Adakah Sistem Islami?
Dalam kitab suci al-Qur’ân
disebutkan: “masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh” (udkhulû
fi al-silmi kâffah ) (QS al-Baqarah (2): 128). Di sinilah terletak perbedaan
pendapat sangat fundamental di antara kaum muslimin. Kalau kata “al-silmi”
diterjemahkan menjadi kata Islam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas
Islam formal, dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan mereka
yang menterjemahkan kata tersebut dengan kata sifat kedamaian, menunjuk pada
sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah sistem
tertentu, termasuk sistem Islami.
Bagi mereka yang terbiasa dengan
formalisasi, tentu digunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata
Islami, dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang dianggap
mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sebagai sesuatu
yang biasa dan lumrah. Hal ini membawakan implikasi adanya keperluan akan
sebuah sistem yang dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena
itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting perwujudan “partai
politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. Tentu saja, demokrasi mengajarkan
kita untuk menghormati eksistensi parpol-parpol Islam, tetapi ini tidak berarti
keharusan untuk mengikuti mereka.
Di lain pihak kita juga harus
menghormati hak mereka yang justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami
tersebut, yang secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam
sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini juga berarti, bahwa
dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, sebuah sistem Islami otomatis membuat
warga negara non-muslim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam,
alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, karena juga akan
berdampak pada kaum muslimin nominal, yang tidak menjalankan ajaran Islam
secara penuh. Kaum muslim seperti ini, -sering disebut muslim nominal atau
abangan-, tentu akan dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang
menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajaran Islam secara
penuh, yang juga sering dikenal dengan nama “kaum santri”.
*****
Apabila terdapat pendapat tentang
perlunya sebuah sistem Islami, mengapa lalu ada ketentuan-ketentuan
non-organisatoris yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci
al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk dianggap sebagai
“muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di kitab suci
al-Qur’ân, yaitu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun)
Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak saudara,
anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan profesionalisme dan bersikap
sabar ketika menghadapi cobaan dan kesusahan. Kesetiaan kepada profesi itu,
digambarkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi
janji yang mereka berikan” (wa al-mufâna bi ‘ahdihim idâ ‘âhadû) (QS al-Baqarah
(2): 176). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji kepada profesi
masing-masing, yang disampaikan ketika membacakan janji prasetia pada waktu
menerima sebuah jabatan?
Kalau kelima syarat di atas
dilaksanakan oleh seorang muslim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami,
dengan sendirinya tidak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut ajaran
Islam. Dengan demikian, perwujudan sebuah sistem Islami tidak termasuk menjadi
syarat bagi seseorang untuk dianggap “muslim yang taat”. Ini menjadi titik
sengketa yang sangat penting, karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang
tidak mementingkan arti sistem.
Maka ketika NU (Nahdlatul Ulama)
menyatakan deklarasi berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa
menyebutkan bahwa partai tersebut adalah partai Islam, penulis dihujani kritik
tajam selama berbulan-bulan dari mereka yang menginginkan partai tersebut
dinyatakan sebagai partai Islam. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak
menyadari, bahwa NU sejak semula telah menerima kehadiran upaya berbeda-beda
dalam sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa.
Dalam Muktamar NU tahun 1935 di
Banjarmasin, muktamar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum
muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang
Indonesia) yang diperintah oleh orang-orang non-muslim (para kolonialis
Belanda)? Jawab Muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan tersebut, yang di
kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada
kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat
sistem Islam, dan dihargai perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin
di kawasan tersebut.
*****
Diktum Muktamar NU di Banjarmasin
tersebut, memungkinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden Soekarno
dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian pula, pembentukan badan-badan
formal Islam bukanlah satu-satunya medium bagi perjuangan Islam untuk
menerapkan ajaran di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja menyalurkan
aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di kawasan tersebut melalui Golkar
(Golongan Karya) yang bukan sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan
perjuangan antara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu
pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan melalui jalur-jalur
resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para pendukung Ibn Taimiyyah beberapa
abad yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan adagium
yang dikenal Islam; “Tiada agama tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa pimpinan,
dan tiada pimpinan tanpa ketundukan” (lâ dîna illâ bi jamâ’ah, wa lâ jamâ’ata
illâ bi imâmatin, wa lâ imâmata illâ bi-ithâ’ah). Bukankah ini sudah
menunjukkan adanya sebuah sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam
ungkapan tersebut yang menunjukkan secara spesifik adanya sebuah sistem Islami.
Dengan demikian, setiap sistem diakui kebenarannya oleh ungkapan tersebut, asal
ia memperjuangkan berlakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.
Karena itu penulis berpendapat,
dalam pandangan Islam tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islami, ini berarti
tidak ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini penting untuk
diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pihak-pihak yang ingin memasukkan
Piagam Jakarta ke dalam UUD (Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan
negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena
paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada
semua warga negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar