Rabu, 18 Desember 2019

(Ngaji of the Day) Istighotsah: Definisi, Macam, dan Dalilnya


Istighotsah: Definisi, Macam, dan Dalilnya

Istighotsah adalah pola (wazn) istif’aal (اِسْتِفْعَال) dari kata al-ghauts (الغَوْث) yang berarti pertolongan. Pola ini salah satu fungsinya adalah menunjukkan arti طَلَبٌ (permintaan atau permohonan). Seperti kata غُفْرَان yang berarti ampunan, ketika diikutkan pola istif’al (اِسْتِفْعَال) menjadi istighfar (اسْتِغْفَار), artinya menjadi: memohon ampunan. Jadi istighotsah berarti thalab al-ghauts (طَلَبُ الغَوْثِ): meminta pertolongan. 

Para ulama membedakan antara Istighotsah dengan Isti’anah meskipun secara kebahasaan makna Istighotsah dan Isti’anah kurang lebih sama. Karena isti’anah juga mengikuti pola Istif’aal (اِسْتِفْعَال) dari kata al-‘aun (العَوْن) yang berarti thalab al-‘aun (طَلَبُ الْعَوْنِ): meminta pertolongan. Istighotsah adalah:

طَلَبُ الغَوْثِ عِنْدَ الشِّدَّةِ وَالضِّيْقِ

“Meminta pertolongan ketika dalam keadaan sukar dan sulit.” 

Sedangkan Isti’anah maknanya lebih luas dan umum. 

Allah  berfirman:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ

Maknanya: “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat” (QS al Baqarah: 45).

Macam-macam Istighotsah

Istighotsah ada dua macam:

Pertama, istighotsah kepada Allah

Dalam Surat al-Anfal ayat 9 disebutkan:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ

Yang artinya: “(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”  (QS al-Anfal: 9).

Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad  memohon bantuan dari Allah. Saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar di mana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam, kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat. Dalam Surat Al-Ahqaf ayat  17 juga disebutkan:

وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ 

Yang artinya: “Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah” (QS al Ahqaf:17).

Yang dalam hal ini, memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Kedua, Istighotsah kepada selain Allah

Beristighotsah kepada selain Allah hukumnya boleh dengan melihat bahwa makhluk yang dimintai pertolongan adalah sebab. Jadi meskipun sesungguhnya pertolongan itu datangnya dari Allah, Allah-lah pemberi pertolongan yang sesungguhnya, namun tidak menafikan bahwa Allah menjadikan sebab-sebab yang telah dipersiapkan agar terwujud pertolongan tersebut. 

Dalil-dalil Istighotsah dengan Selain Allah

• Hadits al-Bukhari:

إِنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ العَرَقُ نِصْفَ الأُذُنِ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ  (رواه البخاريّ) ـ

“Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka  berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah  (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad ” (HR al-Bukhari).

Faedah Hadits: Hadits ini adalah dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di mahsyar terkena terik panasnya sinar matahari mereka meminta tolong kepada para nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu, dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik di dunia, sedangkan di akhirat tidak terhitung syirik. Syirik adalah syirik di dunia dan di akhirat, dan yang bukan syirik di dunia, bukan syirik pula di akhirat!

• Hadits riwayat al-Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah, dan lainnya:

عَنْ مَالِك الدَّار وَكانَ خَازِنَ عُمَرَ قال: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ  فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِيْ الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ: أَقْرِئْ عُمَرَ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّهُمْ يُسْقَوْنَ، وَقُلْ لَهُ عَلَيْكَ الكَيْسَ الكَيْسَ، فَأَتَى الرَّجُلُ عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ، فَبَكَى عُمَرُ وَقَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ

Maknanya: “Paceklik datang di masa Umar, maka salah seorang sahabat yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka betul-betul telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah dalam melayani umat.” Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu.”

Hadits ini dinilai sahih oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristighotsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi Nida’ (memanggil) yaitu (يَا رَسُوْلَ اللهِ). Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ), maknanya adalah: “Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu,” bukan ciptakanlah hujan untuk ummatmu. Jadi dari sini diketahui bahwa boleh bertawassul dan beristighotsah dengan mengatakan: 

يَا رَسُوْلَ اللهِ، ضَاقَتْ حِيْلَتِيْ، أَدْرِكْنِيْ أَوْ أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ

Karena maknanya adalah tolonglah aku dengan doamu kepada Allah, selamatkanlah aku dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa’at atau mara bahaya, beliau hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang sahih:

اللّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا نَافِعًا غَيْرَ ضَآرٍّ عَاجِلاً غَيْرَ ءَاجِلٍ

Berarti sebagaimana Rasulullah menamakan hujan sebagai mughits karena hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah. Jadi boleh mengatakan perkataan (أَغِثْنِيْ يَا رَسُوْلَ اللهِ) dan semacamnya ketika bertawassul, karena keyakinan seorang muslim ketika mengatakannya adalah bahwa seorang nabi dan wali hanya sebab sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan mara bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan nabi atau wali tersebut.

Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul, beristighotsah dengan mengatakan: (يَارَسُوْلَ اللهِ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ)  yang mengandung nida’ (panggilan) dan perkataan (اسْتَسْقِ) tidak mengafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani, sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.

• Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّ للهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ أَعِيْنُوْا عِبَادَ اللهِ (رواه الطّبَرَانِيّ وقال الحافظ الهيثميّ: رجاله ثقات ورواه أيضا البزّار وابن السُّنِّيِّ) ـ

Maknanya: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat di bumi selain hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku, wahai para hamba Allah” (HR ath-Thabarani dan al Hafizh al Haytsami mengatakan: perawi-perawinya tepercaya, juga diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Ibnu as-Sunni) 

Hadits ini dinilai hasan oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam al Ama-li.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristi’anah dan beristighotsah dengan selain Allah, yaitu para shalihin meskipun tidak di hadapan mereka dengan redaksi nida’ (memanggil). An-Nawawi setelah menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al-Adzkar mengatakan: “Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan bahwa pernah suatu ketika lepas hewan tunggangannya dan beliau mengetahui hadits ini lalu beliau mengucapkannya maka seketika hewan tunggangan tersebut berhenti berlari, Saya-pun suatu ketika bersama suatu jama’ah kemudian terlepas seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut berhenti tanpa sebab kecuali ucapan tersebut.” Ini menunjukkan bahwa mengucapkan tawassul dan istighotsah tersebut adalah amalan para ulama ahli hadits dan yang lainnya.

• Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya, al-Adab al-Mufrad dengan sanad yang sahih tanpa ‘illat dari Abdurrahman ibn Sa’d, beliau berkata: Suatu ketika kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!, lalu Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu, kaki beliau sembuh. Atsar ini juga diriwayatkan oleh al Imam Ibrahim al Harbi dalam kitabnya Gharib al-Hadits.

Faedah Hadits: Hadits ini menunjukkan bahwa sahabat Abdullah ibnu Umar melakukan Istighotsah dengan nida’: “Yaa Muhammad (يَا مُحَمَّدُ).” Makna يَا مُحَمَّدُ  adalah  أَدْرِكْنِيْ بِدُعَائِكَ إِلَى اللهِ: “tolonglah aku dengan doamu kepada Allah.” Hal ini dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ini menunjukkan bahwa boleh beristighotsah dan bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat, meskipun dengan menggunakan redaksi nida’, jadi nida’ al-mayyit (memanggil seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik. []

Dikutip dari buku “Argumen Ahlussunnah wal Jama’ah, Jawaban Tuntas atas Tuduhan Bid’ah dan Sesat” karya Ustadz Abu Abdillah (pengasuh beberapa majelis ta’lim, tinggal di Jakarta) dan Ustadz Nur Rohmad (peneliti/pemateri Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, tinggal di Mojokerto).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar