Jumat, 13 Desember 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Meninggalkan Jumat karena Ketiduran


Hukum Meninggalkan Jumat karena Ketiduran

Kewajiban shalat Jumat sangat terang sekali disampaikan dalam beberapa argumentasi. Ayat Al-Qur’an, hadits Nabi, dan statemen para ulama telah banyak menyinggungnya. Demikian pula dengan ancaman orang yang meninggalkannya. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa  orang yang meninggalkan Jumat selama tiga kali, Allah membekukan hatinya.

Namun tidak ada manusia yang lepas dari kesalahan selain para nabi, terkadang karena tidurnya sangat nyenyak sehingga berdampak pada peninggalan Jumat. Bisa jadi karena terlalu capek, kebiasaan atau hal lainnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana hukumnya meninggalkan Jumat karena ketiduran?

Persoalan ini setidaknya diperinci sebagai berikut:

Pertama, tidur setelah masuk waktu Jumat.

Jika tidurnya setelah masuk waktu, maka hukumnya haram, kecuali yakin atau menduga bisa bangun dan bisa menemui Jumatan. Orang yang biasanya bisa bangun dan menemui Jumat, baik bangun sendiri, memasang alarm atau dibangunkan orang lain, tidak berdosa apabila ternyata ia kebetulan tidak terbangun di luar prediksi dan kebiasaannya.

Bila ia tidak memiliki dugaan atau kebiasaan bisa menemui Jumatan, maka hukumnya haram. Ia berdosa karena tidurnya. Dalam kondisi yang diharamkan, tidur bukan menjadi udzur (alasan) untuk meninggalkan Jumat, sebab tidur dalam kondisi tersebut merupakan kecerobohan.

Syekh Muhammad Ar-Ramli mengatakan:

بِخِلَافِ نَوْمِهِ فِيْهِ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ إِلَّا إِنْ عَلِمَ أَوْ ظَنَّ تَيَقُّظَهُ وَفَعَلَهَا فِيْهِ 

Artinya, “Berbeda dengan tidur di dalam waktu shalat, maka haram kecuali yakin atau menduga bisa bangun dan melakukan shalat pada waktunya,” (Lihat Syekh Muhammad Ar-Ramli, Fatawa Ar-Ramli, juz I, halaman 115).

Kedua, tidur sebelum masuk waktu Jumat.

Orang yang tidur setelah subuh dan sebelum masuk waktu Jumat serta ia yakin atau menduga dapat menemui Jumat, maka ulama sepakat hukumnya boleh. Dugaan bisa menemui Jumat bisa dihasilkan misalkan dengan kebiasaan, memasang alarm, dan lain sebagainya sebagaimana penjelasan di atas.

Namun bila dengan tidurnya yakin atau menduga tidak dapat menemui Jumat, maka ulama berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama, hukumnya haram. Pendapat ini menganalogikan tidur dengan bepergian sebelum masuk waktu Jumat, di mana dalam perincian hukumnya adalah haram bila tidak ada dugaan menemui Jumatan di perjalanannya.

Syekh Ali Syibramalisi mengatakan:

وَالْجُمُعَةُ مُضَافَةٌ إلَى الْيَوْمِ فَإِنْ أَمْكَنَهُ الْجُمُعَةُ فِي طَرِيقِهِ أَوْ تَضَرَّرَ بِتَخَلُّفِهِ جَازَ وَإِلاَّ فَلاَ (قَوْلُهُ وَالْجُمُعَةُ مُضَافَةٌ إلَى الْيَوْمِ) أَخَذَ بَعْضُهُمْ مِنْ ذَلِكَ أَنَّهُ يَحْرُمُ النَّوْمُ بَعْدَ الْفَجْرِ عَلَى مَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ اْلإسْتِيقَاظِ قَبْلَ فَوَاتِ الْجُمُعَةِ وَمَنَعَهُ م ر

Artinya, “Kewajiban Jumat disandarkan kepada hari, maka bila memungkinkan Jumatan di jalan atau tertimpa bahaya dengan tertinggal dari rombongan, maka boleh bepergian, bila tidak demikian, maka haram. Statemen Ar-Ramli, kewajiban Jumat disandarkan kepada hari, sebagian ulama mengambil simpulan dari keterangan ini, bahwa haram hukumnya tidur setelah fajar bagi orang yang menduga tidak bangun sebelum selesainya Jumatan, dan pendapat ini ditolak Imam Ar-Ramli,” (Lihat Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II, halaman 293).

Sementara menurut Imam Ar-Ramli, hukumnya boleh. Ia membedakan persoalan tidur dan bepergian. Menurutnya, bepergian sebelum masuk waktu Jumat lebih memiliki potensi besar untuk meninggalkan Jumat dibandingakan dengan tidur sehingga hukumnya lebih berat.

Pendapat Ar-Ramli ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Al-Qalyubi sebagai berikut:

وَخَرَجَ بِالسَّفَرِ النَّوْمُ قَبْلَ الزَّوَالِ فَلاَ يَحْرُمُ وَإِنْ عَلِمَ فَوْتَ الْجُمُعَةِ بِهِ كَمَا اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ لأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ شَأْنِ النَّوْمِ الْفَوَاتُ وَخَالَفَهُ غَيْرُهُ اهـ

Artinya, “Dikecualikan dengan bepergian, tidur sebelum tergelincirnya matahari, maka tidak haram, meski yakin tidak dapat menemui Jumat sebagaimana pendapat yang dipegang oleh guru kami, Syekh Muhammad Ar-Ramli, sebab tidur sebelum masuk waktu bukan termasuk potensi besar meninggalkan Jumat. Pendapat Ar-Ramli ini berbeda dengan ulama lain,” (Lihat Syekh Al-Qalyubi, Hasyiyatul Qalyubi ‘alal Mahalli, juz I, halaman 313).

Senada dengan pendapat Ar-Ramli, Syekh Ali Syibramalisi menyampaikan dukungan untuk pendapatnya Ar-Ramli. Di antara petunjuk kebenaran pendapat Ar-Ramli menurutnya adalah diperbolehkannya keluar dari masjid sebelum masuk waktu Jumat bagi jamaah yang sudah berada di dalam masjid karena adanya udzur yang menimpa mereka. Ali Syibramalisi juga menegaskan bahwa kedudukan tidur dalam permasalahan ini sama dengan sakit, bahkan melebihinya.

Syekh Ali Syibramalisi mengatakan:

أَقُولُ وَهُوَ ظَاهِرٌ وَيَدُلُّ لَهُ جَوَازُ انْصِرَافِ الْمَعْذُورِينَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لِقِيَامِ الْعُذْرِ بِهِمْ وَفَرَّقُوْا بَيْنَهُ وَبَيْنَ وُجُوبِ السَّعْيِ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ 

Artinya, “Saya berkata, menunjukan kepada kebenaran pendapat Imam Ar-Ramli kebolehan undur diri dari masjid sebelum masuk waktu karena udzur yang menimpa, ulama membedakan kasus tersebut dengan kewajiban berjalan bagi orang yang rumahnya jauh.”

وَالنَّوْمُ هُنَا عُذْرٌ قَائِمٌ بِهِ كَالْمَرَضِ بَلْ أَوْلَى ِلأَنَّ الْمَرِيْضَ بَعْدَ حُضُورِهِ الْمَسْجِدَ وَلاَ مَشَقَّةَ عَلَيْهِ فِي الْمُكْثِ لَمْ يَبْقَ لَهُ عُذْرٌ فِي اْلإنْصِرَافِ بِخِلاَفِ النَّوْمِ فَإِنَّهُ قَدْ يَهْجُمُ عَلَيْهِ بِحَيْثُ لاَ يَسْتَطِيعُ دَفْعُهُ اهـ

Artinya, “Tidur dalam permasalahan ini adalah udzur yang melekat kepada seseorang seperti sakit, bahkan lebih utama. Sebab orang sakit setelah ia menghadiri masjid dan tidak ada keberatan baginya untuk berada di tempat, tidak ada udzur baginya untuk keluar dari masjid, berbeda dengan tidur, terkadang tidur menghampiri seseorang dalam batas yang tidak mungkin dihindari,” (Lihat Syekh Ali Syibramalisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatil Muhtaj, juz II, halaman 293).

Demikian penjelasan mengenai hukum meninggalkan Jumat karena ketiduran. Terlepas dari boleh dan haram sesuai penjelasan di atas, setelah terbangun orang tersebut berkewajiban untuk mengqadha’ (mengganti) Jumatan yang ia tinggalkan dengan shalat Zhuhur. Hendaknya seorang Muslim bisa mengatur waktu tidurnya dengan baik sehingga tidak berdampak pada terbengkalainya kewajiban agama yang dibebankan kepadanya. Wallahu a’lam. []

Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pesantren Raudlatul Qur’an, Geyongan, Arjawinangun Cirebon Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar