Memahami Hadits ‘Menguap
Berasal dari Setan’
Beberapa kali kita sering membaca pesan
siaran yang berisi kumpulan-kumpulan hadits beserta artinya. Hadits-hadits
tersebut seenaknya dipahami berdasarkan artinya. Padahal, dalam memahami
hadits, kita tidak boleh serta merta sekadar mengacu pada arti bahasannya.
Diperlukan beberapa keilmuan untuk dapat memahami sebuah hadits secara
holistik, mulai takhrij hadits, rijalul hadits, ilmu matan hadits yang meliputi
fiqhul matan dan naqd matan.
Salah satu hadits yang pernah dijumpai di
pesan siaran adalah terkait menguap adalah berasal dari setan.
التَّثَاؤُبُ
مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ
فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَالَ هَا ضَحِكَ الشَّيْطَانُ
Artinya: “Menguap itu dari setan. Maka bila
seorang dari kalian menguap hendaklah sedapat mungkin ditahannya karena bila
seseorang dari kalian menguap dengan mengeluarkan suara haa, setan akan
tertawa.” (Imam Bukhari, al-Jâmiʽ al-Saḥîḥ, [Beirut: Dâr Tûq an-Najah,
1422 H), j. 4, h. 125.)
Jika ditakhrij hadits tersebut memang
diriwayatkan dari beberapa kitab hadits sahih, mulai Bukhari, Muslim, Ibn
Huzaimah, Ibn Hibban, Musnad Ahmad dan beberapa kitab lain.
Dengan disebutkan dalam kitab-kitab sahih di
atas, secara otentitas memang tidak diragukan lagi. Namun bukan berarti dengan
seenaknya memahami hadits tersebut sesuai terjemahannya. Jika kita hanya
mengacu pada terjemahan hadits tersebut, kita pasti akan mengira bahwa menguap
adalah berasal dari setan.
Hal ini akan menjadikan hadits menjadi kurang
sesuai dengan akal kita. Bagaimana mungkin makhluk bernama setan tersebut bisa
melakukan apa pun terhadap diri kita, termasuk membuat kita menguap.
Para sahabat sendiri, tidak serta merta memahami
sebuah hadits berdasarkan zahirnya, terlebih jika hadits tersebut bertentangan
dengan akal. Para sahabat selalu menggunakan akalnya ketika memahami hadits.
Salah satu hadits yang dikritik para sahabat karena bertentangan dengan akal
adalah hadits tentang “Wudhu setelah memegang jenazah.” (Lihat: Musfir Abdullah
ad-Damini, Maqâyîs Naqd al-Mutûn, (Riyadh: Jamiah Saud al-Islamiyah,
1984 M), h. 111.)
Lalu bagaimana dengan hadits tentang menguap
di atas?
Imam an-Nawawi, sebagaimana dikutip
al-Mubarakfuri dalam Tuḥfatul Aḥwadzi-nya menyebutkan bahwa yang dimaksud
menguap dari setan tersebut bukan berarti asal-muasal menguap adalah dari
setan, atau setan yang membuat kita menjadi menguap.
Menurut Imam an-Nawawi, yang dimaksud menguap
dari setan adalah hanya sebatas majaz, yakni pernyataan dalam hadits tersebut
adalah peringatan Rasul untuk menjauhi hal-hal yang menyebabkan kita menguap,
seperti makan terlalu banyak. Karena ketika kita makan terlalu banyak, maka
tubuh akan terasa berat dan malas untuk berbuat sesuatu.
قال
النووي أضيف التثاؤب إلى الشيطان لأنه يدعو إلى الشهوات إذ يكون عن ثقل البدن
واسترخائه وامتلائه والمراد التحذير من السبب الذي يتولد منه وهو التوسع في المأكل
وإكثار الأكل
Artinya: “Imam an-Nawawi berpendapat bahwa
kata ‘menguap’ disandarkan kepada setan karena menguap dapat menyebabkan
seseorang mengikuti syahwatnya karena beratnya badan, lemasnya badan dan
gemuknya badan. Dan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah peringatan Rasul
SAW atas sebab-sebab yang dapat membuat kita menjadi menguap, yakni terlalu
besar tempat makanan dan terlalu banyak makan.” (Abu al-ʽAla al-Mubarakfuri, Tuḥfatul
Aḥwadzi, (Beirut: Dar Kutub, T.t), j. 8, h. 18.)
Dari pernyataan Imam an-Nawawi tersebut
menunjukkan bahwa sebab yang dapat membuat kita menjadi menguap itulah yang
merupakan ciri dari setan, bukan menguapnya yang berasal dari setan.
Syekh Badruddin al-Aini berpendapat, jika ada
suatu hadits yang menyebutkan suatu perkara yang disandarkan kepada setan, maka
sesuatu tersebut sangat dibenci Rasul.
وإنما
جعله من الشيطان كراهة له لأنه إنما يكون مع ثقل البدن وامتلائه وميله إلى الكسل
والنوم، وأضافه إلى الشيطان لأنه هو الذي يدعو إلى إعطاء النفس شهواتها
Artinya, “Ketika hal tersebut (menguap)
dijadikan bagian dari setan, maka itu adalah bentuk bencinya Rasul terhadap hal
itu. Karena menguap selalu bersamaan dengan beratnya badan dan penuhnya
badan (penuhnya perut karena makanan) serta menjadikan tubuh malas dan tidur.
Dan Rasul menyandarkan hal itu kepada setan karena dapat menjadikan tubuh
bersyahwat (untuk tidur dan malas).” (Lihat: Badruddin al-Aini, Umdatul Qari,
(Beirut: Dar Ihya at-Turats, T.t), j. 15, h. 178.)
Al-Aini juga menyebutkan hal senada dengan
Imam an-Nawawi bahwa murad (maksud dan tujuan) hadits tersebut adalah untuk
memperhatikan cara makan dan tidak terlalu banyak makan.
Lalu, apakah kita tidak boleh menguap?
Jelas boleh, jika kita tidak melaksanakan
hal-hal yang penting, seperti ibadah dan belajar. Karena menguap adalah salah
satu tanda kita bahwa perlu istirahat dan tidur.
Konteks menguap dalam hadits di atas adalah
ketika sedang shalat. Beberapa mukharrij memasukkan hadits tersebut dalam dua
bab: pertama, bab tentang sifat iblis dan bala tentaranya; kedua, bab tentang
larangan menguap ketika shalat. Hal ini bisa dicek dalam kitab Sahih Bukhari,
Muslim, Ibn Hibban, Bulughul Maram, dan beberapa kitab
lain.
Wajar saja jika Rasul benci dengan orang yang
menguap, karena hal itu dilakukan pada saat shalat dan ibadah-ibadah yang lain.
Oleh karena itu, membaca hadits tidak boleh
serta merta hanya dengan membaca terjemahannya, karena hal itu menjadikan
pesan-pesan yang ada di dalam hadits tidak bisa tersampaikan dengan penuh dan
sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar