pemerintah dengan para warganya sendiri. []

REPUBLIKA, 12 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar