Kesaktian Pancasila
Oleh: A. Muhaimin Iskandar
SEBAGAIMANA tahun-tahun lalu, isu kebangkitan Partai Komunis
Indonesia (PKI) menyeruak di pengujung September. Kisah-kisah dramatis seputar
pemberontakan PKI didaur ulang. Ada banyak versi dan tafsir tentang kejadian
kelam pada 1965 itu.
Versi Orde Baru melemparkan semua kesalahan kepada PKI. Versi kritis
oleh para pengamat asing menyebutkan bahwa PKI memang bersalah, tetapi kejadian
brutal dan pembunuhan-pembunuhan masal pada 1965 berlangsung karena pertikaian
sengit di tubuh Angkatan Darat yang berlomba untuk menyingkirkan Soekarno dan
mengikis ancaman merah (red menace) dalam lanskap perang dingin.
Setelah perang dingin, komunisme tinggal puing-puing sejarah yang
terkubur bersama jebolnya Tembok Berlin dan rontoknya Uni Soviet. Komunisme
tinggal gaung dari masa silam yang tersisa di negara dengan sistem politik
tertutup, tetapi ekonominya propasar seperti RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
RRT adalah contoh praktik simbiotik gabungan pasar dan negara yang dikenal
dengan istilah kapitalisme negara.
Komunisme tidak sama dengan marxisme. Jika orang selalu mengutip
Adam Smith ketika bicara tentang kesejahteraan (the wealth of nations), orang
akan mengutip Karl Marx begitu bicara isu kemiskinan (das kapital). Marxisme
adalah teori kritis terhadap kapitalisme. Mempelajari marxisme tidak sama
dengan menjadi komunis. Jika Marxisme sebagai filsafat kritis masih dipelajari
di kampus-kampus, komunisme sebagai ideologi ekonomi-politik sama sekali tidak
lagi diminati. Jargon ’’sama rata-sama rasa’’ tidak menarik bagi generasi
milenial kreatif yang orientasinya ialah mengejar kesejahteraan pribadi.
Karena itu, dalam hemat saya, isu kebangkitan PKI tidak lebih
sebagai komoditas politik yang disebarkan untuk tujuan politik. Harus diakui,
banyak pihak yang ingin memperjelas duduk perkara gerakan 1965, tetapi tidak berarti
mereka antek PKI atau anak cucu komunis. Banyak orang tidak berdosa yang
menjadi korban dalam peristiwa berdarah 1965 dan kepada merekalah alamat
permintaan maaf Gus Dur beberapa tahun silam. Kebesaran hati ini perlu
ditinjaklanjuti dengan rekonsiliasi kultural yang alamiah.
Ujung dari peristiwa Gestapu adalah penetapan 1 Oktober sebagai
hari Kesaktian Pancasila. Daripada menakuti-nakuti orang dengan hantu yang
bernama PKI, lebih baik kita waspadai bahaya nyata yang mengancam kesaktian
Pancasila.
Kesenjangan Sollen-Sein
Indonesia bersyukur mempunyai Pancasila sebagai common denominator, konsensus nasional, atau kalimatun sawa’ yang menjadi basis bagi persatuan nasional. Pancasila merupakan rumah bersama yang menaungi seluruh anak bangsa terlepas dari asal asul agama, etnis, dan golongan. Namun, Pancasila sering dipunggungi dalam praktik berbangsa dan bernegara.
Pada era Orde Lama, Pancasila diperas menjadi Trisila
(nasionalisme, demokrasi, dan ketuhanan) dan diperas lagi menjadi Ekasila,
yaitu gotong royong. Sila-sila yang lain subordinat terhadap gotong royong atau
kolektivisme yang lekat dengan komunisme. Pada era Orde Baru, penyelewengan
Pancasila terlihat dari berbagai manipulasi. Sila Keadilan Sosial diganti
dengan kapitalisme, sila Kerakyatan dengan otoritarianisme, sila Persatuan
dengan militerisme, sila Kemanusiaan dengan kekerasan politik, sila Ketuhanan
direduksi dengan kooptasi organisasi keagamaan.
Pada era reformasi, Pancasila juga belum diamalkan secara benar.
Wujud dari praktik kehidupan bangsa yang membelakangi sila Ketuhanan adalah
maraknya korupsi dan politik uang dalam pengaturan anggaran, pengaturan tender,
pembuatan peraturan perundang-undangan, pemilu dan pilkada, serta suap di
lembaga peradilan. Sila Kemanusiaan dibelokkan oleh mekanisme pasar dengan
dalih efisiensi. Nilai-nilai kemanusiaan dieksploitasi sebagai instrumen
pencitraan. Sila Persatuan terkoyak oleh individualisme dan pragmatisme. Sila
Kerakyatan/Permusyawaratan telah beralih rupa menjadi demokrasi liberal, yang
berorientasi menang-kalah. Sila Keadilan dimungkiri dengan fakta melebarnya
kesenjangan sosial.
Kue ekonomi memang membesar, tetapi kelompok penikmatnya belum
merata. Aset-aset strategis nasional memusat di segelintir orang, ditunjukkan
dengan memburuknya indeks rasio gini dari tahun ke tahun. Sektor strategis yang
menguasai hajat hidup orang banyak, misalnya pertambangan, perkebunan,
perbankan, dan telekomuniasi, didominasi asing dan swasta. Negara semakin
kehilangan kendali untuk menjadi instrumen alokasi sumber daya ekonomi yang
berkeadilan. Orang kaya semakin kaya, orang miskin dan kemiskinan menurun ke
anak cucu.
Radikalisasi Pancasila
Kesenjangan antara nilai-nilai ideal Pancasila dan kenyataan hidup berbangsa-bernegara hanya bisa diseberangi dengan melakukan radikalisasi Pancasila. Istilah tersebut pernah diperkenalkan oleh almarhum Kuntowijoyo (2001) untuk menunjuk upaya revitalisasi sila-sila dalam Pancasila agar ’’operasional’’ sebagai dasar negara, pedoman hidup, filsafat bangsa, serta ideologi yang tecermin dalam perilaku keseharian masyarakat, terutama para elite politik.
Radikalisasi Pancasila adalah pendalaman nilai-nilai Pancasila
hingga ke akar-akarnya agar menumbuhkan pohon rahmat bagi seluruh warga bangsa.
Pancasila telah lama mengalami pendangkalan sebagai jargon politik dan
’’teronggok’’ sebagai aksesori yang dipajang di dinding-dinding rumah yang bisu
di bawah burung garuda. Pancasila tidak ’’bunyi’’ sebagai pedang untuk melawan
korupsi, ketidakadilan, dan penistaan kemanusiaan oleh sistem yang didikte oleh
tirani modal. Pancasila juga tidak digdaya melawan aksi-aksi intoleransi yang
mulai berjangkit dewasa ini.
Reproduksi Pancasila sebagai ideologi verbal telah menjadikan
Pancasila tidak operasional, ibarat ’’jimat sakti’’ yang hanya disarungkan di
pinggang, tetapi tak pernah dipergunakan untuk ’’berkelahi’’ melawan
nilai-nilai dan praktik yang anti-Pancasila, apalagi dijadikan sebagai ideologi
yang merangkai pembangunan nasional.
Menggemakan kembali seruan Kuntowijoyo, radikalisasi Pancasila
tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pancasila harus dikembalikan sebagai ideologi
negara, bukan sekadar aksesori artifisial. Pancasila harus digali sebagai
landasan epistemologi yang menurunkan ilmu-ilmu tentang pembangunan yang
operasional. Seluruh produk peraturan perundang-undangan yang ada harus
konsisten dengan Pancasila.
Pengamalan antarsila juga harus koheren, yang satu bertalian
dengan yang lain. Tidak bisa memegang satu sila dengan membuang yang lain
karena pertalian antarsila Pancasila bersifat hierarkis piramidal. Pancasila
juga harus menjadi pedoman praktik hidup berbangsa-bernegara sehingga terdapat
kesatuan antara cita dengan fakta, das sollen dengan das sein. Pancasila juga
harus menjadi pelayan kepentingan masyarakat, bukan alat negara untuk menindas
masyarakat.
Dengan langkah-langkah radikalisasi Pancasila, Indonesia akan
menjadi bangsa yang bermartabat dan tidak dicemooh oleh bangsa lain akibat
tidak satunya kata dan perbuatan, cita dan fakta, idealitas dan realitas.
Inilah cara terbaik untuk mempertahankan kesaktian Pancasila. []
JAWA POS, 22 September 2017
A. Muhaimin Iskandar | Ketua umum PKB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar