Senin, 23 Desember 2019

BamSoet: Memelihara Karakter Bangsa, Perkuat Fondasi NKRI


Memelihara Karakter Bangsa, Perkuat Fondasi NKRI
Oleh: Bambang Soesatyo

LENGAH memelihara karakter bangsa (nation character) menyebabkan persatuan dan kesatuan dengan mudah digerogoti dan dirongrong oleh ideologi atau paham lain. Tak hanya tercerabut dari akar budayanya, ada komunitas yang bahkan tidak lagi bangga dengan keindonesiaannya. Prioritas pemerintah membangun sumber daya manusia (SDM) lima tahun ke depan hendaknya juga menyentuh aspek karakter atau jiwa kebangsaan Indonesia itu.

Semua elemen masyarakat sudah tahu dan menyadari bahwa bangsa dan negara ini sedang menghadapi persoalan cukup serius. Persoalan itu tentang ada upaya merongrong persatuan dan kesatuan. Persoalan itu ditandai oleh cara melihat dan menyikapi beda keyakinan sebagai persoalan, keinginan mengubah bentuk negara Indonesia, hingga menolak Pancasila.

Masyarakat tahu dan menyadari masalah ini karena rongrongan itu disuarakan dengan lantang plus dibumbui sejumlah aksi di ruang publik, termasuk persekusi. Keprihatinan lain adalah saat melihat ada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak lagi berpijak pada akar budaya warisan para leluhur. Budaya lokal yang luhur dan agung diganti dengan budaya lain yang diimpor. Melengkapi gambaran persoalan itu, sangat relevan jika menyimak sejumlah kasus atau temuan yang telah dipublikasikan. Misalnya, kasus di Batam.

Baru-baru ini, dua siswa SMPN 21 Batam dikeluarkan dari sekolah karena dua siswa itu menolak hormat bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dua siswa itu tidak mau hormat bendera dan menolak menyanyikan Indonesia Raya karena tidak dibenarkan oleh kepercayaan yang mereka anut. Padahal, kewajiban hormat bendera dan menyanyikan Indonesia Raya saat upacara telah diatur dalam Permendikbud Nomor 22/2018 tentang Tata Cara Upacara Bendera.

Pada pertengahan Juni 2019, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj mengungkapkan ada sekitar 23% penduduk Indonesia yang menolak eksistensi ideologi Pancasila, dan 9% penduduk Indonesia setuju menggunakan kekerasan untuk mendirikan negara khilafah. Hasil penelitian PBNU itu juga menyebutkan bahwa mereka yang menolak Pancasila berasal dari aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, pelajar, dan masyarakat umum.

Dari fakta dan data-data tadi, ada sejumlah kesimpulan bisa dirumuskan. Paling utama tentu saja kesediaan negara untuk mengakui bahwa ketahanan ideologi bangsa tidak cukup kokoh sehingga bisa dan telah dibobol. Kesediaan untuk membuat pengakuan seperti ini penting agar negara terdorong melakukan introspeksi. Apa yang salah pada aspek ketahanan ideologi bangsa? Paling tidak, negara harus mencari jawaban atas pertanyaan itu.

Kesediaan negara melakukan introspeksi pun menjadi relevan karena respons negara selama ini baru sebatas menyalahkan kelompok-kelompok intoleran dan mereka yang menolak Pancasila, tanpa pernah menyadari ada faktor kelemahan dari dalam negara sendiri. Untuk rentang waktu yang sangat lama, negara lengah dalam menjaga ideologi bangsa sehingga paham atau ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila bisa diadopsi oleh jutaan orang muda Indonesia.

Kalau negara selalu dalam posisi waspada, ideologi dan ajaran sesat itu tidak akan mampu menyusup ke sekolah dan kampus. Pun tidak akan bisa masuk ke dalam struktur manajemen ASN. Jiwa kebangsaan pada akhirnya harus dikatakan bahwa ideologi atau paham lain yang diimpor itu menjadi sangat mudah diterima orang muda dan dibenturkan dengan ideologi bangsa karena faktor kelemahan negara sendiri. Selama beberapa dekade belakangan ini, negara kurang peduli dengan urgensi menjaga karakter atau jiwa kebangsaan Indonesia, utamanya di kalangan orang muda. Kerja reformasi yang fokus pada politik dan hukum menyebabkan beberapa aspek nyaris tak tersentuh.

Apalagi yang namanya kerja memelihara dan memperkuat jiwa kebangsaan. Jangankan mendapatkan sentuhan, aspek yang satu ini bahkan nyaris tak pernah dijadikan bahan diskusi. Baru ketika kelompok perongrong NKRI dan Pancasila tampak tumbuh subur dan terus menguat, semuanya pun tersentak. Namun, sejauh ini belum ada rumusan yang dinilai cukup efektif untuk menetralisasi atau menghentikan progres gerakan perongrong NKRI dan Pancasila itu. Di permukaan, yang tampak hanyalah tuduhan dan kecaman.

Padahal, sudah dipahami bahwa cara-cara seperti itu tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Sudah waktunya negara mulai berupaya memperkuat jiwa kebangsaan atau yang lazim dikenal dengan ungkapan nation character building , dengan menyasar orang muda Indonesia. Upaya ini penting karena perubahan zaman dan derasnya impor budaya asing menyebabkan sebagian orang muda Indonesia masa kini nyaris kehilangan jati diri keindonesiaannya.

Bahkan kelompok-kelompok orang muda seperti itu tampak bias karena tidak fokus membangun masa depannya. Perubahan zaman menuntut orang muda membangun kompetensi masing-masing. Namun, ada fakta yang menunjukkan sebagian orang muda di kampus dan sekolah lebih memprioritaskan pendalaman aspek spiritualitas.

Generasi orang tua masa kini sudah diwarisi jiwa kebangsaan itu. Namun, warisan jiwa kebangsaan itu tidak sepenuhnya diberikan kepada anak-cucu atau orang muda Indonesia masa kini sehingga mereka menjadi sangat mudah untuk menerima ideologi atau ajaran sistem nilai yang diimpor dari tempat lain.

Dilandasi spiritualisme dan nasionalisme, lima sila dari Pancasila menjadi pijakan jiwa kebangsaan Indonesia. Di dalamnya mencakup pembangunan dan pembentukan budi pekerti yang baik, perilaku hidup bermasyarakat yang toleran, hingga semangat persaudaraan dengan bangsa lain. Karena itu, sejak dahulu kala dunia mengenal keberagaman warga bangsa Indonesia sebagai komunitas masyarakat yang santun dan toleran. Apa yang terlihat begitu menggelisahkan sekarang ini adalah lunturnya jiwa kebangsaan Indonesia itu pada sebagian orang muda.

Bahkan ada kelompok yang tidak lagi merasa bangga sebagai orang Indonesia. Semua itu layak dilihat sebagai sebuah kerusakan. Dan, sudah barang tentu kerusakan itu harus diperbaiki. Inilah yang menjadi kewajiban negara. Sudah ada momentum untuk melakukan perbaikan atas kerusakan itu. Bukankah dalam lima tahun ke depan pemerintah akan fokus membangun SDM Indonesia? Kemendikbud dan Kemenristek pasti fokus mendorong anak didik dan mahasiswa untuk membangun kompetensi masing-masing.

Pilihan ini tidak salah, dan memang sudah seharusnya begitu. Namun, karena ada kenyataan bahwa sebagian orang muda nyaris kehilangan jati diri keindonesiaannya, dua kementerian itu diharapkan bisa menyisipkan kurikulum yang menyentuh pembangunan karakter atau jiwa kebangsaan Indonesia. Dengan pendekatan seperti itu, fondasi NKRI akan semakin kokoh di masa depan. []

KORAN SINDO, 17 Desember 2019
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar