Hukum Meninggalkan Jumat
karena Ketiduran
Kewajiban shalat Jumat sangat terang sekali
disampaikan dalam beberapa argumentasi. Ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, dan
statemen para ulama telah banyak menyinggungnya. Demikian pula dengan ancaman
orang yang meninggalkannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa orang
yang meninggalkan Jumat selama tiga kali, Allah membekukan hatinya.
Namun tidak ada manusia yang lepas dari
kesalahan selain para nabi, terkadang karena tidurnya sangat nyenyak sehingga
berdampak pada peninggalan Jumat. Bisa jadi karena terlalu capek, kebiasaan
atau hal lainnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukumnya meninggalkan Jumat
karena ketiduran?
Persoalan ini setidaknya diperinci sebagai
berikut:
Pertama, tidur setelah masuk waktu Jumat.
Jika tidurnya setelah masuk waktu, maka hukumnya
haram, kecuali yakin atau menduga bisa bangun dan bisa menemui Jumatan. Orang
yang biasanya bisa bangun dan menemui Jumat, baik bangun sendiri, memasang
alarm atau dibangunkan orang lain, tidak berdosa apabila ternyata ia kebetulan
tidak terbangun di luar prediksi dan kebiasaannya.
Bila ia tidak memiliki dugaan atau kebiasaan
bisa menemui Jumatan, maka hukumnya haram. Ia berdosa karena tidurnya. Dalam
kondisi yang diharamkan, tidur bukan menjadi udzur (alasan) untuk meninggalkan
Jumat, sebab tidur dalam kondisi tersebut merupakan kecerobohan.
Syekh Muhammad Ar-Ramli mengatakan:
بِخِلَافِ
نَوْمِهِ فِيْهِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ إِلَّا إِنْ عَلِمَ أَوْ ظَنَّ تَيَقُّظَهُ
وَفَعَلَهَا فِيْهِ
Artinya, “Berbeda dengan tidur di dalam waktu
shalat, maka haram kecuali yakin atau menduga bisa bangun dan melakukan shalat
pada waktunya,” (Lihat Syekh Muhammad Ar-Ramli, Fatawa Ar-Ramli, juz I,
halaman 115).
Kedua, tidur sebelum masuk waktu Jumat.
Orang yang tidur setelah subuh dan sebelum
masuk waktu Jumat serta ia yakin atau menduga dapat menemui Jumat, maka ulama
sepakat hukumnya boleh. Dugaan bisa menemui Jumat bisa dihasilkan misalkan
dengan kebiasaan, memasang alarm, dan lain sebagainya sebagaimana penjelasan di
atas.
Namun bila dengan tidurnya yakin atau menduga
tidak dapat menemui Jumat, maka ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama,
hukumnya haram. Pendapat ini menganalogikan tidur dengan bepergian sebelum
masuk waktu Jumat, di mana dalam perincian hukumnya adalah haram bila tidak ada
dugaan menemui Jumatan di perjalanannya.
Syekh Ali Syibramalisi mengatakan:
وَالْجُمُعَةُ
مُضَافَةٌ إلَى الْيَوْمِ فَإِنْ أَمْكَنَهُ الْجُمُعَةُ فِي طَرِيقِهِ أَوْ
تَضَرَّرَ بِتَخَلُّفِهِ جَازَ وَإِلاَّ فَلاَ (قَوْلُهُ وَالْجُمُعَةُ مُضَافَةٌ
إلَى الْيَوْمِ) أَخَذَ بَعْضُهُمْ مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ يَحْرُمُ النَّوْمُ بَعْدَ
الْفَجْرِ عَلَى مَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ اْلإسْتِيقَاظِ قَبْلَ فَوَاتِ
الْجُمُعَةِ وَمَنَعَهُ م ر
Artinya, “Kewajiban Jumat disandarkan kepada
hari, maka bila memungkinkan Jumatan di jalan atau tertimpa bahaya dengan
tertinggal dari rombongan, maka boleh bepergian, bila tidak demikian, maka
haram. Statemen Ar-Ramli, kewajiban Jumat disandarkan kepada hari, sebagian
ulama mengambil simpulan dari keterangan ini, bahwa haram hukumnya tidur
setelah fajar bagi orang yang menduga tidak bangun sebelum selesainya Jumatan,
dan pendapat ini ditolak Imam Ar-Ramli,” (Lihat Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah
‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II, halaman 293).
Sementara menurut Imam Ar-Ramli, hukumnya
boleh. Ia membedakan persoalan tidur dan bepergian. Menurutnya, bepergian
sebelum masuk waktu Jumat lebih memiliki potensi besar untuk meninggalkan Jumat
dibandingakan dengan tidur sehingga hukumnya lebih berat.
Pendapat Ar-Ramli ini sebagaimana disampaikan
oleh Syekh Al-Qalyubi sebagai berikut:
وَخَرَجَ
بِالسَّفَرِ النَّوْمُ قَبْلَ الزَّوَالِ فَلاَ يَحْرُمُ وَإِنْ عَلِمَ فَوْتَ
الْجُمُعَةِ بِهِ كَمَا اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ لأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ
شَأْنِ النَّوْمِ الْفَوَاتُ وَخَالَفَهُ غَيْرُهُ اهـ
Artinya, “Dikecualikan dengan bepergian,
tidur sebelum tergelincirnya matahari, maka tidak haram, meski yakin tidak
dapat menemui Jumat sebagaimana pendapat yang dipegang oleh guru kami, Syekh
Muhammad Ar-Ramli, sebab tidur sebelum masuk waktu bukan termasuk potensi besar
meninggalkan Jumat. Pendapat Ar-Ramli ini berbeda dengan ulama lain,” (Lihat
Syekh Al-Qalyubi, Hasyiyatul Qalyubi ‘alal Mahalli, juz I, halaman 313).
Senada dengan pendapat Ar-Ramli, Syekh Ali
Syibramalisi menyampaikan dukungan untuk pendapatnya Ar-Ramli. Di antara
petunjuk kebenaran pendapat Ar-Ramli menurutnya adalah diperbolehkannya keluar
dari masjid sebelum masuk waktu Jumat bagi jamaah yang sudah berada di dalam
masjid karena adanya udzur yang menimpa mereka. Ali Syibramalisi juga
menegaskan bahwa kedudukan tidur dalam permasalahan ini sama dengan sakit,
bahkan melebihinya.
Syekh Ali Syibramalisi mengatakan:
أَقُولُ
وَهُوَ ظَاهِرٌ وَيَدُلُّ لَهُ جَوَازُ انْصِرَافِ الْمَعْذُورِينَ مِنْ
الْمَسْجِدِ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لِقِيَامِ الْعُذْرِ بِهِمْ وَفَرَّقُوْا
بَيْنَهُ وَبَيْنَ وُجُوبِ السَّعْيِ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ
Artinya, “Saya berkata, menunjukan kepada
kebenaran pendapat Imam Ar-Ramli kebolehan undur diri dari masjid sebelum masuk
waktu karena udzur yang menimpa, ulama membedakan kasus tersebut dengan
kewajiban berjalan bagi orang yang rumahnya jauh.”
وَالنَّوْمُ
هُنَا عُذْرٌ قَائِمٌ بِهِ كَالْمَرَضِ بَلْ أَوْلَى ِلأَنَّ الْمَرِيْضَ بَعْدَ
حُضُورِهِ الْمَسْجِدَ وَلاَ مَشَقَّةَ عَلَيْهِ فِي الْمُكْثِ لَمْ يَبْقَ لَهُ
عُذْرٌ فِي اْلإنْصِرَافِ بِخِلاَفِ النَّوْمِ فَإِنَّهُ قَدْ يَهْجُمُ عَلَيْهِ
بِحَيْثُ لاَ يَسْتَطِيعُ دَفْعُهُ اهـ
Artinya, “Tidur dalam permasalahan ini adalah
udzur yang melekat kepada seseorang seperti sakit, bahkan lebih utama. Sebab
orang sakit setelah ia menghadiri masjid dan tidak ada keberatan baginya untuk
berada di tempat, tidak ada udzur baginya untuk keluar dari masjid, berbeda
dengan tidur, terkadang tidur menghampiri seseorang dalam batas yang tidak
mungkin dihindari,” (Lihat Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil
Muhtaj, juz II, halaman 293).
Demikian penjelasan mengenai hukum
meninggalkan Jumat karena ketiduran. Terlepas dari boleh dan haram sesuai penjelasan
di atas, setelah terbangun orang tersebut berkewajiban untuk mengqadha’
(mengganti) Jumatan yang ia tinggalkan dengan shalat Zhuhur. Hendaknya seorang
Muslim bisa mengatur waktu tidurnya dengan baik sehingga tidak berdampak pada
terbengkalainya kewajiban agama yang dibebankan kepadanya. Wallahu a’lam.
[]
Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan, Arjawinangun Cirebon Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar