Senin, 11 September 2017

Zuhairi: Belajar dari Tragedi Rohingya



Belajar dari Tragedi Rohingya
Oleh: Zuhairi Misrawi

Dunia mengutuk dan mengecam persekusi yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Rohingnya sebagai kelompok minoritas yang paling sering dipersekusi.

Presiden Jokowi meminta kepada pemerintah Myanmar agar menghentikan aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya serta memerintahkan Menlu untuk menggunakan jalur diplomasi dalam rangka membantu etnis Rohingya melalui aksi kemanusiaan bersama sejumlah ormas dan lembaga filantropi.

Apa yang dialami etnis Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan. Mereka adalah orang-orang tertindas, dan ironisnya mereka tidak mempunyai negara (stateless). Mereka tinggal di Rakhine, salah satu negara bagian Myanmar, tapi mereka tidak diakui sebagai warga negara.

Sejak Myanmar merdeka pada 1948 hingga sekarang ini, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Tidak lama setelah merdeka, Myanmar mengeluarkan The Union Citizenship Act yang di dalamnya menjelaskan tentang etnis-etnis yang diakui sebagai warga-negara. Sejak saat itu, etnis Rohingnya sudah tidak diakui sebagai warga-negara.

Meskipun demikian, keluarga-keluarga etnis Rohingya yang sudah dua generasi tinggal di Myanmar mendapatkan kartu identitas. Di antara mereka pada masa itu ada yang menjadi anggota parlemen.

Namun, situasinya berubah setelah kudeta militer 1962. Seluruh warga negara harus mendapatkan kartu tanda penduduk. Sementara, etnis Rohingya hanya mendapatkan kartu sebagai warga negara asing yang kegunaannya sangat terbatas untuk mendapatkan pekerjaan dan pendidikan.

Pada 1982, Myanmar mengeluarkan Undang-undang Kewarganegaraan yang secara eksplisit tidak mengakui etnis Rohingya di antara 135 etnis yang diakui oleh negara. Akibat dari Undang-undang tersebut, etnis Rohingya mendapatkan kesulitan untuk melakukan aktivitas, karena mereka tidak diakui sebagai warga negara.

Tidak terelakkan konflik terjadi sejak lama. Konon, konflik sudah muncul sejak dekade 70-an, tidak lama setelah junta militer berkuasa. Utamanya, konflik terjadi antara milisi Rohingya, yang dikenal dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dengan militer Myanmar. Milisi Rohingya kerap melakukan aksi penyerangan terhadap polisi dan militer Myanmar.

Pada 2012, sejumlah warga etnis Rohingya melakukan pemerkosaan yang menimbulkan kemarahan besar dari warga Rakhine. Situasinya terus memburuk, hingga pada 2013 Human Right Watch menyimpulkan bahwa ada indikasi pembasmian etnis Rohingya di Rakhine.

Pada 2016 lalu, ARSA melakukan penyerangan yang menewaskan 9 polisi perbatasan Myanmar. Hal tersebut menyebabkan munculnya balasan dari militer Myanmar terhadap milisi Rohingya. Celakanya, aksi balasan militer tidak hanya menyasar milisi Rohingya, melainkan anak-anak dan perempuan yang tidak terlibat langsung dengan ARSA.

Aksi penyerangan ARSA terhadap pos polisi di akhir Agustus lalu menimbulkan ketegangan antara militer dengan etnis Rohingya. Setidaknya ada 10 wilayah yang rumah-rumah milik etnis Rohignya dibakar. Inilah yang menyebabkan puluhan bahkan ratusan ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh yang berbatasan langsung dengan Rakhine, dan ke beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia.

Apa pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tragedi yang menimpa etnis Rohingya?

Kita harus mengambil pelajaran berharga dari tragedi etnis Rohingya. Akar masalahnya adalah diskriminasi. Diskriminasi hanya melahirkan diskriminasi. Itu yang terjadi di Rakhine. Spiral diskriminasi. Yang mampu menyetop diskriminasi hanya rekonsiliasi dan rekognisi. Jika tidak, Rohingya akan mengalami diskriminasi hingga kiamat.

Di negeri ini, masih banyak kelompok mengalami diskriminasi. Bahkan diskriminasi dilakukan oleh pemerintah terhadap kelompok minoritas. Kelompok ekstrem kerap menggunakan kebijakan yang diskriminatif untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Padahal konstitusi kita memberikan mandat agar pemerintah melindungi seluruh warga. Konstitusi kita menjamin hak asasi setiap warga negara, khususnya kemerdekaan beribadah dan berkeyakinan.

Ada beberapa kasus yang masih terbengkalai dan disengaja diabaikan oleh negara. Pertama, kasus pengungsi Ahmadiyah dan penyegelan masjid-masjid mereka di sejumlah daerah. Kasus pengungsi Ahmadiyah di NTB merupakan kisah pilu. Hampir 12 tahun ratusan warga Ahmadiyah tinggal di Transito, Lombok tanpa ada solusi yang adil. Mereka diusir dari tempat tinggal. Rumah-rumah mereka dibakar. Di antara mereka ada yang tewas mengenaskan. Ironisnya, sampai sekarang pelaku kekerasan terhadap warga Ahmadiyah tidak ditindak secara tegas!

Di Depok, tidak jauh dari pusat kekuasaan, masjid Ahmadiyah disegel oleh pemerintah kota. Padahal masjid tersebut sama halnya dengan masjid-masjid yang lain, hanya digunakan untuk salat dan kegiatan pencerahan keagamaan. Di banyak tempat lainnya, masjid Ahmadiyah dibakar, dilempar batu, dan disegel.

Kedua, kasus pengungsi warga Syiah Sampang, penyerangan dan larangan berkegiatan bagi warga Syiah di sejumlah daerah. Ini kasus yang sungguh menyayat hati kita. Tapi apa dikata, sampai sekarang tidak ada solusi yang mampu memanusiakan warga Syiah. Mereka tidak bisa pulang ke kampung halaman, dan terpaksa tinggal di pengungsian.

Hingga sekarang saya masih mendapatkan informasi persekusi dan diskriminasi terhadap kalangan Syiah masih berlangsung. Bahkan ada sebuah aliansi yang menamakan dirinya sebagai gerakan anti-Syiah.

Ketiga, kasus gereja GKI Yasmin, Aceh Singkil, dan beberapa daerah lainnya. Kelompok minoritas terancam untuk sekadar beribadah. Aturan tentang pembangunan tempat ibadah sama sekali tidak mencerminkan esensi konstitusi kita yang menjamin kemerdekaan beribadah dan berkeyakinan.

Nun jauh di sana, kita juga mendapatkan masalah-masalah yang terkait dengan sulitnya pembangunan masjid, vihara, dan pura, khususnya di daerah-daerah bagi kelompok minoritas umat beragama. Intinya, kelompok mayoritas seolah-olah mempunyai lisensi untuk menindas kelompok minoritas atas nama agama dan kepentingan politik.

Sekali lagi, kita lebih beruntung dari Myanmar, karena konstitusi kita menjunjung tinggi keadilan, kesetaraan, dan kedamaian bagi setiap warganegara di bumi pertiwi ini. Tapi, harus diakui kita masih kerap melakukan diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas.

Sekali lagi, saya salut melihat sejumlah politisi yang marah dan mengecam terhadap pemerintah Myanmar atas persekusi dan diskriminasi terhadap etnis Rohignya. Tapi, saya juga kecewa karena mereka seolah-olah lupa terhadap persoalan-persoalan yang menimpa kelompok minoritas di dalam negeri --Ahmadiyah, Syiah, Kristen, dan kelompok minoritas lainnya.

Meskipun kita mempunyai konstitusi yang menjamin kemerdekaan beribadah dan berkeyakinan, namun kita masih mempunyai aturan dan kebijakan yang selalu digunakan sebagai alat untuk melakukan diskriminasi dan persekusi. Marilah kita akhiri diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Jangan sampai kita peduli pada Rohingya, tapi kita justru mengabsahkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di negeri ini. Saatnya kita belajar dari tragedi Rohingya. []

DETIK, 07 September 2017
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, Ketua Moderate Muslim Society (MMS), Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar