Jumat, 27 Desember 2019

Kang Komar: Agama Itu Candu


Agama Itu Candu
Oleh: Komaruddin Hidayat

"RELIGION is the opium for the people". Agama itu candu bagi masyarakat. Pendapat Karl Marx yang ditulis pada 1843 ini telah mengundang polemik, pro-kontra. Aslinya ditulis dalam bahasa Jerman: Die Religion istdas Opium des Volkes. Jika tidak membaca teks aslinya dalam formatnya yang utuh, pembaca akan mudah salah paham, apakah sesungguhnya yang dia maksudkan dengan ungkapan itu.

Dalam paragraf yang lebih utuh dituliskan: Religion is the sigh of the oppressed culture, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people. Agama adalah desah hidup masyarakat dalam dunia yang tertindas, yang tak lagi punya jiwa.

Dalam kondisi demikian, agama bagaikan candu yang bisa meringankan beban dan derita hidup. Ketika kebahagiaan hidup dalam dunia yang nyata sudah terampas, agama adalah hiburan dan pelarian terakhir.

Dalam agama, seseorang menemukan harapan akan kebahagiaan dan keadilan yang datang dari Tuhan pada dunia spiritual, meskipun sangat bisa jadi semua itu merupakan imajinasi manusia. Menurut Marx, manusia menciptakan agama, bukannya agama menciptakan manusia.

Apakah Marx anti-Tuhan? Pertanyaan ini juga mengundang polemik. Yang pasti, dia sangat kritis dan sinis pada praktik keberagamaan yang dia amati di sekelilingnya.

Praktik keberagamaan masyarakat bukan menyelesaikan masalah riil yang menjadi sumber problem derita masyarakat dan negara, seperti problem politik dan ekonomi, melainkan mereka malah lari ke dunia spiritual untuk meringankan beban hidupnya. Maka itu, Marx mengatakan bahwa agama itu candu yang memberikan hiburan semu, yang sangat disenangi oleh mereka yang kalah dan putus asa dalam pertarungan duniawi. Mereka menyelesaikan masalah di tempat yang salah.

Salahkah Karl Marx dengan pendapatnya itu? Terserah masing-masing orang membangun argumen untuk menimbangnya. Untuk membuat penilaian, memang seseorang perlu membaca dan mendalami buku-buku yang ditulisnya agar lebih bijak dan tepat membuat penilaian.

Saat ini muncul kecenderungan orang lebih senang membaca dan percaya pada berita dan komentar di media sosial lebih singkat dan mudah ditelan, apa pun topik masalahnya. Termasuk paham keagamaan. Padahal, jika di sana ada lima ustaz atau kiai, bisa jadi ada lima pendapat tentang satu topik masalah yang diperdebatkan.

Misalnya masalah ucapan Natal bagi seorang muslim buat temannya yang beragama Kristen. Ada yang menyajikan argumen secara lengkap dan kritis, ada yang setuju dan menentang tanpa argumen kritis. Ada yang membolehkan, ada yang mengharamkan.

Catatan yang sering digarisbawahi pembaca terhadap Marx adalah sikap kritisnya terhadap peran agama bagi penyelesaian ekonomi yang dihadapi masyarakat. Dalam masyarakat, terdapat dua mazhab beragama.

Satu, mereka yang menekankan ritual dan keselamatan akhirat namun mengabaikan kebutuhan nyata dalam hidup sehari-hari, misalnya problem ekonomi dan lingkungan hidup. Kehidupan yang sejati dan mesti dikejar adalah kebahagiaan setelah mati, yang dijemput dengan memperbanyak ritual.

Kenikmatan dunia ini hanyalah sesaat, jangan serius dikejar-kejar. Jangan tertipu kemilau dunia. Surga jauh lebih indah dan nyata dibanding kehidupan duniawi ini.

Dua, praktik keberagamaan yang lebih menekankan ibadah sosial, yang berpandangan bahwa ibadah sosial porsi pahalanya lebih besar ketimbang ibadah ritual dengan rajin datang ke gereja atau di masjid. Bagi mazhab kedua ini, misi agama itu untuk membantu dan membahagiakan sesama manusia di muka bumi ini.

Pandangan ini yang mengilhami Max Weber menulis karya monumentalnya, Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism (1905). Salah satu poinnya yang penting adalah mereka percaya bahwa Tuhan lebih mencintai orang beriman yang mau bekerja keras, menciptakan kemakmuran bagi masyarakat, namun mereka tetap menjalani hidup hemat.

Iman pada Tuhan, kerja keras, dan hidup hemat merupakan kekuatan jiwa yang mendorong tumbuhnya masyarakat kapitalis awal yang menciptakan kemakmuran di Eropa, terutama pada negara-negara dengan mayoritas pemeluk Protestan. []

KORAN SINDO, 20 Desember 2019 - 06:24 WIB
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar