Muslimat NU dan
Kekerasan Pemilu 1971 (2)
Kekerasan Pemilu 1971
Usep Romli HM
menceritakan bagaimana situasi mencekam menjelang Pemilu 1971. Menurutnya,
perang urat syaraf telah terjadi jauh sebelum masa kampanye. Perang slogan
antara pendukung sembilan parpol dan pendukung Golkar kerap muncul secara
terbuka di spanduk hingga bisik-bisik sesama masyarakat.
Parpol diklaim
sebagai produk Orla dengan dosa sospol “yang menjerumuskan Indonesia ke jurang
kebangkrutan mulai dari krisis ekonomi, keamanan, politik, hingga peristiwa “G-30-S/PKI”.
Hanya Golkar yang ‘suci bersih’ yang akan sanggup membawa kesejahteraan dan
pembangunan.”
Slogan “Parpol No,
Pembangunan Yes” bertebaran di seantero Tanah Air. Semua aparat diturunkan ke
lapangan untuk mencegah rakyat mendukung parpol, dan menekan mereka untuk
mendukung Golkar.
“Bentrokan fisik
terjadi di mana-mana. Banyak santri dan kiai pendukung NU ditangkap, dianiaya,
bahkan dibunuh,” tulis Usep.
Usep menambahkan
bahwa rezim Orba berusaha sekuat tenaga melemahkan kekuatan NU dengan upaya memisahkan
para kiai dari umatnya, terutama di daerah-daerah. Orba tak sungkan melakukan
kekerasan: menangkap para kiai dan santri, ditahan empat lima hari di kantor
Koramil atau Kodim, disodori formulir pernyataan mendukung pemerintah Orde Baru
dengan cara mencoblos tanda gambar “beringin” pada pemilu nanti, dan lain-lain.
Catatan Usep atas
Teror di Pemilu 1971 bukan mengada-ada. Majalah berita mingguan Tempo pada 17
April 1971 mencatat kegeraman elit Partai NU atas kekerasan dan intimidasi yang
dilakukan oleh Sekber Golkar.
Kliping Majalah Tempo
di bawah kepala Nahdhatul Golkar dari Kwitang s/d Jombang yang saya dapat dari
pengurus LTNNU Jawa Barat Iip D Yahya pada 17 Januari 2019 lalu menyebutkan
bahwa beberapa hari terakhir orang-orang NU mengeluarkan statmen yang “pahit
dan keras” seperti PNI sebelumnya.
“Apa pun jang menimpa
diri saja, saja akan tetap berbitjara sekarang,” kata Sekjen Partai NU KH Yusuf
Hasyim di hadapan sejumlah pemuda di Gedung Balai Budaya, yang dikutip Tempo
pada 17 April 1971.
Yang dibicarakan oleh
KH Yusuf Hasyim atau biasa dipanggil Pak Ud itu tidak lain terkait Sekber
Golkar dalam kaitannya dengan intimidasi yang lazim disebut “ekses atau tekanan
politik”. Ia menyebutkan bahwa korban ekses politik itu bukan hanya santri dan
kiai, tetapi juga aktivis Muslimat NU. “Antara lain tentang seorang wanita NU
landjut usia jang distroom listrik.”
Pak Ud tampak serius
membahas ekses dan tekanan politik kelompok Golkar yang disebutnya dengan
samara “golongan X”. Meski sebagian pemuda yang mendengarkannya tertawa saat
itu, ia menceritakan paksaan dan tekanan penguasa lokal terhadap para
simpatisan partainya untuk mengalihkan dukungan mereka untuk Pohon Beringin.
“Kalau rakjat
melawan, masih bisa ditembaki. Tapi kalau mereka djadi apatis? Tak ada
peraturan jang bisa menindak orang jang manggut-manggut sadja tapi sebenarnja
tidak mau berbuat apa-apa,” kata Pak Ud seperti dilansir Tempo pada 17 April
1971.
Ia mengingatkan
pemerintah Orba saat itu agar sedikit bersyukur atas partisipasi masyarakat
dalam pemilu. Mereka tidak Golput saja layak dihargai. Jangan lagi mereka
diberikan beban tambahan. Golput atau apatis terhadap pemilu belum menjadi tren
seperti gaya sebagian anak muda zaman sekarang.
“Sampai sekarang dan
mungkin djuga nanti, memang ada laporan tentang orang jang ditembak hanja
karena manggut-manggut. Agaknja di situlah masih terletak harapan Jusuf Hasjim:
dalam laut memang dapat diduga, tapi dalam hati siapa tahu ada tanda gambar NU?
Maka udjar tokoh partai dan bekas tentara itu: ‘Kami belum berbitjara tentang
kekalahan,’” tulis Tempo halaman 5, edisi 17 April 1971.
Partai NU saat itu
cukup optimis pada Pemilu 1971. Kekuatan partai NU didukung oleh kiai
berpengaruh yaitu Ketum PBNU KH Idham Chalid, Ketua PBNU Subhan ZE, Ketua DPR-GR
KH Ahmad Syaikhu, Menag KH Ahmad Dahlan, Pengurus harian PBNU KH Saifuddin
Zuhri, Rais Aam PBNU KH Wahab Chasbullah, Wakil Rais Aam PBNU KH Bisri
Syansuri, KH Ali Maksum (Krapyak Yogyakarta), KH Anwar Musaddad (Garut), KH
Ilyas Ruhiat (Tasikmalaya), KH Anis Fu’ad (Banten), KH Hasyim Adnan (Jakarta),
KH Abdurrazaq Makmun (Betawi), dan banyak kiai lainnya.
Berkat pengaruh kiai
karismatik dan dukungan para simpatisan partai NU yang cukup solid baik dari
kalangan nahdliyin maupun perempuan NU, NU berhasil meraih suara terbanyak
kedua setelah Sekber Golkar pada Pemilu 1971.
“Kata KH Idham
Chalid, Ketua Umum PBNU, kemenangan 58 kursi betul-betul rahmat karunia Allah
SWT. ‘Bayangkan, kita disuruh bertanding tinju sambil kedua tangan diikat.
Dikeroyok pula,’ ujar Pak Idham pada sebuah acara ‘training centre’ GP Ansor
Jawa Barat di Bogor (1972),” tulis Usep Romli HM dalam artikelnya Teror Orba di
Pemilu 1971 yang diturunkan NU Online pada 31 Maret 2014.[]
(selesai…)
(Alhafiz K)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar