Memaknai
Hijrah sebagai Proses Transformasi
Oleh:
Musdah Mulia
ISTILAH
hijrah umumnya dipakai untuk pengertian meninggalkan suatu negeri yang tidak
aman menuju negeri lain yang menjanjikan keselamatan dan kenyamanan, khususnya
dalam menjalankan ajaran agama. Meskipun secara fisik peristiwa hijrah
dikaitkan dengan aktivitas Nabi SAW dan para sahabat, bagi umat Islam masa kini
tetap terbuka kesempatan melakukan hijrah. Dalam konteks ini hijrah bermakna
melakukan upaya-upaya transformasi dan rekonstruksi diri dan masyarakat menuju
kualitas yang lebih beradab. Ragib Al-Isfahani (w 502 H/1108 M), pakar
leksikografi Alquran, berpendapat istilah hijrah mengacu pada tiga pengertian.
Pertama, meninggalkan negeri yang penduduknya sangat tidak bersahabat menuju
negeri yang aman dan damai. Kedua, meninggalkan syahwat, akhlak buruk dan
dosa-dosa menuju kebaikan dan kemaslahatan (QS al-Ankabut, 29:26). Ketiga,
meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, narsisme, dan hedonisme menuju kesadaran
kemanusiaan dengan cara mujahadah an nafs (mengontrol hawa nafsu). Sungguh
tepat hadis Nabi, "Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan
segala yang dibenci Allah." (Riwayat Bukhari).
Sejumlah
ayat Alquran secara tegas memotivasi orang-orang beriman agar berjuang dan
berusaha meningkatkan kualitas hidup, kalau perlu berpindah lokasi mencari
tempat kehidupan yang lebih baik, lebih kondusif, jangan terpaku hanya pada
satu tempat. Perspektif ini mengesankan Islam sangat mengapresiasi perkembangan
global yang ditandai tingginya dinamika dan mobilitas penduduk. Islam
menghendaki umat yang dinamis dan progres, bukan umat yang terbelakang dan
terkungkung, apalagi statis, apatis, pasif, dan pasrah menerima nasib.
Pesan
penting hijrah ialah umat Islam harus berani dan mampu melakukan transformasi
diri ke arah yang lebih positif dan konstruktif sehingga menjadi umat yang
rahmatan lil alamin. Umat yang selalu membawa manfaat bagi semua makhluk di
alam semesta, bukan membawa bencana dan berbagai kondisi destruktif.
Khalifah
Umar bin Khattab ialah figur yang amat berjasa dalam penetapan awal tahun
hijriah atau penanggalan tahun hijrah. Penanggalan tersebut tidak dibuat
berdasarkan hari lahir Nabi Muhammad SAW, bukan pula hari wafat beliau,
melainkan pada suatu peristiwa bersejarah yakni hijrah beliau dari Mekah ke
Madinah (waktu itu bernama: Yasrib). Peristiwa itu terjadi pada 2 Juli 622 M
bertepatan dengan 12 Rabiulawal.
Hijrah ke
Madinah meski bukanlah hijrah pertama bagi umat Islam--sebelumnya sekelompok
muslim melakukan hijrah ke Habasyah (Ethiopia)--peristiwa tersebut merupakan
tonggak sejarah yang sangat strategis. Ia merupakan awal dari babak baru
perjuangan Nabi SAW. Masa kenabian bisa dibagi atas dua babak: masa Mekah dan
masa Madinah. Pada masa Mekah, Nabi mengadakan revolusi akidah atau revolusi
mental. Kemusyrikan diganti dengan tauhid. Dengan tauhid manusia menentukan
pilihan, Tuhanlah yang menjadi objek kecintaan dan pengabdian, bukan manusia
apalagi materi. Tiga belas tahun lamanya Nabi berdakwah dan berjuang di Mekah
menghadapi masa-masa berat penuh ancaman dan penderitaan.
Hijrah ke
Madinah merupakan momentum perubahan dan pembebasan umat Islam dari semua
belenggu diskriminasi dan kezaliman. Orang-orang muslim yang berhijrah dari
Mekah disebut Muhajirin, sedangkan penduduk muslim Madinah yang menolong mereka
dinamakan Anshar (kaum penolong). Hijrah Rasul ke Madinah bersama sahabatnya
(laki dan perempuan) membawa perubahan signifikan dalam sejarah Islam. Ketika
di Mekah umat Islam teraniaya, tertindas, diboikot, berada di bawah kuasa
politik kaum musyrik Quraisy. Sebaliknya, di Madinah umat Islam menjadi
pemegang kendali politik kekuasaan. Nabi SAW diangkat menjadi kepala negara
dengan masyarakat yang heterogen: umat Islam yang terdiri dari Muhajirin dan
Anshar; penganut Yahudi dan penganut paganisme.
Kota
Yasrib diganti menjadi Madinat ar-Rasul (kota Rasul), lalu disingkat dengan
Madinah. Kata Madinah mengandung dalam dirinya makna peradaban. Perubahan nama
tersebut mencerminkan suatu komitmen kuat dari umat Islam untuk mengubah diri
menjadi umat yang beradab dengan mengedepankan nilai-nilai keadaban dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada masa Madinah, Nabi SAW mengadakan
reformasi jemaah, reformasi sosial, kefanatikan suku diganti dengan paham
kemanusiaan yang lebih luas. Kehidupan yang tak mengenal aturan diganti dengan
kehidupan bermasyarakat yang diikat nilai-nilai moral dan norma-norma sosial.
Ikatan
persaudaraan
Di Madinah Nabi SAW mulai menata kehidupan umat yang diikat ukhuwah atau tali persaudaraan. Menarik dicatat, Nabi SAW bukan hanya memperkenalkan ukhuwah islamiyah (persaudaraan seiman), melainkan juga ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Melalui ikatan persaudaraan kemanusiaan tersebut, Nabi SAW mengajari umatnya agar menghayati keragaman dan perbedaan di antara mereka sebagai rahmat Tuhan, bukan suatu ancaman apalagi bencana.
Dalam
kondisi masyarakat Madinah yang heterogen terdapat berbagai kelompok yang satu
sama lain berbeda keyakinan hidupnya, berbeda kepentingannya, berbeda
cita-citanya, tetapi semuanya dipersatukan ikatan kemanusiaan, sama-sama
makhluk Tuhan. Melalui peristiwa hijrah, Nabi SAW memberi teladan bagaimana
membina masyarakat yang sangat majemuk, yang berbeda agamanya, Islam, Yahudi,
dan bahkan kaum musyrik, juga berbeda kebangsaannya, Arab dan Yahudi. Mereka
dibebani tanggung jawab yang sama, memelihara keamanan dan ketertiban bersama.
Mereka diberi hak yang sama, mendapatkan kesempatan dan jaminan yang sama. Satu
sama lain tidak mendominasi, satu sama lain tidak memaksakan kehendaknya.
Untuk
konteks Indonesia, dengan spirit hijrah umat Islam harus menjadi contoh teladan
dalam mengikis semua bentuk intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang
menghancurkan peradaban manusia. Demikian pula, umat Islam harus berjuang
paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme, dan semua
praktik oligarki politik yang menjijikkan. Umat Islam harus menjadi pionir
dalam berbagai upaya eliminasi semua bentuk perilaku diskriminasi, eksploitasi,
dan kekerasan berbasis apa pun. Terakhir, tapi tidak kurang pentingnya, ialah
umat Islam harus menjadi yang terdepan dalam upaya-upaya peningkatan sains dan
teknologi demi kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia. Akhirnya,
selamat Tahun Baru 1439 Hijriah, semoga semua manusia merasa damai sepanjang
tahun. []
MEDIA
INDONESIA, 22 September 2017
Musdah
Mulia | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar