Butuh Gerakan Bersama Mengikis Intoleransi
Oleh: Bambang Soesatyo
SEMUA institusi negara tidak bisa lagi minimalis menyikapi intoleransi. Bahu-membahui dengan para pemuka agama dan komunitas pendidik, negara hendaknya mulai proaktif mengupayakan langkah-langkah atau pendekatan yang paling efektif untuk mengikis perilaku intoleran. Semua sudah tahu dan paham tentang dampak atau ekses intoleransi dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya, apalagi dalam konteks keberagaman elemen dalam masyarakat Indonesia. Jelas bahwa intoleransi itu, untuk apa pun alasan dan tujuannya, merusak harmoni sebab ketika intoleransi dipraktikkan maka buahnya adalah pengotak-kotakan masyarakat.
Dari pengotak-kotakan itu akan muncul sinisme yang kemudian berkembang menjadi saling benci karena "kami dan kalian berbeda, karena tidak dalam kotak yang sama". Setiap orang atau kelompok masyarakat yang mempraktikkan perilaku intoleran pada akhirnya tidak akan mendapatkan apa-apa. Pun tidak memenangkan apa-apa. Karena buah dari intoleransi itu semu, bahkan hampa. Tak jarang dicari pembenaran demi intoleransi itu sendiri. Tetapi tetap saja semu, bahkan cenderung menipu diri.
Jangan lupa bahwa kodrat setiap orang itu makhluk sosial. Dia atau
mereka butuh orang lain, dan orang lain pun butuh dia atau mereka. Artinya,
mereka yang berperilaku intoleran itu sesungguhnya melawan kodrat
kemanusiaannya. Lebih dari itu, intoleransi itu bertentangan atau berlawanan
dengan semangat universal tentang saling kebergantungan, kebersamaan, dan
saling pengertian. Maka ketika sekelompok orang mempraktikkan perilaku
intoleran, mereka terisolasi atau mengisolasi diri.
Oleh karena terisolasi, mereka tidak pernah bisa meraih apa pun, karena mereka tidak berinovasi dan tidak punya kompetensi untuk bisa berkompetisi. Dan, di kemudian hari, mereka hanya akan menjadi beban atau masalah, bahkan menjadi sumber masalah. Sebagai masalah, intoleransi di Indonesia sudah menjadi pengetahuan bersama. Intoleransi bahkan sudah merebak. Bisa dilihat dan dirasakan di ruang publik, di sejumlah institusi pendidikan, bahkan juga di sejumlah lembaga negara. Mereka secara terorganisasi membangun konservatisme. Memang tidak diekspresikan dengan tindak kekerasan.
Namun jelas, bahwa kecenderungannya adalah intoleran. Paling memprihatinkan adalah fakta bahwa ada upaya mentransformasikan perilaku intoleran itu kepada remaja dan anak-anak. Pada 2018, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa kecenderungan sikap intoleransi semakin menguat di kalangan anak muda terdidik. Kecenderungan intoleransi yang menguat itu ditemukan pada anak muda dengan rentang usia 15-35 tahun.
Temuan ini berdasarkan hasil kajian Komnas HAM sejak 2012-2018. Selain itu, hasil riset Setara Institute mengungkapkan bahwa 10 perguruan tinggi negeri di Indonesia terpapar paham radikalisme. Paham radikalisme itu dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif. Kalau kecenderungan ini tidak segera dinetralisasi, entah seperti apa wajah dan profil Indonesia di masa depan. Patut untuk dikhawatirkan bahwa ketahanan nasional juga akan menghadapi tantangan yang cukup serius karena adanya persoalan dari dalam negeri sendiri. Soalnya, mereka yang intoleran dan terpapar paham radikal itu tidak hanya menistakan kelompok masyarakat lain, tetapi juga punya persepsi dan sudut pandang tersendiri terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Mereka juga tidak toleran lagi terhadap negaranya sendiri. Bukan hanya menolak lambang negara, mereka bahkan sudah sampai mengharamkannya. Ada yang tidak mau lagi mengikuti upacara penghormatan bendera Merah-Putih. Tentang fakta-fakta seperti ini, ada begitu banyak cerita nyata yang tak terungkap ke ruang publik. Dan, masyarakat pun hanya bisa bertanya; mengapa kecenderungannya bisa berlarut-larut seperti sekarang ini?
Jangan Berjudi Pekan lalu, ada berita dari Bantul yang menyita perhatian publik. Berita itu bertutur tentang insiden penghentian kegiatan ibadah umat Hindu di Dusun Mangir Lor, Desa Sedangsari, Bantul, DIY, pada Selasa (12/11). Aksi penghentian ibadah itu dilakukan oleh sekelompok orang yang diklaim sebagai warga desa setempat. Kasus terakhir ini memberi gambaran tentang betapa masalah intoleransi sudah berkembang sedemikian jauh. Kasus ini juga menjelaskan bahwa mereka yang intoleran dan mengadopsi paham radikal terus menguat.
Karena negara tidak segera bertindak, kelompok-kelompok ini leluasa melancarkan aksi diskriminatif terhadap kelompok lain. Negara tentu saja tidak bisa lagi minimalis menyikapi kecenderungan ini. Harus ada inisiatif untuk menghentikannya. Tentu saja dengan pendekatan yang moderat. Tidak proporsional juga kalau semua persoalan harus diselesaikan oleh aparatur negara. Namun, semua institusi negara hendaknya mulai proaktif mengupayakan langkah-langkah atau pendekatan yang paling efektif untuk mengikis perilaku intoleran itu.
Pilihannya adalah bahu-membahu dengan para pemuka agama dan komunitas pendidik. Logikanya sederhana saja. Kalau ada kekuatan yang bisa mengindoktrinasi kelompok-kelompok masyarakat menjadi intoleran dan mengadopsi paham radikal, negara pun bisa melakukan hal yang sama untuk mengubah dan membalikkannya. Persoalannya adalah kemauan dan keberanian politik untuk berinisiatif. Jangan berjudi dengan masalah ini. Ingat bahwa taruhannya adalah masa depan ketahanan nasional bangsa ini. Selama ini, aksi-aksi intoleran terjadi di sejumlah daerah, baik kota maupun desa.
Kesigapan dan sikap tegas pemerintah tingkat kota, kabupaten, atau desa untuk mencegah berulangnya kasus intoleran menjadi sangat penting. Kalau kasus intoleran sering terjadi di sebuah kabupaten, itu penanda bahwa aparatur pemerintah setempat tidak bersikap tegas. Sebuah kasus yang sama bisa berulang karena adanya toleransi dari aparatur pemerintah dan penegak hukum. Toleransi sekecil apa pun terhadap para pelaku aksi intoleran biasanya tidak menumbuhkan efek jera. Demi citra daerah, aparatur pemerintah setempat harus berani bersikap tegas terhadap aksi-aksi yang intoleran, sebab ketika sebuah daerah dinilai intoleran maka daerah itu akan kehilangan daya tariknya.
Pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk mengikis masalah intoleransi. Selain wewenang dan kapasitas yang melekat pada struktur organisasi pemerintah di tingkat pusat dan daerah, dukungan masyarakat pun tidak kalah kuatnya. Ada begitu banyak elemen masyarakat yang terang-terangan menolak aksi-aksi intoleran yang dilakukan oleh orang atau komunitas-komunitas tertentu. Mereka yang toleran biasanya secara spontan mengecam aksi-aksi intoleran. Mengacu pada peristiwa terakhir di Bantul itu, sudah waktunya bagi pemerintah untuk mulai proaktif mengupayakan langkah atau pendekatan yang diperlukan guna mengikis perilaku itu.
Sudah ada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Indonesia, Lembaga Ketahanan Nasional, dan instrumen lain sejenis yang bisa dimaksimalkan pemberdayaannya untuk mengikis intoleransi dan paham radikal. Keterlibatan para pemuka agama dan komunitas pendidik pun sangat penting dan relevan. Pemerintah, pada akhirnya, harus berani dan at all cost mengorganisasi aksi atau kegiatan berskala masif untuk mengikis perilaku intoleran. Sudah waktunya negara bersikap tegas. []
KORAN SINDO, 20 November 2019
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI, Kepala Badan Bela Negara FKPPI,
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila
Tidak ada komentar:
Posting Komentar