Merawat
Kebinekaan dan Islam Rahmatan lil Alamin
Oleh: A.
Muhaimin Iskandar
Sejak
awal, Islam menyediakan ruang kompromi yang lapang bagi gagasan negara
kebangsaan. Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dalam Sidang BPUPKI 18 Agustus
1945 merupakan bukti bahwa para tokoh Islam menghormati konsep negara bangsa
yang bineka. Banyak contoh sejarah yang membuktikan bahwa secara umum Islam
tidak pernah merasa terancam oleh negara bangsa, NKRI dan Pancasila.
Jika
Islam telah menjadi bagian dari yang melahirkan negara bangsa ini, tentu ia
juga sanggup menjadi bagian yang merawat dan membesarkannya. Bagaimana Islam
bisa efektif merawat bangsa, kebangsaan, dan mengelola kebinekaannya? Konsep
seperti apa yang kita tawarkan agar Islam bisa menjadi bagian dari solusi,
bukan semata spiritual, tetapi juga duniawi?
Mengelola
Kebinekaan
Mengelola kebinekaan adalah mengelola perbedaan dan keragaman dalam situasi yang aktual, situasi nyata kekinian. Tidak ada resep tunggal untuk keberhasilannya mengingat negara dan masyarakat merupakan sesuatu yang tak bisa diam, terus bergerak. Namun, ada prasyarat dasar yang harus dipenuhi agar semangat kebangsaan dan penerimaan terhadap keragaman bisa terjaga. Prasyarat itu bernama keadilan sosial dan tegaknya hukum.
Ketimpangan
ekonomi dan kesenjangan sosial yang masih kasatmata terlihat dan dirasakan bisa
menjadi tanah subur bagi gagasan-gagasan anti kebinekaan. Mahatma Gandhi,
pejuang anti kolonialisme di India, berujar: There are people in this world
that is so hungry that God cannot appear to them except in the form of bread.
Jika penerimaan terhadap eksistensi Tuhan saja bisa kuat dipengaruhi situasi
hidup seseorang, apalagi penerimaan terhadap keberagaman manusia lain.
Kebinekaan sebagai konsep adalah universal. Namun, kebinekaan sebagai tindakan
sepenuhnya situasional dan bahkan individual.
Angka
ketimpangan di Indonesia versi BPS adalah 0,393. Itu cukup tinggi, Menurut
ekonom Faisal Basri, angka ketimpangan tersebut bakal lebih tinggi jika yang
diukur adalah ketimpangan pendapatan kaya-miskin, bukan hanya ketimpangan
pengeluaran. Berdasar data dari Credit Suisse, lembaga keuangan Swiss, tiap 1
persen orang kaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, terburuk
keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.
Kemarahan
akibat eksploitasi, pengabaian, rasa ketidakadilan yang tercabik, kehilangan
harapan bagi keluarga, dan kemiskinan akan mencari kanalnya. Radikalisme
menjadi tawaran yang menawan saat surga di bumi sudah mustahil didapatkan.
Maka,
efektivitas mengelola keberagaman berkejar-kejaran dengan kesuksesan memberikan
keadilan sosial dan keadilan hukum. Mencari strategi mengelola kebinekaan tanpa
mencari jawaban bagi keadilan sosial dan hukum adalah nyaris sia-sia dan
mubazir.
Islam
Rahmatan lil Alamin
Alquran menuliskan: ’’Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam’’ (QS: Al Anbiya, ayat 107). Itulah janji Tuhan dan itulah sebaik-baik konsep Islam politik dan ekonomi yang perlu dikembangkan. Semacam jembatan yang mempertemukan konsep religi dan kebangsaan.
Bagaimana
sejatinya karakter politik rahmatan lil alamin dalam praktik konkret? Pertama,
kita akan selalu melihat seluruh persolan melalui metode yang disebut
al-tawassuth yang berarti moderat, tidak ekstrem liberalis-kiri atau
fundamentalis-kanan. Prinsip kedua adalah at-tawazzun yang berarti seimbang
dalam penerapan kaidah, teks, rasio, dan realitas. Dengan prinsip tersebut,
dalam bidang politik, misalnya, sepanjang penyelenggaraan pemerintahan berjalan
sesuai dengan konstitusi, kita harus mendukungnya.
Sementara
itu, prinsip ketiga dan keempat adalah al-i’tidal dan at-tasamuh. Al-i’tidal
berarti tegak lurus dan tidak mudah terprovokasi, sedangkan at-tasamuh bermakna
menjunjung tinggi sikap toleran. Peneguhan Islam rahmatan lil alamin dalam
implementasinya selalu didasarkan setidaknya melalui empat prinsip tersebut.
Tafsir
rahmatan lil alamin dalam alam kekinian adalah tafsir teologis, sosiologis,
konstitusional, dan sekaligus historis. Dalam rangka perwujudan keadilan sosial
dan ekonomi, pasal 33 UUD 1945 –sebagai dasar konstitusional penyelenggaraan
ekonomi kita– wajib diakomodasi menjadi bagian prinsipiil, bukan komplementer,
dalam menerjemahkan ekonomi yang rahmatan lil alamin.
Pasal 33
menegaskan pentingnya peran negara dalam mengelola hal yang berhubungan dengan
hajat hidup orang banyak. Namun, di sisi lain, sektor-sektor yang bersifat
pendukung/pelengkap dapat diserahkan kepada pihak swasta. Itu sejalan dengan
salah satu prinsip dalam praktik politik rahmatan lil alamin, yaitu moderat dan
tidak berlebih-lebihan.
Semangat
mengelola ekonomi sebagai usaha bersama pun dapat dinilai sebagai upaya menjaga
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Individualisme
dan kolektivisme. Pribadi dan komunitas. Usaha-usaha ekonomi harus bisa
memberikan keuntungan pribadi tanpa mengambil yang bukan hak dan merugikan
manusia lain.
Islam
rahmatan lil alamin tidak cukup lagi hanya menjadi sekumpulan value yang lembut
dan penuh belas kasih. Politik ini perlu dilengkapi ’’perangkat keras (hardware)’’
yang bersifat operasional dan praktis sehingga bisa diturunkan menjadi
kebijakan dan program partai atau organisasi apa pun yang meyakininya
(software). Ia harus menjadi sesuatu yang membumi, bukan hanya karena soal
keimanan.
Tapi
terutama karena politik ini mampu memberikan solusi dan menumbuhkan harapan.
Lagi pula, siapa lagi yang paling membutuhkan rahmat dan berkah jika bukan
mereka yang hidupnya miskin dan kekurangan?
Karena
itu, dalam praktik, politik rahmatan lil alamin adalah politik yang moderat,
seimbang (proporsional), tenang, dan toleran. Dalam alam Indonesia yang beragam
dan riuh rendah ini, praktik rahmatan lil alamin menjadikan politik terasa
lebih manusiawi, hangat, nyaman, dan ramah. Bergembira dalam perbedaan.
Bersahabat dalam kecukupan hidup. []
JAWA POS,
12 September 2017
A.
Muhaimin Iskandar | Ketua Umum DPP PKB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar