Kamis, 05 Desember 2019

(Hikmah of the Day) Haji Mudah di Balik Musibah


Haji Mudah di Balik Musibah

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima. Wajib bagi setiap Muslim melaksanakannya sekali dalam seumur hidup.

وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah. Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha-Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran[3]: 97).

Ada yang khas dalam haji dibanding ibadah selainnya. Dalam konteks Muslim Indonesia, orang yang telah menjalankan ibadah haji akan menyandang sebutan “haji” atau “hajjah”—hal yang tidak dijumpai pada ibadah shalat, puasa, dan zakat meski sama-sama rukun Islam. Teringat ketika Ustadz Hasan, salah satu muthawif umrah menjelaskan bahwa ketika seseorang sudah menjalankan ibadah haji sempurnalah Islamnya, seluruh kewajiban dijalankan dan sunnah-sunnahnya ditingkatkan.

Yang mesti dicatat pula, perintah haji adalah bagi mereka yang mampu. Ini artinya ketika seorang Muslim belum mampu melaksanakannya misalnya karena faktor biaya, kendaraan, keamanan, kekuatan fisik, maupun kesehatan maka ia tidak terkena hukum dosa.

Ada satu kisah nyata di tahun 2018 tepatnya di Klaten Jawa Tengah. Pak Fulan—sebut saja demikian—bersama istri, dijadwal oleh pemerintah berangkat haji pada tahun 2018. Atas kuasa Allah subhanahu wata’ala Pak Fulan mengalami sakit keras sehingga mengharuskan operasi: terdapat tumor pada ususnya. Semakin hari kondisi Pak Fulan semakin melemah sehingga tidak mungkin bisa berangkat di tahun 2018. Dengan kondisi demikian, akhirnya istri berangkat sendiri tanpa didampingi suami ataupun anak, karena kondisinya masih sehat dan kuat.

Selama menjalani pengobatan kurang lebih 10 bulan Pak Fulan dirawat oleh putra dan keluarga dengan telaten sehingga pada tahun 2019 kondisinya semakin membaik. Tekad Pak Fulan begitu kuat untuk bisa berangkat ke Baitullah. Beliau merasa sudah lebih baik dan kuat untuk memenuhi panggilan haji. Setelah cek kesehatan atas izin Allah SWT Pak Fulan dinyatakan bisa berangkat haji di tahun 2019 ini.

Mengingat kondisi yang baru saja mengalami sakit selama kurang lebih 10 bulan ini, tentu kondisi fisik tidak sekuat sebelumnya. Dengan hasil musyawarah akhirnya pemerintah membolehkan salah satu keluarga untuk mendampingi keberangkatannya. Dengan syarat sudah terdaftar sebagai calon jamaah haji.

Yang menarik dalam kisah ini ternyata ketika Allah memanggil hamba-Nya ke Baitullah tidak mengenal aturan pemerintah atau siapa pun. Anak dari Pak Fulan yang seharusnya keberangkaatan di tahun 2030-an ia bisa berangkat di tahun 2019. Di balik musibah yang menimpa keluarga Pak Fulan, atas kesabarannya dan keluarga, akhirnya bisa berangkat bersama putra tercinta menuju rumah Allah.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah kebaikan, maka akan diberi musibah,” (H.R. Bukhari).

Mahasuci dan bijaksana Allah yang mengatur kehidupan di bumi dan di langit dengan cermat dan tepat. Tidak ada kata tertunda, hanya saja Allah pilihkan waktu yang terbaik. Kesabaran berbuah kebahagiaan. Semoga keduanya dijadikan haji yang mabrur. Amiin. []

Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar