Kekuasaan itu Meninabobokan [Tentang Khalifah Abdul Malik dan
Al-Walid]
Oleh: Nadirsyah Hosen
Saya kisahkan sebelumnya saat Khalifah Marwan bin Hakam dibai’at menjadi khalifah, ada kesepakatan bahwa setelah
periode beliau yang akan menjadi khalifah adalah Khalid bin Yazid dan kemudian
Amr bin Sa’id al-Ash al-Ashdaq. Namun Khalifah Marwan malah menunjuk anaknya
sendiri, Abdul Malik, dan mengingkari kesepakatan itu.
Saat menunjuk Abdul Malik, Marwan juga berpesan bahwa khalifah
setelah Abdul Malik itu adalah saudara Abdul Malik sendiri, yaitu Abdul Azis.
Patuhkah Abdul Malik bin Marwan pada kesepakatan ini? Mari kita simak lanjutan
mengaji sejarah politik Islam.
Dalam juz 6 kitab Tarikh al-Rusul wal Muluk, Imam al-Thabari
menulis sub bab: “Tekad Kuat Abdul Malik bin Marwan untuk Menyingkirkan Saudaranya
Abdul Azis bin Marwan”. Abdul Malik berkuasa cukup lama (sekitar 21 tahun),
dinasti Umayyah relatif stabil di bawah kekuasaannya, apalagi beliau
menggunakan segala macam cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Abdul Malik
ingin menunjuk anaknya sebagai penggantinya, ketimbang menunjuk saudaranya
sendiri seperti diamanatkan Ayah mereka.
Rawh bin Zinba’ al-Judzami menyarankan Khalifah Abdul Malik
menyingkirkan Abdul Azis dari jalur suksesi sebagai putra mahkota (crown prince
atau waliyul ‘ahdi). Abdul Azis adalah gubernur di Mesir dan pengaruhnya sangat
kuat. Menyingkirkannya akan mengguncang stabilitas negara. Itulah sebabnya,
penasihat Khalifah Abdul Malik yang lain, Qabishah bin Dzuaib, menolak ide
menyingkirikan Abdul Azis.
Kata Qabishah kepada Khalifah Abdul Malik: “Mungkin saja
suadaramu, Abdul Azis, akan wafat lebih dulu sehingga dia tidak bisa
menggantikanmu sebagai khalifah.”
Khalifah Abdul Malik kemudian mengirim surat kepada saudaranya,
Abdul Azis, di Mesir, membujuknya untuk mundur sebagai calon khalifah, “Jika
menurutmu ini langkah yang benar untuk menyerahkan posisi khalifah kepada
keponakanmu, yaitu al-Walid, lakukanlah.” Namun Abdul Azis menolaknya.
Abdul Malik tidak putus asa. Dia kirim lagi surat, “Bagaimana
kalau anakku, al-Walid, yang menggantikanku, baru setelah itu engkau,
Saudaraku, yang akan menjadi khalifah, karena aku sangat menyayangi anakku.”
Abdul Azis menjawab surat tersebut: “Apa yang engkau lihat di
dalam anakmu, al-Walid, aku pun juga melihatnya di dalam anakku, Abu Bakar bin
Abdul Azis.”
Begitulah kalau kriteria menunjuk anak bukan atas dasar
kapabilitas dan akseptabilitas, namun atas dasar rasa sayang semata. Urusan
khilafah menjadi urusan keluarga, bukan urusan rakyat, apalagi urusan agama.
Khalifah Abdul Malik mengeluh membaca respons saudaranya, ”Ya
Allah, saudaraku telah memperburuk tali hubungan kami, aku pun akan melakukan
hal yang sama kepadanya.” Setelah itu, Sang Khalifah yang kecewa menulis surat
kepada Abdul Azis selaku gubernur Mesir, “Kirimkan pendapatan Mesir kepadaku!”
Gubernur Abdul Azis yang menyadari kemarahan kakaknya menjawab
perintah tersebut: “Wahai Amirul Mukminin, kamu dan aku telah mencapai usia
panjang dibanding leluhur kita sebelumnya. Tidak ada yang tahu siapa yang akan
wafat lebih dulu di antara kita berdua. Jika kamu berencana membuat hidupku
menderita di akhir hayat ini, lakukanlah jika itu membuatmu bahagia, tapi
sungguh aku berharap tidak demikian.”
Membaca jawaban saudaranya itu, Khalifah Abdul Malik sedikit
melunak, “Aku tidak akan membuat hidup saudaraku menderita di akhir hayatnya.”
Lantas dia bilang kepada kedua anaknya, “Kalau memang Tuhan hendak memberikan
jabatan khalifah ini kepada kalian, tidak seorang pun bisa menghalanginya.”
Suatu malam, pada tahun 85 H, Qabishah, datang menuju kamar
khalifah. Qabishah adalah satu dari sedikit pihak yang punya akses menuju kamar
pribadi Khalifah. Qabishah membangunkan Khalifah Abdul Malik, “Wahaim Amirul
Mu’minin, ada berita mengenai saudaramu.”
Abdul Malik langsung bangun dan berseru: “Apakah dia sudah
meninggal?”
Qabishah menjawab, “Iya”
Maka, Abdul Malik segera menunjuk anaknya, yaitu al-Walid, sebagai
putra mahkota, dan menunjuk adiknya, yang bernama Sulaiman, untuk urutan jalur
suksesi selanjutnya.
Suka-suka Khalifah mau menunjuk siapa! Siapa yang berani protes.
Suara rakyat? Tidak diperhitungkan sama sekali. Anak Abdul Malik yang lain,
Abdullah, ditunjuk menggantikan Abdul Azis yang baru meninggal sebagai Gubernur
Mesir. Sapu bersih kekuasaan dilakukan oleh Khalifah Abdul Malik.
Penduduk Suriah yang merupakan pendukung Khalifah Abdul Malik
menganggap wafatnya Abdul Azis itu akibat tulah dari doa khalifah yang kecewa
dan keinginannya ditolak oleh Abdul Azis. Ah, dari dulu rupanya urusan politik
ini dibawa-bawa ke jalur kuwalat. Untung enggak sampai mengajak mubahalah.
Abdul Malik meninggal setahun kemudian, di bulan Syawwal 86 H,
saat berusia sekitar 60 tahun. Dia memiliki 17 anak yang berasal dari total 10
istri dan satu budak. Empat anaknya kemudian nanti akan menjadi khalifah
penerus dinasti Umayyah.
Sekarang kita beralih kepada Khalifah al-Walid yang menggantikan
ayahnya, Abdul Malik. Imam Suyuthi melaporkan dalam kitabnya, Tarikh
al-Khulafa, bahwa al-Walid ini terlalu dimanjakan orangtuanya sehingga dia
tumbuh menjadi pemuda yang tidak memiliki etika, kesantunan, dan ilmu.
Dikabarkan bahwa al-Walid ini tidak paham tata bahasa bahasa Arab (ilmu nahwu).
Saking bodohnya, dia ini terkenal sering salah bicara.
Dia pernah bicara di atas mimbar dan berseru: Ya Ahlul Madinah.
Padahal, seharusnya harakat yang benar itu adalah: Ya Ahlal Madinah. Dia pun
salah membaca ayat karena ketidakmengertiannya soal nahwu. Al-Walid ini
terkenal sebagai penguasa yang zalim dan kejam.
Begitulah apa yang disampaikan Imam Suyuthi secara apa adanya.
Pada masanya, kekuasaan dinasti Umayyah bertambah luas dengan
ditaklukkannya kota semisal Bukhara dan Samarkand. Pada masa al-Walid ini pula
Thariq bin Ziyad menaklukkan Andalusia. Khalifah al-Walid memulai membangun
Masjid Jami’ Damaskus, meluaskan Masjid Nabawi, dan membangun kembali Masjidil
Aqsha. Pada masa al-Walid ini pula Umar bin Abdul Azis, saudara sepupunya,
diangkat menjadi Gubernur Madinah saat berusia 25 tahun.
Al-Walid berkuasa sekitar 10 tahun. Beliau wafat saat berusia
sekitar 47 tahun pada tahun 96 H. Dia meninggalkan 19 anak. Stabilitas politik
dan ekspansi militer dari masa Khalifah Abdul Malik dan al-Walid itu semua
karena dukungan dan loyalitas dari panglima perang al-Hajjaj bin Yusuf.
Di masa al-Walid dia diangkat menjadi Gubernur Irak. Al-Hajjaj ini
terkenal bengis dan kejam, termasuk tak segan membunuh sahabat Nabi dan para
ulama yang merintangi kekuasaan Dinasti Umayyah.
Al-Hajjaj punya relasi yang buruk dengan Sulaiman, adik khalifah
yang akan naik sebagai khalifah sesuai pesan ayah mereka (Abdul Malik). Itu
sebabnya Imam Thabari melaporkan betapa al-Hajjaj berharap dia wafat terlebih
dulu sebelum al-Walid agar dia tidak harus mengalami masa suram di bawah
Khalifah Sulaiman. Al-Hajjaj wafat setahun sebelum al-Walid wafat.
Pengganti al-Walid adalah Sulaiman. Ini berarti pada periode Abdul
Malik dan al-Walid, kedua khalifah ini wafat secara wajar dan tidak ada
pertumpahan darah dalam proses suksesi.
Namun demikian, Khalifah al-Walid bukan tidak punya hasrat
menyalahi kesepakatan sebelumnya. Imam al-Thabari menceritakan bagaimana
al-Walid juga berusaha menyingkirikan adiknya, Sulaiman, dan menunjuk anaknya
sendiri sebagai penggantinya.
Al-Walid ingin penggantinya adalah anaknya bernama Abdul Azis (ini
bukan Abdul Azis, pamannya, yang sudah wafat dan telah diceritakan di bagian
awal artikel ini). Namun Sulaiman menolak. Al-Walid membujuk: setelah Sulaiman,
nanti Abdul Azis yang naik. Kelihatannya modus ini sudah dipakai sejak dulu.
Tapi Sulaiman tetap menolak.
Al-Walid mengirimkan sejumlah uang, namun Sulaiman tetap menolak.
Al-Walid mulai main kayu. Dia kirim surat ke semua gubernurnya dan memberi
perintah agar memba’iat kepada Abdul Azis. Cuma al-Hajjaj dan Qutaybah yang
merespons. Gubernur yang lain tidak menjawab.
Khalifah al-Walid kehilangan kesabaran. Tahun berikutnya, dia
meminta adiknya, Sulaiman, untuk datang menghadap ke istana, lantas posisi
sebagai putra mahkota dicopot dan kemudian memaksa Sulaiman membai’at Abdul
Azis sebagai khalifah berikutnya.
Sulaiman menunda kedatangannya ke istana. Dia mencoba mengulur
waktu. Allah ternyata punya kehendak lain, al-Walid jatuh sakit dan kemudian
meninggal sebelum rencananya ini terjadi. Selamatlah Sulaiman.
Kekuasaan memang meninabobokan, bahkan sesama saudara pun
berebutan bila sudah bicara soal kekuasaan. Begitulah yang terjadi dalam
buku-buku sejarah. Kita lanjutkan lagi kisah berikutnya pada masa Khalifah
Sulaiman, insya Allah. []
GEOTIMES, 7 Juli 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar