Pengalaman Saya Berguru ke Habib Luthfi
Cerita ini bermula sejak pertama kali bertemu Abah, sapaan cinta bagi Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya. Awalnya saya hanya melihat ceramah-ceramah beliau melalui channel Youtube. Raut wajah dan mata beliau sejuk sekali. Senyum Abah yang indah mengingatkan saya pada cerita para sahabat Nabi mendetailkan perawakan kekasih Allah itu (Rasulullah). Indah, sejuk, tenang, dan damai, kata-kata inilah yang pertama kali terbesit ketika melihat Abah.
Setiap bulan selalu ada pengajian di Kanzus
Sholawat, Markas Besar (Mabes) Abah di Pekalongan, Jawa Tengah. Para jamaah
menyebutnya Pengajian Rutin Kliwonan. Kami dari Jogja biasanya menghadiri
pengajian itu, alhamdulillah rutin. Namun sesekali, sebagian dari kami ada yang
tidak bisa berangkat ke sana karena masalah sepele keduniaan. Meski demikian,
kami tetap berusaha berangkat ke sana. Kami senang sekali di Kanzus Sholawat.
Entah apa yang membuat kami senang.
Saya tidak bisa menerangkannya, yang pastinya
sangat senang. Bagi saya, belajar menjadi santri Abah tidaklah mudah. Jangankan
itu, belajar menjadi seorang santri saja tidak mudah. Jujur, saya sendiri tidak
pernah mengunyah dunia pesantren. Saya tidak tahu apa itu kitab kuning. Yang
saya tahu, pesantren identik dengan Nahdlatul Ulama (NU), pendirinya
Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari. Saya pun baru mengenal cucu pendiri NU
itu, waliyullah Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) melalui Cak Nur (sapaan akrab Nurcholish
Madjid) setelah membaca buku Islam: Doktrin dan Peradaban.
Saya juga tidak paham denyut pemikiran Imam
al-Ghazali. Saya baru bersentuhan dengan sufi besar itu melalui ceramah live
streaming Gus Ulil Abshar Abdalla di akun Facebook pribadi beliau. Saya juga
tidak mengenal tafsir Al-Qur'an yang khas—saya baru kenal melalui Gus Baha (KH
Bahauddin Nursalim). Jadi pengetahuan saya tenang khazanah Islam sangat minim,
apalagi bicara tarekat, “bleng”, saya tidak tahu sama sekali. Tapi NU
memberikan warna tersendiri dalam hidup saya. Indah dan sejuk. Jauh dari benang
merah NU, saya tidak peduli, yang penting bagi saya ialah sama-sama Muslim
Indonesia, atau dalam jabaran KH Said Aqil Siroj adalah Islam Nusantara.
Meskipun jauh dari panggang, alhamdulillah sedikit-sedikit masih terciprat
nuansa NU, yakni lewat kebiasaan tahlil dan ziarah kubur.
Abah, awalnya yang saya tahu, adalah orang
Arab. Terlihat dari perawakan beliau demikian adanya. Mungkin ini pertama kali
perkenalan saya dengan Abah secara dhahir. Yang saya tahu hanya sepintas adalah
itu. Setelah mendengar ceramah-ceramah beliau tentang “NKRI harga mati!”, saya
sempat kaget, rupanya beliau bukan sekadar orang Arab, tapi orang Indonesia
tulen. Beliau beberapa kali mengumandangkan persatuan dan kesatuan. Luar biasa.
Secara pemikiran, saya tidak bisa mengartikan hal ini secara batin, tapi saya
sepemikiran dengan beliau, tulen-asli. Mulai dari sinilah saya mendekatkan diri
ke Abah.
Perjalanan saya berlanjut setelah melihat
kawan-kawan saya yang mulai masuk dunia tarekat. Mereka saya perhatikan setiap
minggu sekali—malam Jumat—pergi ziarah ke makam para wali. Ada yang ke Syekh
Belabelu Parangtritis, serta ada pula yang ke Gunungpring, Magelang. Cerita
mereka ingin mengejar berkah disertai tawasul melalui Abah ke Baginda Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mendengar cerita mereka, saya dengan
mantap langsung memutuskan untuk mengikuti langkah mereka. Pikiran sederhana
saya adalah karena tawassul ke Abah.
Menyesuaikan dengan rutinitas yang sebelumnya
belum pernah saya lakukan sama sekali, adalah awal kondisi ketika saya mulai
berkenalan dengan Abah. Rutin pergi ziarah kubur dan lain-lain. Untungnya
jamaah kami dibimbing seorang mursyid (guru) bernama Gus Hafidz Rusli perihal
tarekat. Gus Hafidz Rusli berguru ke Mbah Gondrong Kudus, yang berguru ke Abah
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan. Jadi secara sanad
keilmuwan, insyaallah sampai. Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad.
Berangkat ke Kanzus Sholawat (Mabes) Abah di
Pekalongan. Detak jantung berdegup kencang. Terlintas di pikiran, pokoknya
sampai di Mabes langsung bertemu dengan Abah, cium tangan beliau, dan minta
berkah. Perkiraan saya rupanya salah. Ternyata selama di Kanzus, kami harus
shalawatan dari pukul 06.35 pagi sampai 09.00 WIB. Setelah itu dilanjutkan
dengan ceramah Abah sekitar 30 menitan, sangat menggetarkan. Beliau menyerukan
persatuan, luar biasa. Selepas itu, barulah bisa bertemu dengan Abah. Mulai
dari lansia sampai balita, berjejer rapi sambil bersimpuh menemui Abah. Mencium
tangan beliau sebagai tanda 'ngalap’ berkah.
Jamaah Abah sangat banyak. Mulai dari balita
sampai lansia. Uniknya selama di Mabes Abah, saya tidak pernah mendengar
sedikit pun tangisan bayi. Padahal dengan kondisi jamaah yang begitu padat,
secara alamiah, seharusnya ada tangisan bayi. Tapi tidak terdengar sama sekali.
Aneh. Hal ini, pikir saya, mungkin sebagai tanda kemuliaan beliau, Abah Habib
Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Ada satu hal yang saya peroleh dari Abah
adalah tarekat nasionalisme beliau. Sungguh luar biasa dan menggetarkan. Saya
haqqul yakin, pemikiran beliau sudah pasti menerobos sampai ke langit ketujuh
dan menukik tajam menyentuh sanubari khalayak insan. Semua malaikat pasti tahu
dan setuju dengan pendapat beliau. Memang di era sekarang ini, apa pun
masalahnya, solusinya cuma satu yakni persatuan. Persatuan dapat menjaga
keseimbangan kosmos. Bukankah hal ini merupakan perintah Allah melalui
rasul-Nya? Allâhumma shalli ‘alâ sayyidinâ Muhammad. Semoga kasih, sayang, dan
cinta ini selalu tercurahkan kepada Abah Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin
Yahya. Âmîn. []
Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy, asal Kota
Ternate, Maluku Utara; sedang studi S2 Psikologi di Universitas Negeri Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar