Batas Usia Anak Kecil yang
Membatalkan Wudhu ketika Disentuh
Sudah maklum bahwa menyentuh orang lain jenis
yang bukan mahram dalam mazhab Syafi’i merupakan salah satu hal yang dapat
membatalkan wudhu. Hal ini berdasarkan ayat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا
طَيِّبًا
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai dengan
siku dan usaplah (rambut) kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh wanita,
lalu kamu tidak memperoleh air maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih).” (QS Al-Ma’idah Ayat 6)
Namun para ulama mengecualikan dari batalnya
menyentuh orang lain yang bukan mahram, yaitu anak yang masih kecil dan belum
sampai pada usia yang bisa menimbulkan syahwat. Berbeda halnya orang berlainan
jenis kelamin bukan mahram yang telah sampai pada usia yang bisa menimbulkan
syahwat, maka menyentuhnya dapat membatalkan wudhu meskipun orang yang punya
wudhu tidak bersyahwat pada wanita atau laki-laki yang disentuhnya.
Tentang batasan usia anak kecil yang tidak
membatalkan wudhu ini para ulama memberikan pandangan bahwa yang menjadi
pijakan adalah ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Sehingga tidak ada
ketentuan usia khusus yang menjadi patokan dalam menentukan batas usia anak
kecil yang tidak membatalkan wudhu ini.
Namun sebagian ulama lain ada yang menjadikan
patokan khusus dalam menentukan usia anak yang sudah tidak masuk dalam kategori
ini. Salah satunya adalah yang diungkapkan oleh Syekh Yusuf as-Sanbalawini
bahwa usia tujuh tahun adalah batas akhir dari anak yang tidak menimbulkan
syahwat, sehingga ketika anak sudah berusia tujuh tahun maka menyentuhnya dapat
membatalkan wudhu. Sedangkan anak yang dianggap masih dalam tahapan tidak
disyahwati adalah anak yang masih berusia lima tahun ke bawah, sehingga
menyentuhnya tidak membatalkan. Sedangkan anak yang berusia enam tahun, dalam
hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama antara yang berpendapat
membatalkan dan tidak membatalkan.
Ketentuan demikian seperti yang terdapat
dalam kitab Mirqah Shu’ud at-Tashdiq:
ـ
(ولمس بشرة الأجنبية مع
كبر) يقينا فلا تنقض صغيرة لا تشتهى لأنها ليست في مظنة الشهوة. والمرجع في
المشتهاة وغيرها إلى العرف على الصحيح. قال الشيخ أبو حامد: التي لا تشتهى من لها
أربع سنين فما دونها أفاد ذلك الدميري.
وقال
شيخنا يوسف السنبلاويني: فإذا بلغ الولد سبع سنين فإنه ينقض باتفاق ذكرا كان
أوأنثى وإذا بلغ خمس سنين فلا ينقض باتفاق. وأما إذا بلغ ستّ سنين ففيه خلاف
فقيل ينقض وقيل لا. وهذا يرجع إلى طباع الناس حتّى أنّ الولد الذي بلغ خمس سنين
فقط ينقض لمن يشتهيها ولا ينقض لغيره
“Dan (di antara hal yang membatalkan wudhu)
menyentuh kulit wanita lain (bukan mahram) yang telah besar secara yakin. Maka
tidak batal menyentuh gadis masih kecil yang tidak menimbulkan syahwat, sebab
ia bukanlah orang yang layak untuk dijadikan sebagai madzinnah as-syahwat
(objek yang diduga kuat akan menimbulkan syahwat). Parameter dalam penentuan
wanita yang disyahwati dan yang tidak disyahwati adalah urf (kebiasaan
manusia setempat) menurut pendapat yang sahih.
As-syaikh Abu Hamid berkata: ‘perempuan yang
tidak disyahwati adalah orang yang masih berusia empat tahun dan usia di
bawahnya’ hal ini dikutip oleh Imam Ad-Damiri. Guruku, Yusuf As-Sanbalawini
berkata, ‘ketika anak telah berusia tujuh tahun maka (menyentuhnya) dapat
membatalakan wudhu menurut kesepakatan para ulama. Baik laki-laki maupun
perempuan. Dan ketika berusia lima tahun maka (menyentuhnya) tidak membatalkan
wudhu menurut kesepakatan para ulama. Sedangkan ketika berusia enam tahun maka
terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat membatalkan ada pula yang
berpendapat tidak membatalkan. Ketentuan ini berpijak pada perwatakan manusia,
sampai seandainya anak yang berusia lima tahun saja (menyentuhnya) dapat
membatalkan wudhu bagi orang yang merasa syahwat padanya dan tidak membatalkan
bagi orang yang tidak syahwat padanya.” (Muhammad bin ’Umar Nawawi al-Bantani,
Mirqah Shu’ud at-Tashdiq, hal. 44)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa batas usia anak yang tidak membatalkan wudhu sebenarnya
ditentukan oleh ‘urf atau common sense sehingga pijakannya bisa berbeda-beda
sesuai dengan budaya umumnya masyarakat setempat. Namun sebagian ulama
berpandangan bahwa batas usia akhir anak yang tidak membatalkan wudhu ketika
disentuh adalah berusia tujuh tahun, sehingga dengan demikian baiknya bagi kita
untuk menghindari menyentuh anak yang sudah berusia tujuh tahun walaupun
sejatinya anak tersebut masih belum memunculkan rasa syahwat pada kita, hal ini
dalam rangka mengambil jalan hati-hati (ihtiyath) atas menyikapi berbagai
pandangan ulama dalam menyikapi hal ini. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar