Musim Semi Arab 2.0
Oleh: Zuhairi Misrawi
Gejolak politik yang bergelayut di beberapa negara Timur-Tengah
menyisakan kekhawatiran sekaligus harapan. Banyak pihak khawatir karena
demokrasi tidak kunjung menghasilkan perubahan yang mendasar dalam konteks
mewujudkan keadilan dan kesetaraan. Namun, tidak sedikit pula yang
membentangkan harapan perihal perubahan yang akan terjadi di masa mendatang,
cepat atau lambat. Perlu pemerintahan yang transparan dan pelayanan publik yang
terus membaik.
Itulah sabda kaum milenial yang diamini oleh mayoritas warga. Mereka ingin melihat negaranya mampu menjadikan demokrasi semakin terasa manfaatnya bagi semua warga. Demokrasi bukan hanya sekadar wacana dan mimpi, tetapi harus mampu menghadirkan pemerintahan yang efektif, efisien, dan transparan. Pemerintahan yang betul-betul merepresentasikan hak-hak konstitusional setiap warganya.
Akhir 2010 lalu, rezim-rezim otoriter berhasil ditumbangkan. Bermula dari Tunisia, Mesir, Libya, Sudan, dan Yaman. Namun tumbangnya rezim-rezim otoriter belum memuaskan warga. Alih-alih mampu memuaskan warga, pemerintahan pasca-revolusi justru terjebak dalam otoritarianisme baru. Mereka hanya peduli pada kekuasaan, tapi abai terhadap terhadap hak-hak konstitusional setiap warga yang hakikatnya menjadi harapan warga yang tumpah ruah dalam musim semi yang menggetarkan dunia itu.
Setelah 9 tahun berlalu, pemerintahan yang lahir pasca-musim semi
1.0 belum berhasil mewujudkan mimpi dan cita-cita warganya. Kemiskinan,
korupsi, pelayanan publik yang buruk, dan konflik antarwarga justru semakin
mengkhawatirkan. Jika tidak dicermati dengan saksama dan dikritisi secara
konstruktif, khawatir rezim-rezim yang lahir pasca-musim semi akan terjebak
dalam otoritarianisme baru.
Kekhawatiran itu terjadi pada Mesir sebagai pemandangan musim semi yang paling spektakuler. Setelah Hosni Mubarak berhasil ditumbangkan dalam selebrasi demonstrasi yang mengharu biru, tapi pemerintahan Abdel Fattah el-Sisi yang juga berlatar belakang militer justru mengindikasikan lahirnya otoritarianisme baru. Bayangkan, sejumlah kebijakan el-Sisi serupa dengan kebijakan Hosni Mubarak di masa lampau. Wajah militer semakin militeristik. Tak ada kebebasan berpendapat dan berkumpul. Mereka yang menentang rezim dicap sebagai teroris.
Beberapa negara lain seperti Libya, Yaman, dan Sudan juga mengisahkan hal yang sama: kegagalan. Gagalnya kompromi politik, kembalinya militer ke tampuk kekuasaan, dan korupsi yang makin merajalela. Di samping konflik politik dan sekte yang makin runyam.
Maka dari itu, generasi baru hadir ke permukaan untuk menggaungkan musim semi 2.0. Yaitu musim semi yang merupakan kelanjutan dari musim semi yang telah dimulai sejak 2010 lalu di Tunisia. Mereka tidak hanya menghendaki jatuhnya rezim, tapi lebih dari itu mereka ingin agar pemerintahan betul-betul mencerminkan hak-hak konstitusional warganya.
Warga dunia yang tumbuh menjadi warga digital turut serta membangun kesadaran baru perihal perlunya pelayanan publik yang semakin efektif dan efisien, serta pemerintahan yang transparan. Lihat Tunisia yang relatif mampu membangun konstitusi demokratis dengan tumbuhnya institusi-institusi demokratis. Tapi karena partai-partai politik yang mendapatkan mandat kekuasaan dari warga tidak mampu mewujudkan keinginan warga, mereka justru memilih presiden dari jalur independen. Mereka memilih presiden yang diharapkan tidak merepresentasikan partai politik, melainkan presiden yang mampu bekerja dengan baik dan tidak korup.
Dalam dua bulan terakhir, kita melihat munculnya kesadaran baru di Libanon dan Tunisia. Sebuah pemandangan yang menunjukkan adanya kesadaran baru, bahwa warga tidak cukup hanya disuguhkan dengan lengsernya rezim, melainkan lahirnya pemerintahan yang transparan dan pelayanan publik yang makin membaik.
Mereka belajar dari musim semi 1.0 dalam sembilan tahun terakhir, bahwa jatuhnya sebuah rezim bukan tujuan akhir, melainkan awal untuk membangun pemerintahan yang transparan dan tumbuhnya pelayanan publik yang semakin baik. Sebab itu, mereka tidak mau lagi dianggap sebagai pendorong mobil mogok, tetapi mereka ingin agenda reformasi benar-benar di jalanan secara baik dan dapat dikontrol oleh warga.
Sudah terlalu lama, demokrasi hanya dimaknai sebagai perebutan dan pembagian kekuasaan di antara para elite dengan mengacu pada institusi demokrasi dan representasi sekte atau kabilah. Dalam realitasnya, demokrasi menjadi pembagian upeti (ghanimah) di antara para elite. Warga yang berada di luar kekuasaan dan elite, seperti tak tersentuh dan tak terlayani. Demokrasi menjadi pesta kaum elite.
Maka dari itu, musim semi 2.0 mengibarkan bendera baru. Yaitu perubahan yang radikal dalam memahami demokrasi. Demokrasi milik semua warga, bukan milik kaum elite. Mereka menghendaki agar warga dapat berpartisipasi dalam politik dengan membangun pola komunikasi langsung.
Di Irak, misalnya, sejumlah kaum milenial diabaikan berpartisipasi dalam politik. Padahal jumlah mereka sangat besar. Ketidakmampuan kaum elite membaca realitas politik kaum milenial telah memantik lahirnya musim semi 2.0. Kaum milenial tidak hanya dimanfaatkan oleh kaum elite, tetapi mereka ingin berperan dalam politik melalui instrumen demokrasi yang konstitusional.
Kegagalan kaum elite Irak dalam memahami realitas politik dan tuntutan pentingnya pemerintahan yang transparan dan pelayanan publik yang membaik telah melahirkan kemelut politik. Sebab itu, warga tidak hanya berhenti saat berhasil melengserkan perdana menteri. Mereka ingin lebih dari itu, garansi pemerintahan yang benar-benar membawa agenda musim semi 2.0. Pemerintahan baru Irak harus mampu memberantas penyakit kronis korupsi dengan melahirkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Perlu agenda serius dalam mengentaskan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur dalam konteks memberikan pelayanan publik yang lebih baik.
Dengan demikian, musim semi 2.0 di Timur-Tengah merupakan pemandangan baru dalam demokrasi. Aksi demonstrasi sejatinya tidak hanya dalam konteks menumbangkan rezim, melainkan harus menyentuh tujuan yang bersifat substansial perihal membentuk konstitusi yang demokratis, pemerintahan yang transparan, dan pelayanan publik yang semakin baik. []
DETIK, 12 Desember 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran
dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar