Rabu, 20 September 2017

Nasaruddin Umar: Antara Kalender Hijriah dan Miladiah



Antara Kalender Hijriah dan Miladiah
Oleh: Nasaruddin Umar

KALENDER Hijriah (H) memiliki keunikan sendiri sebagaimana halnya kalender Miladiah atau Masehi (M). Kalender H menggunakan perhitungan bulan, sedangkan kalender M menggunakan perhitungan matahari. Kalender H lebih mudah. Kalender Hijriah setiap tahunnya lebih 11 hari daripada kalender Miladiah sehingga selisih angka tahun dari kedua kalender itu semakin mengecil.

Angka tahun Hijriah pelan-pelan ‘mengejar’ angka tahun Masehi. Diperkirakan, keduanya akan bertemu pada 20526 M, bertepatan 20526 H. Itu mengisyaratkan bahwa ketepatan kalender Hijriah sama dengan ketepatan kalender Miladiah.

Kalender M dihubungkan dengan kelahiran Nabi Isa atau Yesus Kristus menurut keyakinan umat kristiani. Antara keduanya terpaut 580 tahun. Sebentar lagi kita akan memperingati Tahun Baru Hijriah ke-1439 dan tiga bulan lagi kita akan memperingati Tahun Baru Miladiah ke-2018.

Peresmian kalender Islam 1 Muharam 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Penggunaan tahun baru Hijriah ditetapkan melalui keputusan Khalifah Umar yang ditandai dengan keluarnya Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Jerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi pada tahun ke-17 H (638 M).

Pemilihan nama-nama bulan lebih dihubungkan dengan kondisi objektif dunia Arab ketika itu. Misalnya, disebut Muharam karena pada bulan itu semua suku atau kabilah di Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan perang. Pada Oktober, daun-daun menguning sehingga dinamai Safar (shafar, ‘kuning’). November dan Desember pada musim gugur (rabi’) berturut-turut dinamai Rabiulawal (Rabi’ul Awwal) dan rabiulakhir (Rabi’ul Akhir).

Januari dan Februari ialah musim dingin (jumad atau ‘beku’) sehingga dinamai Jumadilawal-Jumadilakhir (Jumadil Awwal-Jumadil Akhir). Salju mulai mencair (Rajab) pada Maret. Datanglah musim semi pada April dinamai Syakban (syi’ib = lembah) karena pada saat ini, saatnya turun ke lembah-lembah untuk mengolah pertanian atau menggembala ternak. Pada Mei, suhu mulai membakar kulit lalu suhu meningkat pada Juni, inilah Ramadan (‘pembakaran’) dan Syawal (syawwal, ‘peningkatan’).

Juli merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di rumah daripada bepergian sehingga bulan itu dinamai Zulkaidah (Dzul’Qa’dah/qa’id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai Zulhijah (Dzul-Hijjah) sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang mereka, Nabi Ibrahim.

Kedua sistem penanggalan itu masing-masing memiliki keunggulan karena bulan dan matahari yang dijadikan patokan sama-sama ciptaan Tuhan yang begitu setia mengikuti perintah-Nya, tidak pernah bergeser mengalami kemajuan atau keterlambatan barang sedikit pun sepanjang dunia Bimasakti atau biasa disebut milky way masih normal. Itu sejalan dengan apa yang ditegaskan di dalam QS al-Isra’/17:12 dan QS Yasin/36:38-40.

Sebelum penetapan kalender H bangsa Arab menggunakan sistem penanggalan lunisolar dan tahunnya dihubungkan dengan peristiwa terpenting dalam tahun itu. Misalnya Nabi Muhammad dilahirkan pada Senin, 12 Rabiulawal Tahun Gajah karena dalam tahun itu peristiwa memilukan hati dengan hancurnya pasukan bergajah yang dipimpin Raja Abrahah dari Yaman.

Tahun-tahun berikutnya dicari lagi peristiwa penting yang terjadi di kawasan jazirah Arab yang bernilai penting. Sampai pada masa Rasulullah SAW, para sahabat sering menggunakan momentum itu sebagai penanda tahun, misalnya kejadian Bai’atul ’Aqabah pertama terjadi pada Zulhijah tahun ke-11 dari kenabian, Bai’atul ’Aqabah kedua (kubra) terjadi dalam Zulhijah tahun ke-14 dari kenabian.

Sahabat lain secara tradisional masih menggunakan penanggalan tradisi Arab. Ketika dunia Islam semakin meluas sampai keluar dari jazirah Arab, terutama pada zaman pemerintahan Khalifah Umar (635-645 M) yang meluas sampai ke Mesir, Persia, dan berbagai wilayah di luar Arab lainnya.

Adalah Khalifah Umar mulai menertibkan administrasi pemerintahan dengan mengangkat beberapa sahabat untuk menjadi gubernur, di antaranya Muawiyyah diangkat menjadi gubernur di Syiria, termasuk wilayahnya ialah Yordania. Amru bin Ash diangkat menjadi Gubernur Mesir. Musa Al-As’ari diangkat menjadi Gubernur Kuffah. Mu’adz bin Jabal diangkat menjadi Gubernur Yaman. Abu Hurairah diangkat menjadi Gubernur Bahrain.

Dalam mengatur pemerintahan, timbul berbagai persoalan, termasuk di antaranya sistem penanggalan yang tidak seragam. Dalam tahun ke-5 pemerintahan Khalifah Umar, beliau mendapat surat dari Musa Al-Asy’ari Gubernur Kuffah, salah satu yang dipersoalkan ialah sistem kalender pemerintahan. Ia kemudian mengumpulkan para sahabat yang berada di Madinah untuk menyepakati sistem penanggalan pemerintahan. Dalam musyawarah tersebut dibicarakan rencana akan membuat tarikh atau kalender Islam. Dalam musyawarah itu muncul berbagai usul tentang momentum yang akan digunakan sebagai penanggalan H.

Setidaknya ada lima usul yang muncul dalam musyawarah itu, yaitu 1) momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW (‘Aam al-Fill, 571 M), 2) momentum pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul (‘Aam al-Bi’tsah, 610 M), 3) momentum Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW, 4) momentum wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan 5) momentum hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah atau pisahnya ‘Negeri Syirik’ ke ‘Negeri Mukmin’.

Pada waktu itu, Mekah dinamakan ‘Negeri Syirik’ atau ‘Bumi Syirik’. Pendapat terakhir itu diusulkan Ali ibn Abi Thalib. Akhirnya musyawarah yang dipimpin Amirul Mukminin Umar Ibn Khatthab sepakat memilih momentum yang dijadikan awal kalender Islam ialah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Momentum itulah yang menjadi cikal bakal ka­lender Islam. []

MEDIA INDONESIA, 20 September 2017
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar