Senin, 30 Desember 2019

Buya Syafii: Desember 1949, KMB dalam Lensa Kausalitas Sejarah


Desember 1949: KMB dalam Lensa Kausalitas Sejarah
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dalam kaitan dengan proses kristalisasi nasionalisme Indonesia, memang adalah sebuah tragedi nasional, seorang Tan Malaka (2 Juni 1897-21 Februari 1949) dibunuh tentara pada 21 Februari 1949 atas perintah Letda Sukotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur.

Siapa yang tak kenal Tan Malaka? Tokoh kiri yang kadar nasionalismenya tidak diragukan. Dia telah menghabiskan sebagian besar usianya di luar negeri agar Indonesia merdeka 100 persen. Tokoh ini tidak pernah menyetujui pemberontakan PKI tahun 1926/1927 dan pemberontakan PKI Madiun 1948. Tan Malaka dieksekusi dalam usia 52 tahun. Ini adalah pembunuhan yang tidak patut dan sangat ceroboh, dari sisi manapun orang melihatnya.

Pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Ketetapan Presiden Sukarno Nomor 53 tanggal 23 Maret 1963 adalah bukti bahwa Tan Malaka merupakan seorang pejuang dan patriot nasional sejati.

Dalam pada itu perlu dicatat, sisa-sisa kekuatan PKI setelah dihancurkan oleh pemerintah Hatta hanya dalam tempo singkat, berkat gempuran pasukan Siliwangi yang sangat antikomunis yang berhijrah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam perang gerilya, pasukan AH Nasution masih saja diintai oleh orang-orang PKI. Kita kutip: Akan tetapi, yang membahayakan ialah kegiatan orang- orang PKI. Oleh karena itu, Nasution menyetujui saran Kolonel Dr. Pratignyo dan Mayor Suryo Sumarmo agar pindah ke lereng perbatasan Gunung Merapi-Gunung Merbabu. Pada 1 Januari 1949, kedua perwira ini berangkat ke daerah tersebut untuk mencari tempat yang baik.

Ternyata pada malam hari mereka dibunuh orang-orang PKI. (Ibid., hlm. 109, berdasarkan karya tulis A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 9. Bandung: Disjarah AD- Angkasa, 1979, hlm. 104). Dendam PKI kepada Angkatan Darat ternyata kemudian berekor panjang yang tidak akan diulas di sini.

Patut juga dicatat di sini pada akhir 1948, pemrakarsa Perjanjian Linggarjati dan jauh sebelum itu sebagai bendahara Sumpah Pemuda 27-28 Oktober 1928, Perdana Menteri Mr Amir Sjarifuddin, mengalami nasib tragis di ujung hidupnya. Dalam majalah Suara Muhammadiyah, edisi 20 thn. 104, hlm. 14, saya menulis: Lalu entah apa yang mendorongnya untuk bersekutu dengan Moeso (tokoh komunis Stalinis) yang pulang ke Indonesia pada Mei 1948 yang berujung dengan meledaknya pemberontakan PKI Madiun September 1948. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden merangkap perdana menteri ketika itu bertindak tegas untuk segera melumpuhkan pemberontakan itu.

Selanjutnya saya menulis: Dalam tempo singkat pemberontakan dapat ditumpas, Moeso dan Amir Sjarifuddin ditangkap dan ditembak mati. Nasib Amir Sjarifuddin, bendahara Sumpah Pemuda, berakhir di tangan perwira Angkatan Darat atas perintah Gubernur Militer Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto. Dia menyudahi hidupnya dengan cara dihukum mati pada 19 Desember 1948 di kawasan Surakarta, persis sama tanggalnya dengan tertangkapnya Sukarno-Hatta oleh pasukan Belanda di Yogyakarta.Tertangkapnya Amir untuk dihukum mati, tertawannya Sukarno-Hatta hanya memperlambat proses penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia.

Tentang kepribadian Amir ini, sahabat dekatnya dari partai Masyumi Dr. Abu Hanifah menulis: Di samping itu, ada segi yang mencolok dalam wataknya, ambisinya besar, karena amat percaya kepada kapasitasnya.Memang ia seorang brilian, tetapi nampaknya ia tidak stabil, dan tidak sabar. (LIh. Abu Hanifah, "Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin" dalam Taufik Abdullah dkk, Manusia dalam Kemelut Sejarah.Jakarta: LP3ES, 1981, hlm. 217). Apakah Amir Sjarifuddin seorang komunis fanatik atau hanya seorang Radikal-Sosialis, atau Nasionalis- Revolusioner, atau Marxis tok, Abu Hanifah bersaksi bahwa Amir bukan seorang komunis tulen, karena dalam sakunya selalu ada Kitab Injil kecil. (Ibid.). Siapa yang tidak akan tergerak batinnya untuk mengenal lebih dalam drama perang mempertahankan kemerdekaan ini?

Terlalu banyak sisi yang menarik di seputar KMB tahun 1949. Penuh warna heroik kemerdekaan yang bergelora, tetapi juga ada korbannya, seperti yang dialami Amir Sjarifuddin dan Tan Malaka, keduanya berasal dari Pulau Andalas (Sumatra). Sekalipun keduanya sama- sama kiri. Bedanya, Amir Sjarifuddin pernah berontak, sedangkan Tan Malaka tidak pernah setuju dengan pemberontakan PKI.

Kedua tokoh ini sama-sama tidak menyaksikan peristiwa penyerahan kedaulatan oleh Belanda sebagai hasil KMB: naik dan berkibarnya bendera sang saka Merah Putih bersamaan dengan turunnya bendera triwarna (merah, putih, dan biru), lambang keperkasaan kolonialisme Belanda yang sudah runtuh dan layu. []

REPUBLIKA, 24 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar