Pesan Ya Jabbar Ya Qahhar di Balik Lahirnya
NU
Tepat pada 31 Januri 2019, Nahdlatul Ulama
berusia 93 tahun dalam itungan tahun masehi. Sedangkan pada bulan Rajab 1440
yang akan mendatang, NU menginjak umur 96 tahun. Selama hampir satu abad
tersebut, NU sejak awal kelahirannya hingga sekarang telah berhasil memberikan
sumbangsih terhadap kehidupan beragama di tengah kemajemukan bangsa Indonesia.
Semakin teguhnya organisasi para santri dan
kiai di tengah terpaan berbagai macam tuduhan negatif dan upaya deligitimasi
(penggembosan) tidak lepas dari peran para pendiri NU. KH Hasyim Asy’ari, KH
Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, dan kiai-kiai lain memberikan pemikiran
dan teladan berarti bagi warga NU untuk selalu melangkah di tengah perubahan
zaman.
Tegaknya Nahdliyin (warga NU) dalam menjaga
marwah atau kehormatan organisasi tidak lepas dari tirakat para pendiri.
Sepelik apapun persoalan bangsa atau problem yang menimpa NU secara langsung,
Nahdliyin tidak lepas dari upaya batin, baik melakukan istighotsah, tahlil,
dzikir, wirid, membaca shalawat nariyah, membaca hizib nashar, dan lain-lain.
Hal itu sangat terkait dengan lahirnya NU
yang telah melalui upaya lahir dan batin. Bahkan, KH Hasyim Asy’ari
mengonformasi atau mengabarkan langsung bahwa para telah mendapat ridha Allah
SWT untuk mendirikan jam’iyah (organisasi). Riwayat ini dijelaskan ketika Kiai
Hasyim Asy’ari berinteraksi murid yang menjadi utusannya, KH As’ad Syamsul
Arifin untuk memberikan pesan-pesan kepada guru Kiai Hasyim Asy’ari di Madura,
KH Cholil Bangkalan (1820-1923).
Dalam proses lahirnya NU, Kiai Hasyim Asy’ari
melakukan semacam ‘korespondensi’ dengan Kiai Cholil Bangkalan lewat santri
As’ad Syamsul Arifin. Setelah melalui beberapa kali perjalanan dari Tebuireng
ke Bangkalan, Madura, Kiai Hasyim Asy’ari mendapat petunjuk tongkat dari tasbih
yang diberikan Kiai Cholil kepada santri As’ad Syamsul Arifin.
Setelah petujuk kedua berupa tasbih diberikan
As’ad ke Kiai Hasyim Asy’ari, beliau bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan
lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”,
dua Asmaul Husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang
guru. Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan
kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan
NU, 2010)
Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah
(1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung
disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai
Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat
istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.
Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim
dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di
antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam
Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para
tokoh pergerakan nasional. Sehingga ide untuk mendirikan sebuah organisasi
harus dikaji secara mendalam.
Hasil dari istikharah Mbah Hasyim dikisahkan
oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), Pengasuh Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Mbah As’ad mengungkapkan,
petunjuk hasil dari istikharah Mbah Hasyim justru tidak jatuh ditangannya untuk
mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga
guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.
Dari petunjuk tersebut, Mbah As’ad yang
ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah
Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Mbah
As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil
kepada Mbah Hasyim. (Choirul Anam, 2010: 72)
Hal ini merupakan bentuk komitmen dan ta’dzim
santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan
strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di
tengah situasi penjajahan saat itu.
Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924
santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke
Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an
Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa AS sebagai berikut:
وَمَا
تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا
وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ (18) قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَىٰ (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا
هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَىٰ (20) قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ ۖ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا
الْأُولَىٰ (21) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَىٰ جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ
غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَىٰ (22) لِنُرِيَكَ مِنْ آيَاتِنَا الْكُبْرَى
Artinya:
"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai
Musa? Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku
pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
padanya". Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, hai Musa!" Lalu
dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang
merayap dengan cepat. Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut,
Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, dan kepitkanlah tanganmu
ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai
mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar."
Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925
santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih
lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama
Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama
yaitu Mbah Hasyim.
Setibanya di Tebuireng, santri As’ad
menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan Mbah Hasyim untuk mengambilnya
sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya
untuk Mbah Hasyim, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah
dari Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit
pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng.
Wallahu’alam. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar