Jumat, 15 September 2017

Zuhairi: Kriminalisasi Ulama di Arab Saudi



Kriminalisasi Ulama di Arab Saudi
Oleh: Zuhairi Misrawi

Krisis politik antara Arab Saudi dan Qatar tidak hanya membuat kisruh berkepenjangan di kawasan Teluk, tapi juga membuat goncangan di dalam negeri Arab Saudi. Sejumlah ulama ditangkap dan dipenjara oleh pihak kerajaan Arab Saudi. Meskipun media Arab Saudi cenderung mendiamkan peristiwa kriminalisasi ulama tersebut, tapi jagat Twitter di dunia Arab ramai membincangkannya.

Selama ini Arab Saudi dikenal sebagai surga bagi para ulama atau pendakwah yang dicekal di negaranya. Mereka eksodus dan diterima dengan lapang dada oleh Arab Saudi. Yang paling populer adalah Zakir Naik, yang divonis terlibat dalam pendanaan gerakan teroris oleh pemerintah India, tapi akhirnya mendapatkan suaka politik dari kerajaan Arab Saudi. Masih ada beberapa ulama lain yang di negerinya terlibat kasus hukum, tapi diberi tempat perlindungan oleh kerajaan Arab Saudi.

Tidak hanya ulama, Arab Saudi juga menampung sejumlah pemimpin negara yang eksodus akibat kisruh politik, seperti Ben Ali, Presiden Tunisia yang tumbang. Juga, Abd Mansour Hadi Rabbu, Presiden Yaman yang dikudeta oleh kelompok Houthi.

Namun, dalam kecamuk politik antara Arab Saudi dan Qatar berbeda. Arab Saudi justru tidak ramah terhadap para ulamanya. Padahal rezim al-Saud bisa bertahan hingga sekarang karena didukung sepenuhnya oleh para ulama yang mempunyai pandangan monolitik ala Wahabisme. Ulama adalah penyangga Dinasti al-Saud, yang didukung sepenuhnya oleh uang berlimpah dari hasil minyak.

Konflik dengan Qatar menyebabkan Arab Saudi harus mengambil langkah keras terhadap para ulama yang dianggap simpati atau netral terhadap Qatar. Sampai sekarang sudah tercatat sekitar 20 ulama yang ditangkap oleh pihak keamanan Arab Saudi. Di antaranya, Salman Awda, Awad al-Qarni, Ali al-Omari, Ibrahim al-Haritsi, Muhammad bin Abdul Aziz al-Khudhairi, Hasan Farhan al-Maliki, Gharam al-Baysyi, Muhammad al-Hibdan, termasuk juga Pangeran Abdul Aziz bin Fahd.

Ironisnya, mereka ditangkap bukan karena secara eksplisit mendukung Qatar, tapi karena mereka tidak bersuara tentang krisis politik dengan Qatar. Mereka selama ini diam, memilih untuk tidak berkomentar atas kisruh politik dengan Qatar. Harian al-Wathan berdalih bahwa publik yang mendesak agar para ulama tersebut bersuara, bukan pihak kerajaan Arab Saudi.

Dalih Harian al-Wathan tersebut tidak bisa diterima, karena akhirnya pihak keamanan melakukan penangkapan terhadap para ulama tersebut. Di sini ada yang terasa aneh. Biasanya para ulama ditangkap karena terlalu vokal mengkritik sebuah rezim. Tapi, di Arab Saudi berbeda, para ulama ditangkap karena tidak berpendapat dalam konflik dengan Qatar. Maka dari itu, banyak pihak memandang ini bukan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat (hurriyat al-ta'bir), tapi pemberangusan terhadap kebebasan untuk tidak berpendapat atau diam (hurriyat al-shamt).

Selama ini warga Arab Saudi memimpikan kebebasan berpendapat yang masih terasa mahal, berbeda dengan negara-negara Arab lainnya. Pihak kerajaan mengontrol hampir semua media. Siapapun tidak bisa mengkritisi pihak kerajaan.

Kaum muda Arab Saudi baru merasakan kebebasan berpendapat melaui media sosial, khususnya Facebook dan Twitter. Itu pun mereka tidak berani mengkritisi kebijakan kerajaan. Namun, situasinya kini tidak terbendung pasca penangkapan terhadap para ulama karena mereka dianggap tidak berani mengecam Qatar.

Bahkan laman al-Khalij al-Jadid menegaskan, Sa'ud al-Qahthani, penasihat kerajaan dan Turki al-Dakhil, Direktur stasiun televisi al-Arabiyah melakukan pembicaraan via telpon dengan para ulama di atas meminta mereka untuk mengecam Qatar. Tapi mereka menolak, dan akhirnya mereka ditangkap oleh pihak keamanan.

Konon, mereka dipidana terkait dengan kicauan di Twitter pada 2011 yang memberikan dukungan terhadap Ikhwanul Muslimin di Mesir. Tapi, ada juga yang berpendapat bahwa Salman Awda diciduk karena kicauannya yang berisi doa, Ya Tuhan pertemukanlah hati-hati mereka untuk kebaikan bangsa-bangsa mereka. Secara implisit melalui doa ini mereka meminta agar pemimpin kedua negara (Arab Saudi dan Qatar) dapat mengambil jalan damai, bukan konfrontasi apalagi konflik.

Namun, pihak kerajaan Arab Saudi memandang doa tersebut sebagai sikap netral terhadap Qatar. Pihak kerajaan berharap para ulama di atas mengecam Qatar dan mengikuti sikap keras kerajaan Arab Saudi terhadap Qatar.

Kicauan yang berisi doa oleh Salman Awda sebenarnya merespons upaya mediasi yang dilakukan oleh Donald Trump agar Arab Saudi dan Qatar melakukan komunikasi untuk mencari solusi terbaik. Awda berharap setelah komunikasi antara Syaikh Tamim bin Hamad Al-Thani dengan Pangeran Muhammad bin Salman ketegangan di antara kedua negara Teluk tersebut bisa menemukan jalan keluar dari konflik.

Rupanya pasca komunikasi kedua tokoh tersebut situasinya semakin memburuk. Arab Saudi tersinggung atas pernyataan media Qatar yang dianggap tidak mempunyai niat baik untuk memenuhi sejumlah persyaratan yang diajukan oleh Arab Saud. Yakni, meminta Qatar agar menutup jaringan televisi al-Jazeera dan al-'Araby al-Jadid, memutus hubungan diplomatik dengan Iran, membatalkan pangkalan militer Turki di Qatar, membayar uang ganti rugi atas kebijakan luar negeri Qatar yang telah mengancam negara-negara tetangga, serta memberikan informasi yang lengkap dan menyerahkan para oposisi/buronan politik yang tinggal di Qatar.

Arab Saudi tersinggung dengan pernyataan bahwa Qatar akan menjaga kedaulatan negaranya. Qatar dianggap tidak akan memenumi sejumlah persyaratan di atas. Padahal al-Jazeera sudah menegaskan bahwa komunikasi tersebut merupakan sebuah kemajuan untuk menyelesaikan konflik di antara kedua negara.

Namun, sekali lagi situasinya makin tidak menentu. Arab Saudi tetap pada pendiriannya meminta Qatar untuk memenuhi persyaratan. Sementara Qatar juga tidak mau memenuhi persyaratan yang diminta Arab Saudi. Qatar tidak mau didikte oleh Arab Saudi!

Sebagaimana dijelaskan di atas, ketegangan dengan Qatar telah membuat goncangan politik di dalam negeri Arab Saudi. Pihak kerajaan makin keras dalam memberangus pihak-pihak yang dianggap bersimpati atau mengambil sikap netral pada Qatar. Yang menjadi korbannya adalah para ulama.

Dikabarkan, bahwa sebelum dilakukan penangkapan terhadap sejumlah ulama, pemerintah Arab Saudi sudah melakukan pencekalan terhadap mereka. Mereka dilarang untuk bepergian ke luar negeri. Artinya, pihak keamanan sudah memantau aktivitas mereka terkait kisruh politik dengan Qatar.

Tentu saja peristiwa ini jika tidak diantisipasi dengan baik oleh pihak kerajaan Arab Saudi akan bisa berakibat fatal. Kriminalisasi ulama akan membangunkan macan tidur, khususnya kaum muda. Tarek Osman dalam Islamism: What it Means for the Middle East and the World menegaskan bahwa negara-negara Arab saat ini sedang menghadapi tumbuhnya kaum muda terpelajar yang ingin agar mereka mempunyai masa depan lebih baik. Mereka memimpikan kebebasan dan keadilan.

Kaum muda bisa meluapkan kemarahan dan tergerak untuk melakukan protes. Jika para ulama saja diberangus karena mereka bersikap netral atau diam, apalagi jika mereka mengambil sikap yang berseberangan dengan rezim. Kaum muda hanya menunggu giliran untuk dipersekusi. Ingat, Arab Saudi sekarang mengalami lonjakan kaum muda. Suara mereka harus didengar. Harapan mereka harus dikanalisasi. Jika tidak, bisa berakibat fatal.

Di sini letak persoalannya. Bagaimanapun, kriminalisasi ulama akan berakibat pada defisit kepercayaan terhadap rezim al-Saud. Padahal rezim ini dikenal sangat membutuhkan dukungan dari para ulama. Inikah senjakala dari Dinasti al-Saud? []

DETIK, 14 September 2017
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar