Jumat, 22 September 2017

Musdah Mulia: Memaknai Hijrah sebagai Proses Transformasi



Memaknai Hijrah sebagai Proses Transformasi
Oleh: Musdah Mulia

ISTILAH hijrah umumnya dipakai untuk pengertian meninggalkan suatu negeri yang tidak aman menuju negeri lain yang menjanjikan keselamatan dan kenyamanan, khususnya dalam menjalankan ajaran agama. Meskipun secara fisik peristiwa hijrah dikaitkan dengan aktivitas Nabi SAW dan para sahabat, bagi umat Islam masa kini tetap terbuka kesempatan melakukan hijrah. Dalam konteks ini hijrah bermakna melakukan upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi diri dan masyarakat menuju kualitas yang lebih beradab. Ragib Al-Isfahani (w 502 H/1108 M), pakar leksikografi Alquran, berpendapat istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian. Pertama, meninggalkan negeri yang penduduknya sangat tidak bersahabat menuju negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS al-Ankabut, 29:26). Ketiga, meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme, dan hedonisme menuju kesadaran kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu). Sungguh tepat hadis Nabi, "Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan segala yang dibenci Allah." (Riwayat Bukhari).

Sejumlah ayat Alquran secara tegas memotivasi orang-orang beriman agar berjuang dan berusaha meningkatkan kualitas hidup, kalau perlu berpindah lokasi mencari tempat kehidupan yang lebih baik, lebih kondusif, jangan terpaku hanya pada satu tempat. Perspektif ini mengesankan Islam sangat mengapresiasi perkembangan global yang ditandai tingginya dinamika dan mobilitas penduduk. Islam menghendaki umat yang dinamis dan progres, bukan umat yang terbelakang dan terkungkung, apalagi statis, apatis, pasif, dan pasrah menerima nasib.

Pesan penting hijrah ialah umat Islam harus berani dan mampu melakukan transformasi diri ke arah yang lebih positif dan konstruktif sehingga menjadi umat yang rahmatan lil alamin. Umat yang selalu membawa manfaat bagi semua makhluk di alam semesta, bukan membawa bencana dan berbagai kondisi destruktif.

Khalifah Umar bin Khattab ialah figur yang amat berjasa dalam penetapan awal tahun hijriah atau penanggalan tahun hijrah. Penanggalan tersebut tidak dibuat berdasarkan hari lahir Nabi Muhammad SAW, bukan pula hari wafat beliau, melainkan pada suatu peristiwa bersejarah yakni hijrah beliau dari Mekah ke Madinah (waktu itu bernama: Yasrib). Peristiwa itu terjadi pada 2 Juli 622 M bertepatan dengan 12 Rabiulawal.

Hijrah ke Madinah meski bukanlah hijrah pertama bagi umat Islam--sebelumnya sekelompok muslim melakukan hijrah ke Habasyah (Ethiopia)--peristiwa tersebut merupakan tonggak sejarah yang sangat strategis. Ia merupakan awal dari babak baru perjuangan Nabi SAW. Masa kenabian bisa dibagi atas dua babak: masa Mekah dan masa Madinah. Pada masa Mekah, Nabi mengadakan revolusi akidah atau revolusi mental. Kemusyrikan diganti dengan tauhid. Dengan tauhid manusia menentukan pilihan, Tuhanlah yang menjadi objek kecintaan dan pengabdian, bukan manusia apalagi materi. Tiga belas tahun lamanya Nabi berdakwah dan berjuang di Mekah menghadapi masa-masa berat penuh ancaman dan penderitaan.

Hijrah ke Madinah merupakan momentum perubahan dan pembebasan umat Islam dari semua belenggu diskriminasi dan kezaliman. Orang-orang muslim yang berhijrah dari Mekah disebut Muhajirin, sedangkan penduduk muslim Madinah yang menolong mereka dinamakan Anshar (kaum penolong). Hijrah Rasul ke Madinah bersama sahabatnya (laki dan perempuan) membawa perubahan signifikan dalam sejarah Islam. Ketika di Mekah umat Islam teraniaya, tertindas, diboikot, berada di bawah kuasa politik kaum musyrik Quraisy. Sebaliknya, di Madinah umat Islam menjadi pemegang kendali politik kekuasaan. Nabi SAW diangkat menjadi kepala negara dengan masyarakat yang heterogen: umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar; penganut Yahudi dan penganut paganisme.

Kota Yasrib diganti menjadi Madinat ar-Rasul (kota Rasul), lalu disingkat dengan Madinah. Kata Madinah mengandung dalam dirinya makna peradaban. Perubahan nama tersebut mencerminkan suatu komitmen kuat dari umat Islam untuk mengubah diri menjadi umat yang beradab dengan mengedepankan nilai-nilai keadaban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada masa Madinah, Nabi SAW mengadakan reformasi jemaah, reformasi sosial, kefanatikan suku diganti dengan paham kemanusiaan yang lebih luas. Kehidupan yang tak mengenal aturan diganti dengan kehidupan bermasyarakat yang diikat nilai-nilai moral dan norma-norma sosial.

Ikatan persaudaraan

Di Madinah Nabi SAW mulai menata kehidupan umat yang diikat ukhuwah atau tali persaudaraan. Menarik dicatat, Nabi SAW bukan hanya memperkenalkan ukhuwah islamiyah (persaudaraan seiman), melainkan juga ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Melalui ikatan persaudaraan kemanusiaan tersebut, Nabi SAW mengajari umatnya agar menghayati keragaman dan perbedaan di antara mereka sebagai rahmat Tuhan, bukan suatu ancaman apalagi bencana.

Dalam kondisi masyarakat Madinah yang heterogen terdapat berbagai kelompok yang satu sama lain berbeda keyakinan hidupnya, berbeda kepentingannya, berbeda cita-citanya, tetapi semuanya dipersatukan ikatan kemanusiaan, sama-sama makhluk Tuhan. Melalui peristiwa hijrah, Nabi SAW memberi teladan bagaimana membina masyarakat yang sangat majemuk, yang berbeda agamanya, Islam, Yahudi, dan bahkan kaum musyrik, juga berbeda kebangsaannya, Arab dan Yahudi. Mereka dibebani tanggung jawab yang sama, memelihara keamanan dan ketertiban bersama. Mereka diberi hak yang sama, mendapatkan kesempatan dan jaminan yang sama. Satu sama lain tidak mendominasi, satu sama lain tidak memaksakan kehendaknya.

Untuk konteks Indonesia, dengan spirit hijrah umat Islam harus menjadi contoh teladan dalam mengikis semua bentuk intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang menghancurkan peradaban manusia. Demikian pula, umat Islam harus berjuang paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme, dan semua praktik oligarki politik yang menjijikkan. Umat Islam harus menjadi pionir dalam berbagai upaya eliminasi semua bentuk perilaku diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan berbasis apa pun. Terakhir, tapi tidak kurang pentingnya, ialah umat Islam harus menjadi yang terdepan dalam upaya-upaya peningkatan sains dan teknologi demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia. Akhirnya, selamat Tahun Baru 1439 Hijriah, semoga semua manusia merasa damai sepanjang tahun. []

MEDIA INDONESIA, 22 September 2017
Musdah Mulia | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar