Ciputra ”Kiai Langitan” di Bisnis Properti
Oleh: Dahlan Iskan
BACALAH buku kecil mengenai 10
momentum yang membuat Ir Ciputra sukses besar. Salah satunya adalah apa yang
selama ini juga saya yakini: merantau!
Tentu tidak semua orang yang merantau otomatis akan sukses.
Banyak juga yang di perantauan hanya jadi beban orang lain atau
sesama perantau dari satu daerah asal.
Tapi, saya memang tidak bisa bayangkan kalau Ciputra tetap tinggal
di desanya yang terpencil di pojokan Sulawesi Utara. Begitu jauhnya sehingga
desa itu sudah nyaris berada di Sulawesi Tengah.
Jauh dari Manado, ibu kota Sulawesi Utara, jauh pula dari Palu,
ibu kota Sulawesi Tengah. Kalau saja Ciputra tetap terikat dengan romantisme
desanya yang damai, yang pantainya tenang, yang nyiurnya melambai-lambai,
barangkali kalau toh dia tetap jadi pengusaha, kelasnya tidak akan seperti
sekarang.
Usia saat merantau saya kira juga amat menentukan. Dia
meninggalkan desanya menuju Jawa –lambang kemajuan saat itu– ketika tamat SMA.
Dia ingin memasuki perguruan tinggi di Jawa. Maka, masuklah dia ke Institut
Teknologi Bandung (ITB).
Sejak kecil dia sudah merasakan kesulitan dan kepahitan hidup.
Terutama saat bapaknya ditangkap penjajah dan tidak pernah kembali.
Kalau saja momentum merantau itu terjadi saat ia sudah berumah
tangga, apalagi saat sudah agak tua, tentu akan berbeda sekali juga. Merantau
pada usia tamat SMA adalah munculnya kebebasan dan rasa tanggung jawab secara
bersamaan. Ia bebas berbuat apa saja karena tidak ada rasa sungkan apa pun pada
lingkungan.
Juga tidak ada rasa keterikatan pada keluarga. Ia bebas! Mau baik atau
mau rusak. Tapi, bagi Ciputra, kebebasan yang dia peroleh dia ikuti dengan
munculnya rasa tanggung jawab.
Suatu saat kelak, Ciputra harus menceritakan momentum yang membuat
dia tidak hanya merasa bebas berada di perantauan. Tapi juga apa yang membuat
dia mengimbangi kebebasan itu dengan sebuah tanggung jawab.
Apakah karena harus mencari makan sendiri? Harus membiayai sekolah
sendiri? Ataukah malu kalau kelak dinilai gagal oleh kampung halaman yang dia
tinggalkan (dan merasa suatu saat akan kembali ke sana?). Atau adakah rasa
tanggung jawab itu karena didikan sejak kecil? Atau apa?
Saya juga sering mencontohkan mengapa merantau di usia yang tepat
menjadi salah satu kunci sukses dalam berkarir. Itu karena si perantau bisa
berkonsentrasi penuh pada karirnya.
Berada di kampung halaman, terlalu banyak aturan yang kalau tidak
dijalani dianggap tidak sopan. Misalnya, ia harus tidak masuk kerja karena
tetangganya atau keluarga dekatnya sunatan, kawinan, atau kesusahan. Padahal,
kerabat dan tetangganya banyak sekali. Bergiliran saja acara seperti itu.
Kadang juga harus ”jagongan” sampai larut malam. Sebuah keasyikan
yang tidak produktif sama sekali. Sebagian bisa menjadi candu (kalau tidak
”jagongan” tidak bisa tidur). Sebagian bisa dianggap sebagai orang yang kurang
bersosialisasi.
Bagi perantau, hal semacam itu tidak akan ada. Biarpun keluarganya
di kampung sunatan, dia sah saja tidak hadir. Tidak ada yang akan mengatakan
dia tidak sopan. Paling hanya kalau keluarga amat dekat yang punya gawe saja
yang harus didatangi. Dan itu amat jarang.
Tentu banyak juga orang yang merantau, tapi sama sekali kesulitan
memutuskan romantisme kampung halaman. Dia merantau, tapi pikirannya terus berada
di kampungnya. Tiap saat dia pulang ke kampungnya.
Penghasilannya hanya dikonsentrasikan untuk bagaimana bisa
membiayai pulang kampung. Kadang penyebabnya tidak sebanding. Sebab, di kampung
masih punya sedikit sawah atau sebuah rumah kecil yang kosong. Tapi, ada juga
yang karena alasannya sangat masuk akal: ibunya seorang diri dan sudah uzur.
Ciputra adalah perantau yang sempurna. Dia mendapatkan kebebasan,
tapi juga memunculkan tanggung jawab pada dirinya. Ciputra sukses melampaui
zaman apa saja: Bung Karno, Pak Harto, dan zaman reformasi.
Dia sukses membawa perusahaan daerah maju, membawa perusahaan
sesama koleganya maju, dan akhirnya juga membawa perusahaan keluarganya sendiri
maju.
Dia sukses menjadi contoh kehidupan sebagai seorang manusia.
Keluarganya boleh dibilang amat sempurna. Rukun dengan istrinya, anak-anaknya,
menantu-menantunya, dan cucu-cucunya.
Gairah dan inovasi membuat bisnisnya terus berkembang. Dia the
best di bidangnya: realestat. Dia adalah ”kiai langitan” untuk sektor tersebut.
Ketika akhirnya harus memikirkan pengabdian masyarakat apa yang
harus dia besarkan, dia pilihlah pendidikan. Sekolah dan Universitas Ciputra.
Tentu di tengah sudah begitu banyaknya sekolah dan universitas
akan terasa biasa saja. Tapi, Ciputra mencoba menemukan blue ocean di bidang
tersebut: sekolah yang menitikberatkan pada entrepreneurship! Bukan sekolah
biasa.
Ini juga akan jadi puncak pengabdian masyarakatnya yang sudah
sejak lama dia terjuni: olahraga (khususnya bulu tangkis), kesenian (khususnya
lukis dan patung), serta di bidang keagamaan.
Dengan sekolah kewirausahaan dia ingin menyiapkan bangsa ini
menjadi bangsa pengusaha! Ciputra dilahirkan dari keluarga pengusaha. Dia
tumbuh jadi pengusaha. Dia menciptakan lingkungan keluarganya jadi pengusaha.
Dan ini akan menciptakan masyarakatnya jadi masyarakat pengusaha! []
JAWA POS, 28 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar