Apakah Surga Nabi Adam Dulu
adalah Surga Akhirat?
Manusia penghuni dunia pertama kalinya adalah
Nabi Adam dan istrinya, Ibu Hawa. Hawa diciptakan oleh Allah subhanahu wa
ta’ala dari tulang rusuk Adam. Meskipun Nabi Adam lahir menjadi manusia pertama
kali, Allah terlebih dahulu menciptakan nur Nabi Muhammad. Tidak aneh, walaupun
Nabi Muhammad belum lahir di dunia, namun ketika Nabi Adam menikahi Hawa, Allah
menyuruh Adam memberikan mahar berupa shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu
alaihi wa sallam. Mustahil apabila Allah memerintahkan sesuatu yang sia-sia.
Dengan kata lain, adanya shalawat Adam kepada Nabi Muhammad merupakan bukti
eksistensi Nabi Muhammad kala itu sudah ada walaupun secara fisik belum tampak.
Eksistensi Nabi Muhammad adalah sudah diciptakannya nur beliau.
Pelaksanaan pernikahan antara Adam dan Hawa
bertempat di surga. Sejak diciptakan, Nabi Adam diletakkan oleh Allah subhanahu
wa ta’alla di surga. Sekarang pertanyaannya, apakah surga yang ditempati Adam
bersama Hawa waktu itu sama sebagaimana surga yang dijanjikan kepada
orang-orang yang beriman kelak di akhirat kelak?
Menurut keterangan Syekh Mutawalli
As-Sya’rawiy, surga yang dihuni Nabi Adam bersama Sayyidatina Hawa bukanlah
surga pembalasan sebagaimana yang di akhirat kelak. Sebab, surga pembalasan
hanya akan dimasuki manusia setelah melalui proses hisab. Sehingga dengan hisab
tersebut, surga hadir sebagai reward bagi orang yang melakukan kebaikan. Itu
yang pertama.
Kedua, di surga tidak dikenal dengan taklîf
atau tuntutan macam-macam berupa perintah maupun larangan. Orang boleh
melakukan apa pun dan makan minum apa pun sehingga minum khamr yang di dunia
diharamkan, di surga menjadi halal. Kita tahu, Nabi Adam mendapatkan perintah
dan larangan saat di surga waktu itu. Nabi Adam perlu menikah menggunakan
mahar. Ia juga dilarang mendekat ke salah satu pohon. Ini bukti bahwa ada
taklîf di sana yang secara umum hal tersebut tidak ada jika di surga pembalasan
manusia.
Ketiga, di surga tidak ada gangguan setan.
Sedang Nabi Adam saat di surga malah digoda oleh setan.
Surga yang ditempati oleh Nabi Adam, menurut
Syekh Mutawalli As-Sya’rawi adalah sebuah tempat dengan fasilitas berharga yang
lengkap. Allah berkehendak untuk menguji Adam dan Hawa dengan aturan-aturan
penting. Allah menguji mereka dengan kekuasaan memilih. Dan semua utusan Allah,
mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, semua tidak lepas dengan tuntutan Allah
yang berupa “lakukanlah ini!” dan “jangan lakukan itu!”.
Seperti ada satu perintah yang ditujukan
kepada Adam dan Hawa sebagaimana dalam ayat:
وَكُلَا
مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا
Artinya: “Dan makanlah dengan nikmat
(berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu.” (QS Al-Baqarah: 35)
Ada pula larangan yang harus dijauhi oleh
Adam dan Hawa:
وَلَا
تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ
Artinya: “(Tetapi) janganlah kamu dekati
pohon ini.” (QS Al-Baqarah: 35)
Pada ayat di atas dapat kita pahami bahwa
selain Nabi Adam, Hawa pun mendapat perintah dan larangan. Ada yang menarik
pada diksi yang dipakai di Al-Qur’an. Pada saat Allah menyuruh Nabi Adam dan
istrinya untuk makan semaunya, diksi yang dipakai adalah wakulâ (makanlah
kalian berdua). Pada saat yang sama, ketika Allah melarang keduanya memakan
buah terlarang, Allah tidak menggunakan diksi walâ ta’kulâ (janganlah kalian
berdua makan yang itu), misalnya. Tapi Allah menggunakan kalimat walâ taqrabâ
(janganlah kalian berdua mendekat-dekat).
Hal ini ternyata menunjukkan, tabiat atau
watak manusia memang tidak secara tiba-tiba melakukan kemaksiatan. Benih-benih
kemaksiatan akan muncul setelah dimulai berdekat-dekat terlebih dahulu, baru
kemudian terjerumus kepada kemaksiatan yang sesungguhnya. Kita bisa melihat
juga larangan berzina. Itu dimulai dari mendekat terlebih dahulu.
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati
zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk.” (QS
Al-Isra’: 32)
Para ulama menyatakan, mendekat dengan zina
di antaranya dimulai dari melihat lawan jenis, bersentuhan, berpelukan dan lain
sebagainya. Ini dilarang karena berdekatan dengan zina. Nabi Adam dilarang
makan buah tertentu, bukan dengan cara mencegahnya langsung pada inti larangan.
Mendekat saja tidak boleh. Oleh karena itu, jika ada orang ingin selamat,
mestinya ia mulai menjauhi dari hal-hal yang berdekatan atau berpotensi
menimbulkan kemaksiatan. []
(Dikembangkan dari Syekh Mutawalli As-Sya’rawi dalam
Al-Fatâwâ Kullu Ma Yuhimmu al-Muslimu fi Hayatihi wa Yaumihi wa Ghadihi,
[Maktabah Al-Quran, Kairo] tanpa tahun, juz 6, halaman 70-71).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar