Tafsir Darul Islam
Menurut NU
Dalam gerak dan
pikirnya, para kiai dan santri mampu mensinergikan antara agama dan
nasionalisme, terutama ketika KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947)
memfatwakan bahwa agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Mereka adalah dua
entitas yang dapat saling memperkuat bangunan kebangsaan dan kenegaraan apapun
perbedaan suku, agama, dan ras.
Kiai Hasyim Asy’ari
menyadari betul bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam identitas
kemajemukan. Kekayaan tradisi menguatkan identitas keindonesiaan, sedangkan
kemajemukan agama dapat memperkuat bangunan nasionalisme dengan tetap berpegang
teguh pada nilai-nilai agama yang universal.
Sejak era pergerakan
nasional, bangsa Indonesia dihadapkan oleh sejumlah kelompok yang begitu
menonjolkan agamanya untuk membangun negara seperti yang mereka inginkan tanpa
menyadari pluralitas dan kebhinnekaan Indonesia. Sebut saja DI/TII gawangan
S.M. Kartosoewirjo yang hendak mendirikan Darul Islam (DI) di wilayah Indonesia
tepatnya dimulai pada tahun 1942.
Padahal enam tahun
sebelum wacana pendirian DI oleh Kartosoerwijo itu, Nahdlatul Ulama (NU)
melalui Muktamar ke-11 tahun 1936 di Kota Banjarmasin telah mendefinisikan
Darul Islam secara logis dan brilian. Dalam Muktamar ke-11 itu, NU memang
dengan tegas memutuskan bahwa Indonesia merupakan Darul Islam.
Namun demikian, Darul
Islam yang dirumuskan NU bukan rancangan memabngun negara teokrasi, bukan pula
Islam sebagai agama hendak diformalisasikan ke dalam sistem negara. Tetapi,
konteks Darul Islam yang dimaksudkan NU ialah wilayah Islam, bahwa Indonesia
saat itu masih terjajah sehingga melawan penjajah merupakan kewajiban setiap
Muslim, atau dengan kata lain berjihad melawan penjajah adalah kewajiban agama.
Definisi tersebut
berdasarkan tafsir yang dijelaskan oleh ulama kharismatik NU, KH Achmad Siddiq
(1926-1991) yang memberikan penafsiran hasil Muktamar NU tahun 1936 terkait
keputusan Darul Islam. Kiai asal Jember tersebut menerangkan, kata Darul Islam
dalam Muktamar tersebut bukanlah merujuk pada istilah tatanan politik
kenegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan yang lebih tepat diartikan
sebagai Wilayatul Islam atau wilayah Islam (Piagam Kebangsaan, 2011).
Dari langkah para
kiai NU tersebut, jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, NU
telah mengambil sikap tegas bahwa Indonesia merupakan wilayah Islam yang sedang
dikooptasi, dijajah, dan dikuasai oleh kolonial. Maka, berjihad melawan
penjajah merupakan kewajiban dan panggilan agama.
Gerak pikir dan
langkah brilian para kiai NU tersebut menunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak
sebatas menegakkan simbol agama untuk kepentingan kelompok, tetapi meneguhkan
nilai-nilai agama sebagai spirit perjuangan mengusir dan melawan penjajah
sehingga akhirnya Indonesia pun merdeka atas jihad substansial umat Islam dan
seluruh rakyat Indonesia kala itu.
Hal ini sangat
berbanding terbalik dengan sebagian kelompok yang justru dengan simbol-simbol agama
yang seolah gagah ingin mendirikan daulah Islamiyah dengan merontokkan
sendi-sendi bangunan persatuan dan kesatuan Indonesia yang diikat kuat oleh
hasil jeri payah para pendiri bangsa dengan menancapkan falsafah agung
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai perekat kehidupan berbangsa dan
bernegara berdasarkan spirit nilai-nilai keagamaan sebagai pondasi moral.
Memperhatikan
poin-poin penting di atas, memahami Islam atau agama secara umum sebagai simbol
hanya akan menyempitkan pandangan universalitas agama itu sendiri. Sebaliknya,
menyerap setiap nilai-nilai yang terkandung dalam perjuangan dan rumusan
falsafah yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa akan menyadarkan hati dan
pikiran bahwa betapa nilai-nilai agama atau ke-Tuhanan menjadi spirit persatuan
dalam perjuangan merebut kemerdekaan. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar