Haji Mudah di Balik Musibah
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima. Wajib bagi setiap Muslim melaksanakannya sekali dalam seumur hidup.
وَلِلهِ
عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَمَنْ كَفَرَ
فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah. Yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha-Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imran[3]:
97).
Ada yang khas dalam haji dibanding ibadah
selainnya. Dalam konteks Muslim Indonesia, orang yang telah menjalankan ibadah
haji akan menyandang sebutan “haji” atau “hajjah”—hal yang tidak dijumpai pada
ibadah shalat, puasa, dan zakat meski sama-sama rukun Islam. Teringat ketika
Ustadz Hasan, salah satu muthawif umrah menjelaskan bahwa ketika seseorang
sudah menjalankan ibadah haji sempurnalah Islamnya, seluruh kewajiban
dijalankan dan sunnah-sunnahnya ditingkatkan.
Yang mesti dicatat pula, perintah haji adalah
bagi mereka yang mampu. Ini artinya ketika seorang Muslim belum mampu
melaksanakannya misalnya karena faktor biaya, kendaraan, keamanan, kekuatan
fisik, maupun kesehatan maka ia tidak terkena hukum dosa.
Ada satu kisah nyata di tahun 2018 tepatnya di Klaten Jawa Tengah. Pak Fulan—sebut saja demikian—bersama istri, dijadwal oleh pemerintah berangkat haji pada tahun 2018. Atas kuasa Allah subhanahu wata’ala Pak Fulan mengalami sakit keras sehingga mengharuskan operasi: terdapat tumor pada ususnya. Semakin hari kondisi Pak Fulan semakin melemah sehingga tidak mungkin bisa berangkat di tahun 2018. Dengan kondisi demikian, akhirnya istri berangkat sendiri tanpa didampingi suami ataupun anak, karena kondisinya masih sehat dan kuat.
Selama menjalani pengobatan kurang lebih 10
bulan Pak Fulan dirawat oleh putra dan keluarga dengan telaten sehingga pada
tahun 2019 kondisinya semakin membaik. Tekad Pak Fulan begitu kuat untuk bisa
berangkat ke Baitullah. Beliau merasa sudah lebih baik dan kuat untuk memenuhi
panggilan haji. Setelah cek kesehatan atas izin Allah SWT Pak Fulan dinyatakan
bisa berangkat haji di tahun 2019 ini.
Mengingat kondisi yang baru saja mengalami
sakit selama kurang lebih 10 bulan ini, tentu kondisi fisik tidak sekuat
sebelumnya. Dengan hasil musyawarah akhirnya pemerintah membolehkan salah satu
keluarga untuk mendampingi keberangkatannya. Dengan syarat sudah terdaftar
sebagai calon jamaah haji.
Yang menarik dalam kisah ini ternyata ketika
Allah memanggil hamba-Nya ke Baitullah tidak mengenal aturan pemerintah atau
siapa pun. Anak dari Pak Fulan yang seharusnya keberangkaatan di tahun 2030-an
ia bisa berangkat di tahun 2019. Di balik musibah yang menimpa keluarga Pak
Fulan, atas kesabarannya dan keluarga, akhirnya bisa berangkat bersama putra
tercinta menuju rumah Allah.
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah
kebaikan, maka akan diberi musibah,” (H.R. Bukhari).
Mahasuci dan bijaksana Allah yang mengatur
kehidupan di bumi dan di langit dengan cermat dan tepat. Tidak ada kata
tertunda, hanya saja Allah pilihkan waktu yang terbaik. Kesabaran berbuah
kebahagiaan. Semoga keduanya dijadikan haji yang mabrur. Amiin. []
Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU
Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar