Senin, 16 Desember 2019

(Ngaji of the Day) Menguji Tekstualitas Manhaj Teologi Asy’ariyah


Menguji Tekstualitas Manhaj Teologi Asy’ariyah

Teologi Ahlussunnah wal Jama’ah yang direpresentasikan oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah dikenal dengan argumen rasionalnya ketika membahas persoalan aqidah. Mereka menyusun premis-premis logis secara sistematis sehingga menghasilkan kesimpulan yang sulit dibantah secara rasional. Namun, karena inilah justru ada beberapa orang yang mengira bahwa Asy’ariyah hanya membangun argumennya berdasarkan akal, bukan berdasarkan teks dari Allah atau Rasulullah

Misalnya saja dalam hal penolakan keras para teolog Ahlussunnah pada makna fisikal Dzat Allah. Mereka menganggap Allah tak mungkin berupa jism (entitas fisik yang terdiri dari susunan materi) sebab seluruh jism adalah sama dan setara secara hakikat, hanya berbeda dalam hal bentuk dan karakternya saja. Selain itu, seluruh jism pastilah punya bentuk dan ukuran tertentu yang menempati ruang tertentu. Bentuk dan ukuran ini terwujud pasti karena ada pihak yang merancangnya atau karena berevolusi sendiri menjadi bentuk dan ukuran yang dimaksud. Bila hal ini diberlakukan pada Tuhan, itu berarti Tuhan punya oknum lain yang membentuknya atau berevolusi sendiri hingga menjadi bentuk terakhirnya sebagai Tuhan. Dua kesimpulan ini tentu tidak mungkin sebab yang sedemikian itu adalah ciri khas makhluk. Karena itulah, bisa disimpulkan bahwa Allah pastilah bukan jism sehingga seluruh makna teks ayat atau hadits yang mengarah pada jism tak boleh dipahami secara literal.

Bila pembaca pemula melihat argumen seperti itu, akan terkesan bahwa para teolog Ahlussunnah (Asy’ariyah-Maturidiyah) tidak tekstual tetapi murni rasional. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Argumen rasional di atas sebenarnya justru dibuat untuk meneguhkan teks ayat atau hadits yang muhkam (yang maknanya definitif sehingga menjadi patokan utama) yang menjadi rujukan dalam hal aqidah. Teks tersebut antara lain:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tiada satupun yang serupa dalam hal apapun dengan Allah. Dia Maha Mendengar dan Melihat” (QS. As-Syurâ: 11)

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا 

"Apakah kamu tahu ada yang sama dengan-Nya?". (QS. Maryam: 65)

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Tak ada yang setara dengan-Nya satu pun”. (QS. Al-Ikhlâs: 4)

Seluruh jism pasti punya keserupaan dan kesamaan. Kalaupun berbeda struktur penyusunnya, seperti misalnya ular dan gajah berbeda, manusia dan kera berbeda, manusia dan batu berbeda, maka paling tidak ada kesetaraannya sebagai susunan materi yang bervolume. Selain itu, bentuk fisik juga pasti berupa susunan sehingga pasti ada yang menyusunnya, seperti disebutkan dalam firman Allah:

فِي أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ

“Dalam bentuk fisik apa pun sesuai kehendak-Nya Allah menyusunmu”. (QS. al-Infithar: 8)

Karena itulah, maka argumen rasional untuk menolak makna jismiyah sebagaimana di atas sebenarnya untuk membela teks ayat-ayat kesucian Allah (tanzîh) tersebut. Dengan kata lain, justru mereka sangat tekstual sehingga menyusun argumen rasional untuk membela kebenaran teks yang disepakati kebenarannya. Metode dan juga kesimpulan seperti ini juga dilakukan oleh ulama salaf sebelum lahirnya manhaj (metode) teologi Asy’ariyah. Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, sebagaimana dinukil oleh Imam Hanabilah terkemuka di masanya, yakni Abu Fadl at-Tamimy (410 H), beliau menegaskan:  

إِنَّ الأَسْمَاءَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الشَّرِيعَةِ وَاللُّغَةِ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذَا الاسْمَ – أَيِ الْجِسْمَ – عَلَى ذِي طِولٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيبٍ وَصُورَةٍ وَتَأْلِيفٍ، وَاللهُ خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ – أي مُنزَّهٌ عَنْه – فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسمَّى جِسْمًا لِخروجِهِ عَنْ مَعْنَى الْجِسْمِيّةِ، وَلَمْ يَجِىءْ في الشَّرِيعَةِ ذَلِكَ فَبَطلَ

"Sesungguhnya istilah-istilah itu diambil dari peristilahan syariah dan peristilahan bahasa sedangkan ahli bahasa menetapkan istilah ini (jism) untuk sesuatu yang punya panjang, lebar, tebal, susunan, bentuk dan rangkaian, sedangkan Allah berbeda dari itu semua. Maka dari itu, tidak boleh mengatakan bahwa Allah adalah jism sebab Allah tak punya makna jismiyah. Dan, istilah itu juga tidak ada dalam istilah syariat, maka batal menyifati Allah demikian". (Abu al-Fadl at-Tamimy, I’tiqâd al-Imam al-Munabbal Ahmad bin Hanbal, 45).

Seperti telah dibahas sebelumnya, di antara prinsip teologi Ahlussunnah wal Jama’ah adalah menetapkan seluruh sifat yang disebutkan oleh al-Qur’an dan hadits sahih. Jadi apa pun yang disebutkan oleh Rasulullah tak ada yang ditolak, berapa pun banyaknya. Hanya saja bila ada suatu teks sifat Tuhan yang bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, maka teks tersebut tetap diakui keberadaannya tetapi tidak boleh dipahami secara literal supaya tidak kontradiktif. Teks yang tak boleh dipahami secara literal itu adakalanya cukup dibaca ulang saja (imrâr) tanpa dibahas mendalam apa hakikat maknanya (tafwîdh) atau maknanya dialihkan ke makna yang layak bagi Allah yang juga benar secara kebahasaan (ta’wîl).

Untuk menguji konsistensi ulama Ahlussunnah dalam pembelaannya terhadap segala teks yang dibawa oleh Rasulullah itu, Imam Abu Hasan al-Asy’ari mengajukan pertanyaan provokatif; bagaimana sikap Ahlussunnah andai ada teks ayat atau hadits sahih yang justru menegaskan  bahwa Allah adalah jism? Apakah masih akan ditetapkan sifat jism sesuai teks tersebut ataukah ditolak sesuai tuntutan akal? 

Jawabannya bisa dibaca dari nukilan Imam Ibnu Furak (406 H) berikut:

إن قال قائل أتجيزون لو ورد الخبر بأنه جسم أو متحرك كما ورد بأنه له يدين ووجها وعينا؟ فأجاب بأن ذلك لو ورد على الوجه الذي يليق به لكان عير منكر، لا على معنى أنه محل للحركة وأنه مؤلف، بل على معنى أنه فعل الحركة وأنه قائم بنفسه مستغن عن غيره

“Apabila ada orang yang berkata: Apakah kalian memperbolehkan andai saja ada teks (al-Qur'an atau hadits) yang mengatakan bahwa Allah adalah jism atau Allah bergerak, seperti halnya ada teks yang menyatakan bahwa ia mempunyai yadain (dua tangan), wajh (wajah) dan ‘ain (mata)? Imam Abu Hasan al-Asy'ari menjawab bahwa andai saja memang ada teks tersebut sesuai dengan sifat yang layak bagi Allah, maka itu tidak diingkari. Namun tidak dengan makna bahwa Allah menjadi tempat bagi sebuah gerakan atau bahwa Allah itu tersusun dari beberapa unsur. Akan tetapi atas makna bahwa Allah “melakukan” gerakan dan bahwa Ia mandiri tidak butuh pada yang lain”. (Ibnu Furak, Maqâlât as-Syaikh Abi al-Hasan al-Asy’ary, 59) 

Ternyata, bahkan bila ada ayat atau hadits yang menyatakan bahwa Allah adalah jism, maka itu pun akan ditetapkan juga oleh Imam Asy’ari, tentu saja dengan makna yang disesuaikan sehingga tak kontradiktif dengan ayat-ayat muhkam. Ini adalah bukti bahwa sebenarnya teologi Asy’ariyah adalah teologi yang sangat tekstual. Hanya saja kemudian tekstualitas itu dipertahankan dengan argumen rasional di panggung diskusi dengan aliran-aliran menyimpang. Ini justru menjadi nilai tambah yang jarang dimiliki golongan lainnya.

Wallahu a’lam. []

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar