Ekstremisme
Amerika Serikat di Timur-Tengah
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Timur-Tengah
membara, dan akan selalu membara. Sebuah pemandangan yang sudah bisa kita
saksikan bersama selama beberapa dekade terakhir, berlangsung hingga saat ini.
Inti persoalannya karena Amerika Serikat selalu menerapkan kebijakan yang
bersifat ekstrem. Lebih-lebih pada masa kepemimpinan Donald Trump yang
menyebabkan Timur-Tengah terus bergejolak. Ekstremisme AS di Timur-Tengah
semakin ugal-ugalan, dan celakanya menciptakan instabilitas, bahkan ekstremisme
susulan.
Teranyar, AS secara mengejutkan, tidak ada angin dan tidak ada hujan mengeluarkan sebuah pernyataan yang memantik kemarahan dunia internasional, bahwa pendudukan dan pembangunan Israel di Tepi Barat dan Jerusalem Timur dinyatakan sebagai tindakan yang legal. Padahal semua tahu bahwa tindakan Israel selama bertahun-tahun di kawasan Palestina tersebut merupakan tindakan ilegal yang bertentangan dengan sejumlah resolusi PBB.
Setidaknya hingga saat ini sudah ada 600.000 pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Israel secara sepihak mencaplok kawasan yang sebenarnya milik Palestina. Pada masa kepemimpinan Barack Obama, AS mempunyai sikap yang jelas, yaitu meminta Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman ilegal tersebut. Sebab langkah Israel menjadi hambatan serius bagi solusi perdamaian dan jalan menuju solusi dua negara (two states solution).
Berbeda
dengan Presiden Obama, Trump justru mengambil langkah ekstrem dengan memberikan
stempel kepada Israel untuk melanjutkan pembangunan pemukiman ilegal di Tepi
Barat dan Jerusalem Timur. Trump sedang memainkan perannya sebagai sosok
ekstremis yang menggunakan tangan besi kekuasaannya untuk melindas dan
menggilas seluruh aturan main internasional, yang akan berdampak luas bagi
perdamaian di Timur-Tengah bahkan di dunia.
Sikap ekstrem AS bukan hanya sebuah kemunduran, tetapi justru menjadi sebuah kegagalan dalam mendorong perdamaian dunia. Kita tahu, isu Palestina merupakan salah satu isu sentral yang mestinya harus dikelola dengan mengedepankan rasionalitas dan akal sehat. Pintu perdamaian dan peta keadilan merupakan harga mati yang harus dijadikan sebagai fondasi dalam setiap kebijakan yang akan terkait langsung dengan Palestina.
Namun Trump sepertinya tidak menggunakan akal sehat, melainkan memakai kacamata kuda dalam memotret isu Palestina. Yang menjadi tolok ukurnya bukan perdamaian global, tetapi posisi dirinya yang saat ini sedang diadili oleh parlemen AS terkait dengan skandal bantuan ke Ukraina.
Trump sengaja mengambil langkah ekstrem mendukung penuh pembangunan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Jerusalem Timur karena ingin mendapatkan dukungan penuh dari para pendukungnya, khususnya kaum konservatif dan lobi Yahudi. Apalagi tahun depan merupakan momentum Pemilihan Presiden yang sangat menekan dirinya karena merosotnya dukungan publik terhadap Trump.
Di pihak lain, Trump ingin memberikan dukungan penuh terhadap Netanyahu yang dalam dua pemilu terakhir gagal mendapatkan suara mayoritas dan membangun pemerintahan. Israel berada dalam dilema serius, karena Netanyahu dan koalisinya gagal memenangkan pemilu. Trump ingin memberikan dukungan terhadap Netanyahu, bahwa AS akan mendukung seluruh tindakan Israel terhadap Palestina, termasuk dalam hal pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Jerusalem Timur.
Maka dari itu, Netanyahu merespons kebijakan Trump sebagai kemenangan historis bagi Israel. Setelah Israel berhasil menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel dengan dukungan penuh dari AS, dan AS memindahkan Kedutaan Besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem, maka Israel merasa bisa berbuat apa saja terhadap Palestina.
Sikap ekstrem AS tersebut telah menutup rapat-rapat jalan perdamaian. Palestina pun tidak mempunyai opsi kecuali melakukan perlawanan. Tidak hanya itu, sikap AS yang terlihat sembrono ini sama sekali tidak mendorong pada terwujudnya perdamaian global. Alih-alih ingin mewujudkan perdamaian global, sikap AS akan menghidupkan sel-sel kaum ekstremis yang dapat mengancam keamanan global.
Selain itu, kebijakan ekstrem AS terhadap Iran juga telah mengancam stabilitas politik. Embargo dan blokade ekonomi yang diambil Trump dengan menganulir kesepakatan nuklir secara sepihak telah menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi. AS terlalu ekstrem dalam menyikapi Iran.
Apa yang terjadi di Iran dalam beberapa hari terakhir adalah akibat kebijakan ekstrem AS. Jalan perdamaian di kawasan Timur-Tengah yang diinisiasi oleh Presiden Obama hancur lebur, karena ekstremisme Trump. AS di masa Obama berusaha membangun kesepahaman dengan Iran, sehingga mampu bersama-sama melawan ISIS. Namun kebijakan Trump terhadap Iran merusak asa perdamaian.
Akibatnya, Iran harus berada dalam krisis ekonomi yang jika tidak diambil terobosan, maka akan menyebabkan krisis politik yang serius. Sebab itu, Presiden Iran mengambil langkah tidak populer dengan menaikkan harga bensin untuk memastikan kelas bawah mendapatkan insentif dari negara.
Semua mencermati apa yang terjadi di Iran merupakan buah dari kesombongan AS. Bahkan AS sengaja membuat kebijakan yang ekstrem, sehingga sebuah negara berada di ambang kehancuran dan kebangkrutan. Padahal Iran adalah negara dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat luar biasa.
Begitu halnya dengan apa yang terjadi di Yaman. Konflik yang tak kunjung selesai itu akibat rudal-rudal mematikan AS. Demi mendulang keuntungan fulus dari bisnis senjata, AS sama sekali tidak mendorong solusi yang mendamaikan bagi Yaman. Akibatnya ratusan ribu warga tewas dan jutaan lainnya mengungsi.
AS secara eksplisit berpihak kepada Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang menggunakan cara-cara ekstrem dalam menyelesaikan konflik politik di Yaman. Akibatnya, masalah di Yaman terus menggantung tanpa solusi. AS terlibat langsung dengan pihak-pihak yang tidak menghendaki perdamaian di Yaman.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Timur-Tengah saat ini adalah buah dari ekstremisme AS. Kebijakan yang cenderung ugal-ugalan dan ekstrem itu, cepat atau lambat akan melahirkan ekstremisme baru. Apa yang dilakukan AS sama sekali tidak memberikan harapan bagi terwujudnya perdamaian dan keadaban publik. Timur-Tengah pada hakikatnya adalah korban dari ekstremisme AS. []
DETIK, 21
November 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis
pemikiran dan politik Timur-Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar