Matinya Partai Masyumi dan Sorak-sorai PKI
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saat Trikora ini diumumkan Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanuddin Harahap yang turut dalam PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) baru saja keluar dari hutan-hutan di Sumatra Barat, setelah mendapat amnesti dan abolisi dari Presiden Sukarno. PRRI yang dibentuk pada tanggal 15 Februari 1958 adalah pemerintah tandingan yang diarsiteki oleh penglima-panglima daerah untuk meminta Presiden Sukarno kembali ke UUDS yang dinilai telah dilanggarnya. Tokoh-tokoh Masyumi yang kemudian terlibat di dalamnya bertujuan agar para komandan tentara itu tidak membentuk negara sendiri.
Karena perundingan dengan Jakarta menemui jalan buntu, perang saudara tidak dapat dielakkan lagi. Padahal, Mohammad Hatta telah berusaha keras agar ditempuh jalan perundingan dengan pemberontak.
Usaha Hatta gagal total karena Jakarta lebih memilih perang.
Tetapi pasukan PRRI terlalu lemah untuk menghadapi gempuran TNI. Hanya dalam
beberapa bulan pasukan PRRI dapat dilumpuhkan.
Tokoh-tokoh Masyumi yang terlibat dalam PRRI tidak punya pilihan
lain, kecuali bersembunyi dengan berpindah-pindah dari kampung ke kampung yang
lain di Sumatra Barat, demi menghindar dari kejaran TNI. Inilah tragedi akibat
konflik berdarah-darah antara daerah dan pusat yang semestinya tidak perlu
terjadi, sekiranya masing-masing pihak berlapang dada untuk mencari jalan
keluar sesama anak bangsa yang telah bahu-membahu selama masa revolusi
mempertahankan kemerdekaan.
Sjafruddin Prawiranegara bahkan diberi mandat untuk memimpin PDRI
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di hutan-hutan di Sumatra sebagai
akibat dari tertawannya Sukarno-Hatta dan beberapa menteri oleh pasukan Belanda
di ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948. PDRI telah melaksanakan mandat
itu secara efektif selama sekitar tujuh bulan (19 Desember 1948-13 Juli 1949).
Dalam situasi genting ini, PKI, musuh Masyumi dalam politik,
berperan besar agar Jakarta menempuh jalan kekerasan menghadapi PRRI. Pada era
itu pengaruh komunis di panggung politik nasional demikian hebat, sekalipun
pimpinan AD (Angkatan Darat) telah siap-siaga mengincar PKI yang dapat
perlindungan dari negara. Presiden Sukarno berusaha mengendalikan keadaan dalam
bingkai politik balance of
power (perimbangan kekuatan) antara AD dan PKI.
Dengan meledaknya pemberontakan G30S/PKI pada 30 September 1965,
politik perimbangan itu menemui ujung dramatisnya. Kekuasaan Presiden Sukarno
mulai meredup sebelum padam sama sekali. Sedangkan PKI dibubarkan pada 12 Maret
1966 oleh penguasa baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, mantan panglima
Mandala, menyusuli nasib buruk musuhnya: Masyumi.
Sekalipun para pemimpin Masyumi mendapatkan amnesti dan abolisi
dari presiden, mereka tidak otomatis menjadi manusia merdeka. Masih menunggu
sampai tahun 1966 setelah rezim berganti. Dalam masa penungguan itu, mereka
justru dikarantina di tempat yang berpindah-pindah.
Saya tidak bisa memastikan, apakah perlakuan yang semacam ini
masih terkait secara tidak langsung dengan kemarahan Presiden Sukarno kepada
Natsir akibat kalah dalam pemungutan suara dalam sidang kabinet bulan Agustus
1951 mengenai masalah Irian Barat, seperti telah disebut sebelumnya. Atau
mungkin karena para veteran pendiri negara ini masih saja dianggap berbahaya
bagi kelangsungan rezim yang sedang dilanda kesulitan ekonomi yang semakin
parah salama era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), ciptaan Presiden Sukarno.
PKI yang mendapat payung dari penguasa sudah lama berupaya agar hak hidup Masyumi dicabut sekali dan untuk selama-lamanya. Maka itu, keterlibatan tiga tokoh partai ini dalam PRRI merupakan pintu masuk yang strategis bagi PKI untuk meraih mimpi politiknya.
Melalui Keppres Nomor 200/1960 tertanggal 17 Agustus 1960, Masyumi
diperintahkan bubar dengan dalih utama karena beberapa pemimpinnya terlibat
dalam pemberontakan PRRI, sedangkan pimpinan Masyumi yang baru di bawah Prawoto
Mangkusasmito tidak mengutuk mereka yang terlibat itu. Karena partai kaum
modernis ini taat konstitusi dan hukum, pada 13 September 1960 PP (Pimpinan
Pusat) Masyumi menyatakan bahwa Partai Masyumi bubar.
Yang paling bersorak-ria atas kematian Masyumi ini tentu saja PKI,
sementara partai-partai santri lainnya hanya diam membisu, tidak ada pembelaan
sama sekali. Dengan segala hormat kepada partai ini, ada dua kritik yang perlu
disampaikan.
Pertama, perjuangan agar Islam dijadikan dasar negara berhadapan
dengan Pancasila bukanlah sebuah strategi yang tepat. Penilaian ini muncul
setelah saya belajar Islam dan sejarah modern Indonesia di Universitas Chicago
antara tahun 1978-1982. Kedua, keterlibatan tiga tokoh utama Masyumi dalam
gerakan PRRI yang dimotori komandan-komandan militer daerah belum tentu
didasarkan pada pertimbangan politik yang bijak dan matang, sekalipun
intimidasi terhadap mereka di Jakarta demikian jahatnya.
Akhirnya, di atas itu semua, ditinjau dari lensa perjalanan demokrasi di Indonesia, kematian partai Masyumi dapat ditafsirkan sebagai bencana politik nasional yang dampak buruknya masih dirasakan sampai hari ini. Demokrasi Indonesia masih belum juga menemukan jati-dirinya yang mantap! []
REPUBLIKA, 26 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar