Jawaban atas Tudingan Pihak
Anti-Istighotsah
Pertama: Orang-orang yang anti terhadap
istighotsah sering menyebut-nyebut sebagai dalil mereka sebuah hadits yang
disepakati sebagai hadits dla’if. Yaitu hadits bahwa Abu Bakr berkata: Mari
kita mendatangi Rasulullah dan meminta pertolongan kepada beliau dari orang
munafik ini, kemudian Rasulullah mengatakan:
إِنَّهُ
لاَ يُسْتَغَاثُ بِيْ، إِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاللهِ
“Sungguh tidak boleh beristighotsah denganku,
istighotsah hanyalah boleh dengan Allah.”
Jawab: Hadits ini salah satu perawinya adalah
Ibnu Lahi’ah dan ia adalah perawi yang lemah. Hadits ini juga bertentangan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya dari sahabat
Abdullah ibnu Umar tentang peristiwa di padang Mahsyar. Bagaimana mereka
berpegangan dengan hadits yang dla’if dan bertentangan dengan hadits yang
shahih?.
Kedua: Kalangan yang anti istighotsah, ketika
mengharamkan isti’anah dan istighotsah dengan selain Allah juga menyebutkan
hadits Nabi dari Ibnu Abbas:
(إِذَا
سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ (رواه
الترمذيّ
Hadits ini menunjukkan bahwa hanya boleh
beristi’anah dan beristighotsah kepada Allah.
Jawab: Makna hadits ini bukanlah: Jangan
meminta kepada selain Allah dan jangan meminta tolong kepada selain Allah.
Melainkan makna hadits ini adalah bahwa yang paling layak diminta dan diharap
pertolongannya adalah Allah . Hadits ini maknanya seperti hadits Nabi:
(لاَ
تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ (رواه ابن
حبّان
Jadi sebagaimana hadits ini tidak menunjukkan
haramnya bersahabat dengan non muslim dan haramnya memberi makan kecuali kepada
orang yang bertakwa, melainkan maknanya bahwa yang paling layak dijadikan teman
adalah orang mukmin dan yang paling layak dijamu adalah orang yang bertakwa.
Hadits tersebut tidak berarti haram memberi makan kepada selain orang mukmin
dan haram menjadikannya sebagai teman. Allah memuji kaum muslimin di
dalam al Qur'an dengan firman-Nya:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Maknanya: “Dan mereka memberikan makanan
karena Allah kepada orang miskin, anak yatim dan orang kafir yang ditawan” (QS
al-Insan: 8).
Demikian pula hadits Ibnu Abbas hanya
menunjukkan makna awlawiyyah (yang paling layak). Karena Rasulullah
tidak mengatakan:
لاَ
تَسْأَلْ غَيْرَ اللهِ وَلاَ تَسْتَعِنْ بِغَيْرِ اللهِ
Bukankah jauh berbeda antara perkataan:
لاَ
تَسْأَلْ غَيْرَ اللهِ وَلاَ تَسْتَعِنْ بِغَيْرِ اللهِ
Dan perkataan:
إِذَا
سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
Dan jika hadits Ibnu Abbas dimaknai secara
mutlak bahwa tidak boleh meminta pertolongan kecuali kepada Allah, itu artinya
menolak dalil-dalil yang sahih tentang isti’anah dan istighotsah kepada
selain Allah yang telah disebutkan, juga menolak ayat-ayat dan hadits-hadits
umum yang menisbatkan Ighatsah (memberi pertolongan) kepada hamba dan
menganjurkan para hamba untuk saling tolong menolong antar sesama, di antaranya
firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
Maknanya: “Dan tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS al Maa-idah: 2).
Rasulullah bersabda:
(وَأَنْ
تُغِيْثُوْا الْمَلْهُوْفَ وَتَهْدُوْا الضّآلَّ (رواه أبو داود
“(Di antara hak-hak jalan) kalian menolong
orang yang berada dalam kesulitan dan menunjukkan orang yang tersesat
jalan” (HR Abu Dawud)
Rasulullah juga bersabda:
وَاللهُ
فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
“Allah akan senantiasa menolong hamba selama
hamba menolong sesamanya” (HR Muslim)
Dalam Fatawa Syamsuddin ar-Ramli
disebutkan: “Ar-Ramli ditanya tentang perbuatan orang-orang awam, di kala
mereka dalam kesulitan dan kesusahan, mereka mengatakan: Wahai Syekh Fulan,
Wahai Rasulullah, dan perkataan-perkataan semacamnya yang merupakan istighotsah
(meminta pertolongan) kepada para nabi, para Rasul, para wali, para ulama, dan
orang-orang saleh, apakah hal itu boleh atau tidak? dan apakah para Rasul, para
nabi, para wali, para ulama, dan orang-orang saleh, bisa melakukan ighatsah (memberi
pertolongan) setelah mereka meninggal? Dan apa dalil yang menunjukkan hal
itu?.”
Ar-Ramli menjawab: “Istighotsah dengan para
nabi, para rasul, para wali, para ulama, dan orang-orang saleh adalah boleh.
Dan para nabi, para Rasul, para wali, para ulama, dan orang-orang saleh
mampu melakukan ighatsah (memberi pertolongan) setelah mereka
meninggal, karena mukjizat para nabi dan karamah para wali tidak terhenti/
terputus dengan meninggalnya mereka. Tentang para nabi, karena mereka hidup di
kuburan mereka dan mereka melakukan shalat di kuburan mereka sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits-hadits. Jadi pertolongan (هghatsah) dari para nabi adalah mukjizat mereka. Sedangkan
bagi para wali adalah karamah bagi mereka, karena Ahlul Haqq meyakini bahwa
baik dengan kesengajaan dari mereka atau tanpa sengaja, mungkin saja terjadi
dari para wali hal-hal yang menyalahi kebiasaan yang Allah munculkan karena
sebab mereka.” []
Dikutip dari buku “Argumen Ahlussunnah wal
Jama’ah, Jawaban Tuntas atas Tuduhan Bid’ah dan Sesat” karya Ustadz Abu
Abdillah (pengasuh beberapa majelis ta’lim, tinggal di Jakarta) dan Ustadz Nur
Rohmad (peneliti/pemateri Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, tinggal di
Mojokerto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar