Jumat, 13 Desember 2019

Kang Komar: Inspirasi dan Imajinasi di Ruang Kelas


Inspirasi dan Imajinasi di Ruang Kelas
Oleh: Komaruddin Hidayat

DUNIA pendidikan dan para orang tua masih menebak-nebak dengan penuh harap, perubahan dan perbaikan apa yang akan dilakukan Mendikbud Nadiem Makarim. Namun yang pasti, dia representasi generasi milenial yang diharapkan mampu mengantarkan anak-anak bangsa menyongsong hari esok yang penuh perubahan dan ketidakpastian dengan percaya diri.

Ketika menyambut acara pelantikan rektor Universitas Indonesia pada Rabu (4/12), Nadiem melontarkan dua gagasan yang cukup mendasar. Pertama, bagaimana mengondisikan para siswa bisa belajar dengan merdeka. Hanya dalam suasana merdeka, maka kreasi dan imajinasi anak akan muncul. Mereka berpikir bebas tanpa takut salah dan disalahkan.

Kedua, Mendikbud juga menekankan bahwa peran guru itu sebagai penggerak, inspirator, dan motivator bagi para siswa dan mahasiswa. Dengan demikian, sesungguhnya yang mesti terus-menerus belajar itu juga guru, bukan hanya siswa.

Ketika kita sudah dewasa dan tidak lagi duduk di ruang kelas, yang lebih melekat dalam ingatan kita itu guru-guru yang menginspirasi dan memotivasi, bukannya isi pelajarannya. Terlebih saat ini materi informasi itu mudah sekali didapatkan di media sosial. Guru yang baik adalah mereka yang mampu membantu menemukan talenta anak didik dan memfasilitasi untuk mewujudkan minat, bakat, dan imajinasinya.

Anak-anak nusantara ini sesungguhnya dianugerahi talenta hebat. Mereka memiliki daya imajinasi yang luar biasa sehingga mampu mewariskan karya seni kelas dunia, seperti bangunan Candi Borobudur dan Prambanan.

Kehebatan dan kebesaran candi itu bukan semata terletak pada wujud fisiknya, tetapi nilai-nilai dan filosofi kehidupan yang terkandung di dalamnya, sebagaimana juga dunia simbolik dalam pewayangan yang amat kaya dengan wisdom dan imajinasi. Bahkan, Gatotkaca lebih dahulu terbang ke angkasa sebelum tercipta pesawat terbang.

Problem kita adalah hanyut pada budaya melankolis dan seremonial, tetapi sangat lemah dalam tradisi riset empiris-ilmiah untuk menciptakan karya-karya yang langsung mendatangkan kesejahteraan serta nilai tambah bagi masyarakat. Ini membedakan imajinasi yang tumbuh dalam masyarakat Barat yang dikaitkan dan diarahkan pada perbaikan dunia empiris melalui inovasi sains sehingga muncul temuan-temuan teknologi mutakhir disebut artificial intelligence dan artificial body.

Proses awal penemuan teknologi itu berangkat dari kejelian berimajinasi berdasarkan bacaan terhadap semesta. Mungkin sekali dahulu para penemu mobil itu iri pada kecepatan hewan-hewan ketika berlari.

Tuhan telah menganugerahkan hewan bisa lari kencang, namun manusia diberi keunggulan anugerah otak (head), tangan (hand) dan perasaan untuk berkehendak (heart) sehingga dengan kekuatannya itu manusia berhasil menciptakan teknologi kendaraan yang kecepatannya melebihi hewan yang mereka kagumi.

Sebagai apresiasi atau simbol kemenangan, maka mobil-mobil itu pun diberi nama hewan, seperti kijang, kuda, panther, jaguar, dan lainnya. Lalu logo dan nama-nama pesawat terbang pun diambil dari nama burung. Jadi, semesta ini sebelum diposisikan sebagai objek eksplorasi dan eksploitasi oleh pemilik modal uang, mesin, dan politik, sebelumnya merupakan kitab terbuka yang menggugah imajinasi kita.

Sekian banyak lirik lagu bagus juga terinspirasi oleh keindahan alam. Disayangkan, anak-anak kita sekarang semakin terjauh dari alam.

Mereka lebih asyik bermain pada artificial nature yang dihadirkan oleh komputer. Seakan mereka berada dalam alam sungguhan, padahal mereka tak lebih berada dalam dunia maya (virtual world).

Jangan diragukan sumbangan komputer bagi pendidikan dan melatih imajinasi. Tetapi, ketika komputer lebih banyak menyajikan permainan, games for fun, maka yang terjadi adalah proses penumpulan imajinasi anak dan hilangnya kepekaan sosial.

Anak-anak tak lagi bergetar hatinya melihat berita perang di televisi, misalnya yang terjadi di Gaza, karena permainan perang-perangan mereka jauh lebih seru dan mengasyikkan. Saling tembak, tendang, dan bunuh menjadi permainan yang akrab bagi anak-anak sekarang. Mereka melihat dan melakukannya di dunia maya, tetapi dampak negatifnya terjadi pada dunia nyata.

Selain asyik menghabiskan waktu dengan permainan komputer, lemahnya pelajaran humaniora juga telah memiskinkan daya imajinasi anak-anak. Sejarah dan buku-buku novel sangat membantu membangkitkan daya imajinasi anak, namun sekarang tergeser oleh kursus matematika dan bahasa Inggris yang menekankan hafalan demi untuk lulus ujian nasional.

Kenyataan ini menyedihkan mengingat bangsa Indonesia itu sangat majemuk, lagi pula kita hidup di era multiple intelligences. Jadi, pendidikan mesti semakin menawarkan banyak alternatif pilihan studi, pengembangan minat dan bakat.

Ini penting karena Indonesia realitasnya memang beragam dari berbagai aspeknya, sementara dunia kerja menuntut intellectual adaptability dan skill interconnectivity. Jadi, keahlian tertentu sangat diperlukan, tapi mesti memiliki kemampuan kerja sama dan komunikasi sosial yang baik.

Muara dari pendidikan itu pembangunan budaya bangsa. Jadi, hakikatnya pendidikan adalah agenda membudidayakan anak-anak bangsa untuk memakmurkan dan memajukan penduduk bumi bersama bangsa-bangsa lain. Oleh karenanya, lewat pendidikan anak-anak kita antarkan agar menjadi warga dunia yang berbudaya dan berkeadaban, merayakan anugerah hidup dalam dunia yang semakin warna-warni, di mana itu merupakan anugerah ilahi. Let’s accept the differences, respect the differences, share the differences, and celebrate the differences.

Semua kemajuan sains dan teknologi super canggih yang membuat kita kagum dan tercengang, semula berawal dari kekuatan imajinasi manusia. Adalah Christopher Columbus (1451-1506) yang menggemparkan penduduk Eropa setelah berhasil mendarat di Pulau Bahama (1492), karena keberanian berimajinasi untuk menaklukkan lautan lepas yang semula tak terbayangkan.

Penduduk Eropa pun gempar dan mulai membayangkan adanya dunia baru untuk dijelajahi yang pada urutannya dunia baru itu bernama Amerika. Ini benar-benar menjanjikan kehidupan baru yang lebih bebas ketimbang Eropa.

Begitu pun Thomas Alva Edison (1847-1931) yang selalu mendapatkan nilai buruk di sekolah sehingga ibunya mengajar sendiri di rumah. Karena kekuatan imajinasinya dan selalu ingin mencoba hal-hal baru, maka ia dikenal sebagai pemegang rekor 1.093 hak paten atas namanya. Paling fenomenal dan historikal adalah temuannya atas lampu listrik.

Demikianlah masih terdapat sederet nama-nama besar yang mengilhami kita semua. Nama-nama mereka tertulis dengan tinta emas dalam buku-buku sejarah yang kemudian dibaca berulang-ulang oleh jutaan pelajar dan mahasiswa. []

KORAN SINDO, 6 Desember 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar