Agamamu
Apa?
Oleh:
Alissa Wahid
Saat
pertama kali istilah ini muncul di media sosial beberapa tahun lalu, jagat
netizen Indonesia menertawakannya karena menganggap ini adalah pertanyaan yang
absurd. Ia muncul terutama pada pembicaraan mengenai ucapan selamat Natal atau
tentang pemimpin seagama dalam kontes pemilihan kepala daerah, atau pembicaraan
tentang hal-hal lain dalam kehidupan bermasyarakat. Mak bedunduk, pertanyaan
”maaf, agamamu apa?” mengimbuhi percakapan. Dan publik tertawa.
Pertanyaan
ini terasa absurd karena sebelumnya sebagian besar masyarakat Indonesia tidak pernah
menggunakan ukuran ini dalam kehidupan keseharian yang tidak terkait dengan
ibadah pokok. Kebersamaan sebagai sesama warga bangsa Indonesia dianggap cukup
untuk menjembatani dan mengelola keberagaman.
Tetapi,
akhir-akhir ini, pertanyaan tersebut mengalami normalisasi dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat. Ia semakin sering terlontar. Tidak hanya di media
sosial, pertanyaan ”agamamu apa?” menjadi gerbang penentuan pengambilan
keputusan bagi semakin banyak orang dalam interaksi riil sehari-hari. Kisah-kisah
bertebaran dari berbagai kejadian nyata.
Seorang
perempuan ditolak di sebuah salon kecantikan karena agamanya. Seorang pemesan
ojek daring ditolak naik kendaraan setelah Kang Ojol tahu bahwa penumpangnya
hendak pergi beribadah yang tidak sejalan dengan Kang Ojol. Seorang pembeli kue
diberi tahu bahwa pelayanan hanya diberikan kepada sesama umat beragama.
Satu
keluarga diminta memindahkan makam anggotanya karena agamanya berbeda dari
mayoritas warga kampung. Beberapa mahasiswa mengalami kesulitan mencari tempat
kos karena agamanya. Seorang seniman yang sudah membayar sewa kontrakan
terpaksa pindah setelah ketahuan beragama berbeda dengan kelompok mayoritas
dengan pertimbangan menjaga harmoni masyarakat kampung setempat.
Demikianlah
fakta yang makin nyata terasakan belakangan. Inilah dampak dari semakin
menguatnya nilai dan ideologi eksklusivisme beragama. Nilai-nilai tersebut
tumbuh subur selama beberapa tahun terakhir ini mengikuti pengabaian kita yang
diakibatkan oleh dua pertimbangan.
Pertama,
nilai-nilai tersebut awalnya dinilai sebagai wujud peningkatan spiritualitas.
Kedua, kita terlalu terfokus pada terorisme alias ekstremisme dengan kekerasan,
dan menganggap selainnya sebagai bukan persoalan. Ada tiga tipe ancaman yang
terkait dengan praktik beragama, yaitu ekstremisme dengan kekerasan,
ekstremisme tanpa kekerasan, dan eksklusivisme beragama.
Sayangnya,
pemerintah sering kali kurang cermat memahami karakteristik khas setiap ancaman
tersebut, dan dampaknya kurang cermat memilih strategi responsnya.
Terorisme
atau ekstremisme dengan kekerasan menjadi perhatian penuh pemerintah sejak bom
Bali. Ruang gerak jaringan teroris dan akses terhadap persenjataan mengecil,
dengan salah satu dampaknya adalah minimnya jumlah dan persentase foreign
fighters yang pergi ke Suriah.
Ekstremisme
tanpa kekerasan meliputi sikap menolak konsep negara-bangsa Indonesia
sebagaimana kasus keluarga Kristen kelompok tertentu yang melarang anaknya
menghormat bendera Merah Putih di sekolah sampai ideologi Hizbut Tahrir
Indonesia yang menginginkan penggantian ideologi dan konsep negara bangsa.
Eksklusivisme
beragama tampak ringan bila dibandingkan dua kategori awal. Eksklusivisme
beragama mendorong pengikutnya meyakini dirinya sebagai umat terpilih dan
paling berhak atas bumi ini, karenanya kelompok liyan tidak punya tempat.
Eksklusivisme beragama bukanlah benda asing, bukan hanya milik kelompok agama
tertentu, dan bukan khas Indonesia. Dalam sejarah Kristiani di masa lalu,
terutama di Eropa, misalnya, praktik eksklusivisme beragama juga terjadi dalam
berbagai bentuk.
Karena
sifatnya yang khas, eksklusivisme agama sering tidak terbaca oleh negara.
Padahal, ia justru memiliki daya rusak yang sangat besar karena bersifat jangka
panjang. Ia mereduksi kualitas demokrasi dengan munculnya aturan-aturan
diskriminatif. Ia merusak rumah kebangsaan yang dibangun dengan elemen bangunan
yang berbeda-beda. Ia merusak kerukunan hakiki antar-umat beragama.
Dalam hal
ini, pemerintah belum memiliki strategi yang cukup ampuh sehingga terkesan
gamang. Contohnya, kewalahan menghadapi perilaku kelompok-kelompok seperti
ormas tertentu yang sering bertindak melanggar hak konstitusi warga negara
dengan melakukan sweeping hal-hal yang dianggap kemungkaran.
Eksklusivisme
agama merusak bagaikan kanker: ia masuk ke semua ruang kehidupan, hari demi
hari, menciptakan aturan-aturan yang membelah antara kelompokku dan kelompok
liyan baik aturan informal seperti kasus rumah sewa di kampung sampai aturan
formal seperti pengaturan pelaksanaan kegiatan ibadah kelompok minoritas.
Dulu kita
anggap peristiwa eksklusivisme ini kasuistik, karenanya direspons kasus per
kasus. Sekarang ia menjadi tren. Sebentar lagi ia dapat berkembang menjadi
norma masyarakat bila kita tak sanggup mengelolanya dengan lebih baik.
Contoh
hal terakhir adalah ketidakmampuan publik membedakan ibadah di rumah dengan
rumah ibadah, berujung tidak diperbolehkannya warga menyelenggarakan tradisi
keyakinannya di dalam rumah dengan alasan seharusnya dilakukan di rumah ibadah.
Konyolnya,
ini tidak dilakukan secara adil: hanya berlaku pada kelompok minoritas, bukan
mayoritas. Saya jadi teringat pengalaman mengaji yasinan di sebuah rumah
kelompok minoritas Muslim di Indonesia Timur. Bila aturan ini diimplementasikan
secara adil, apakah berarti saudara-saudara Muslim saya tidak diperbolehkan
menyelenggarakan pengajiannya?
Lebih
jauh lagi, apakah berarti acara Haul Gus Dur yang berisi tahlil dihadiri 5.000
sampai 10.000 orang setiap tahun juga tak boleh dilakukan, karena ia adalah
jenis kegiatan ibadah dan tidak boleh dilaksanakan di halaman kediaman kami di
Ciganjur? []
KOMPAS, 1
Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar