Dahlan Melawan Bodoh
Oleh: Haedar Nashir
Kauman heboh. Kampung di sekitar Kraton Yogyakarta itu geger gara-gara shaf untuk shalat jamaah di Masjid Gedhe yang ada di kompleks Alun-alun Utara itu digarisi kapur putih sejajar arah kiblat ke arah barat laut yang berbeda dari biasanya. Para penghulu dan jamaah tak berkenan dengan ulah yang mengganggu kemapanan itu.
Bidikan tersangka tertuju ke Kyai Haji Ahmad Dahlah, yang memang
tengah memelopori pembaruan Islam di kampung bersejarah di kota Yogyakarta
Hadiningrat itu. Meski konon pelaku lapangan yang memberi garis putih itu
murid-muridnya, tetapi Ahmad Dahlan yang harus bertanggungjawab.
Ahmad Dahlan disidang para kyai sepuh. Dahlan muda mencoba memberi
argumentasi kuat tentang arah kiblat yang benar menurut ajaran Islam dan ilmu
falak. Namun para penghulu tetap kukuh dengan pendapatnya yang selama ini
mereka pahami. Warga muslim Kauman yang tradisional pun gerah kepada Dahlan.
kyai dahlan dan keluarga tidak ingin menimbulkan kehebohan yang
mengarah pada konflik sosial di kampungnya sendiri. Didirikanlah Langgar
sebagai jalan keluar untuk shalat berjamaah dengan arah kiblat yang benar.
Namun warga yang tak bersetuju makin keras, maka dirobohkanlah bangunan masjid
kecil atau mushala yang belum selesai itu.
Ahmad Dahlan gundah, tapi tidak ingin konflik berkepanjangan. Dia
memutuskan untuk pergi dari Kauman dan mencari lahan dakwah baru bagi usaha
pembaruannya sebagaimana Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Yasrib. Namun
keluarga mencegahnya dan meminta Dahlan kembali ke kampungnya.
Dahlan memperoleh dukungan kuat dari kerabat, sahabat, dan
murid-muridnya. Dengan segala proses yang mencair akhirnya pembaruan Dahlan
diterima masyarakat Kauman. Kampung bersejarah itu kemudian menjadi kampung
Muhammadiyah, setelah Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Islam modern ini pada
18 November 1912.
Kekuatan Akal-Suci
Ahmad Dahlan sesungguhnya sedang mendobrak kejumudan dalam beragama dan berkehidupan umat. Kyai muda dari Kauman Yogya itu sosok pencari kebenaran sejati dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi untuk dihadirkan dalam konteks zaman kekinian. Dia melakukan pembaruan bukan sekadar aksi yang ad-hoc seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, pelayanan sosial, dan sebagainya.
Pembaruannya memiliki dasar berpikir yang kokoh pada pemahaman
Islam dengan berbasis akal pikiran maju. Kyai Dahlan mengajak agar orang Islam
menggunakan kecerdasan “akal yang suci-murni” dan “berpikiran maju”,
sejiwa dengan “aqlu salim” dan “ulil albab” dalam Alquran.
Lawan maju dan cerdas ialah “bodoh” dan “jumud”. Musuh kemajuan
itu kebodohan sebagaimana Nabi mendobrak kejahiliyahan bangsa Arab untuk hidup
berperadaban tinggi dalam jiwa Iqra dan akhlak-karimah. Dengan risalah Iqra dan
membangun akhlak mulia yang mencerahkan akal-budi manusia, Nabi berhasil
membebaskan bangsa Arab yang Jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban cerah
dan mencerahkan dalam puncak risalah “al-Madinah al-Munawwarah”.
Dari rahim peradaban Madinah itu kemudian Islam berkembang menjadi
agama yang membuana dan menciptakan kejayaan peradaban semesta selama
berabad-abad di pentas sejarah dunia. Dahlan meneladani jejak kerisalahan
Muhammad, sehingga organisasi yang didirikannya pada 18 November 1912 (8
Dzulhijah 1330 H) diberi nama Muhammadiyah, pengikut Nabi akhir zaman itu.
Tradisi iqra dan jiwa ulil-albab yang menghidupkan akal pikiran dan akal-budi
yang suci-murni digelorakan sebagai napas gerakan Muhammadiyah.
Kyai Dahlan mengingatkan agar orang Islam menembangkan pemikiran
seputar lima hal, yaitu; (1) Orang itu perlu dan harus beragama, (2) Agama itu
pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram,
padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama,
(3) Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai
dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat keputusan sendiri, (4) Orang
itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa
cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain,
dan (5) Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan
sampai hanya tinggal pengetahuan saja (Syukriyanto & Mulkhan, 1985).
Dalam pelajaran keempat dari Tujuh Falsafah Kyai Dahlan
sebagaimana dinukil Kyai Hadjid, pendiri muhammadiyah itu menyatakan, “Manusia
perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan
akal pikirannya untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia
hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan
mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus menggunakan fikirannya untuk
mengoreksi soal iktikad dan keyakinannya, tujuan hidup dan tingkahlakunya,
mencari kebenaran yang sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini
sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selamanya”.
Pendapat tersebut dikaitkan dengan ayat ke-44 Surat Al-Furqan yang
artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”.
Dahlan menggandrungi dan membumikan kemajuan dalam dunia nyata.
Dia selalu menggeloarakan agar setiap muslim jadi orang yang berkemajuan dalam
fondasi Islam.
Sejak akhir tahun 1889, Dahlan muda memelopori tajdid dalam jejak
pembaruan Islam meluaskan gerakannya ke berbagai bidang, yang kemudian dilembagakan
dalam organisasi Muhammadiyah. Lahirlah lembaga pendidikan modern, gerakan
Al-Ma’un, tabligh di ruang publik, mendirikan Aisyiyah sebagai gerakan
perempuan Islam Indonesia yang progresif, kepanduan Tanah Air yakni Hizbul
Wathan, pembaruan zakat, penyelenggaran haji, dan usaha dakwah lainnya dengan
menyebarkan pemahaman keislaman yang berwawasan tajdid untuk menghadapi
zaman baru.
Cerdas Berindonesia
Dahlan melahirkan Muhammadiyah untuk mencerdaskan dan kemajuan
bangsa melawan kebodohan dan kejumudan. Muhammadiyah memelopori gerakan
cerdas berindonesia. Para tokoh Muhammadiyah yaitu K.H. Ahmad Dahlan,
Agus Salim, K.H. Mas Mansyur, Ki Bagus Hadikusumo, Ir Soekarno,
Kahar Muzakkir, Kasman Singodimedjo, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ir. Djuanda,
Hamka, dan tokoh-tokoh lainnya; maupun para tokoh Aisyiyah yaitu Nyai Walidah
Dahlan, Siti Hayyinah, Siti Munjiyah, serta para pemimpin-pemimpin lainnya
pasca kemerdekaan hingga era terakhir, adalah tokoh-tokoh cerdas nan arif
bijaksana serta telah berkiprah aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan
bangsa. Mereka adalah bapak dan ibu pertiwi yang melahirkan NKRI tercinta ini.
Muhammadiyah yang lahir dari gagasan Ahmad Dahlan secara
organisasi telah berbuat senyata-nyatanya untuk mencerdaskan dan memajukan
kehidupan bangsa. Apa yang selama ini dikerjakan Muhammadiyah telah diakui oleh
masyarakat luas dan juga oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan menetapkan
K.H. Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional tahun 1961, dengan pertimbangan:
(1) kepeloporan dalam kebangunan umat Islam Indonesia untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang harus belajar dan berbuat; (2) memberikan ajaran
Islam yang murni kepada bangsanya, ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan
dan beramal bagi masyarakat dan umat; (3) memelopori amal-usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangunan dan kemajuan bangsa, dengan
jiwa ajaran Islam; dan (4) melalui organisasi Aisyiyah telah memelopori
kebangunan wanita bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi
sosial, setingkat dengan kaum pria.
Setelah Indonesia merdeka, pada berbagai periode pemerintahan
hingga periode reformasi, pengabdian Muhammadiyah terhadap bangsa dan negera
terus berlanjut. Khidmat kebangsaan ini didorong oleh keinginan yang kuat agar
Indonesia mampu melangkah ke depan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan. Inilah
bukti bahwa Muhammadiyah benar-benar “berkeringat” di dalam usaha-usaha
mencerdaskan dan memajukan kehidupan bangsa, lebih khusus di bidang pendidikan,
kesehatan, dan sosial. Muhammadiyah tidak pernah bertangan-hampa. Ketika negara
belum hasir di banyak tempat-tempat terjauh, terdepan, dan tertinggal maka
Muhammadiyah hadir mencerdaskan dan memajukan bangsa.
Muhammadiyah meyakini bahwa Indonesia dapat mencapai tujuan untuk
menjadi negara dan bangsa berkemajuan di tengah dinamika global sarat tantangan
sekaligus dapat menyelesaikan masalah-masalah besar dirinya manakala elite dan
warganya cerdas dan maju akal budi, pikiran, dan tindakannya. Kebijakan-kebijakan
negara pun baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif serta institusi
kenegaraan lainnya harus dibangun di atas prinsip-prinsip pemikiran yang cerdas
dan maju serta tidak terjebak pada kebodohan dan kejumudan. Kebijakan-kebijakan
negara semestinya juga cerdas dan mencerdaskan, sehingga membuat rakyat semakin
cerdas hati, pikiran, dan tindakannya, bukan hanya maju kecakapan teknis dan
teknologisnya.
Dalam meraih Indonesia berkemajuan di tengah tantangan dunia yang
semakin kompetitif di era revolusi Industri 4.0 dengan segala masalah kompleks
maka diperlukan kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang unggul, yakni
manusia Indonsia yang berkarakter utama dan berkemampuan tinggi berbasis
nilai dan akal budi mulia. Dalam salah satu frasa lagu Indonesia Raya
berkumandang pesan: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Naif jika negara
hanya bangga dengan kecakapan teknis dan teknologis, sementara akal-budinya
kehilangan sukma utama. Generasi milenial sangatlah penting bagi Indonesia ke
depan, tapi jangan jadikan negeri ini beraura tidak akil-balig. Tidak cukup
memadai juga jika para elite di negeri ini hebat visi instrumentalnya tetapi
lemah visi kenegaraan dan kebangsaan yang melintasi.
Negara, elite, dan warga bangsa pun dapat terjebak pada kebodohan
akal budi. Mereka yang bodoh tidak sekadar lemah kemampuan pikirannya, tetapi
juga akal budi dan visi kehidupannya yang nirmakna. Dalam Pidato Sidang Tahunan
1921 yang berjudul “Tali Pengikat Hidup”, Kyai Dahlan menyampaikan pandangan,
kenapa orang mengabaikan dan menolak kebenaran, hal itu karena antara
laun “bodoh, ini yang banyak sekali”. Negara sering gaduh oleh hal-hal
bodoh akibat pikiran, ujaran, sikap, dan tindakan elite atau warganya
sembarangan, spontan, dan bernapas-pendek yang jauh dari kualitas
cerdas-berkemajuan. Polemik berbangsa pun sering terjebak pada satire orang
buta melukiskan gajah secara apriori plus hawa nafsu kepentingan egosentris.
Jika ingin menjadikan indonesia maju bawalah negeri tercinta ini
sebagai negara dan bangsa yang berkecerdasan tinggi di atas pondasi nilai-nilai
luhur dan visi kenegaraan yang kokoh sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD
1945 dan daya hidup bangsa yang menjujung tinggi agama, Pancasila, dan
kebudayaan bangsa. Artinya, kemajuan Indonesia itu bukan hanya fisik dan
lahiriah semata, tetapi harus disertai nilai-nilai yang cerdas-bermakna.
Indonesia jangan dibangun seperti pabrik yang memproduksi
barang-barang kelontongan, yang kehilangan daya hidup dan makna substantif.
“Indonesia itu bernyawa”, ujar Soepomo ketika berpidato di BPUPKI tahun 1945,
yang oleh para pendiri bangsa dirancang-bangun dengan kecerdasan tinggi dan
berfondasi nilai-nilai utama yang mesti tergambar dalam wajah negara hari ini!
[]
REPUBLIKA, 24 November 2019
Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar