Antara
Kalender Hijriah dan Miladiah
Oleh:
Nasaruddin Umar
KALENDER
Hijriah (H) memiliki keunikan sendiri sebagaimana halnya kalender Miladiah atau
Masehi (M). Kalender H menggunakan perhitungan bulan, sedangkan kalender M
menggunakan perhitungan matahari. Kalender H lebih mudah. Kalender Hijriah
setiap tahunnya lebih 11 hari daripada kalender Miladiah sehingga selisih angka
tahun dari kedua kalender itu semakin mengecil.
Angka
tahun Hijriah pelan-pelan ‘mengejar’ angka tahun Masehi. Diperkirakan, keduanya
akan bertemu pada 20526 M, bertepatan 20526 H. Itu mengisyaratkan bahwa
ketepatan kalender Hijriah sama dengan ketepatan kalender Miladiah.
Kalender
M dihubungkan dengan kelahiran Nabi Isa atau Yesus Kristus menurut keyakinan
umat kristiani. Antara keduanya terpaut 580 tahun. Sebentar lagi kita akan memperingati
Tahun Baru Hijriah ke-1439 dan tiga bulan lagi kita akan memperingati Tahun
Baru Miladiah ke-2018.
Peresmian
kalender Islam 1 Muharam 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Penggunaan tahun
baru Hijriah ditetapkan melalui keputusan Khalifah Umar yang ditandai dengan
keluarnya Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar kepada
seluruh penduduk Kota Aelia (Jerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam
dari penjajahan Romawi pada tahun ke-17 H (638 M).
Pemilihan
nama-nama bulan lebih dihubungkan dengan kondisi objektif dunia Arab ketika
itu. Misalnya, disebut Muharam karena pada bulan itu semua suku atau kabilah di
Semenanjung Arabia sepakat untuk mengharamkan perang. Pada Oktober, daun-daun
menguning sehingga dinamai Safar (shafar, ‘kuning’). November dan Desember pada
musim gugur (rabi’) berturut-turut dinamai Rabiulawal (Rabi’ul Awwal) dan
rabiulakhir (Rabi’ul Akhir).
Januari
dan Februari ialah musim dingin (jumad atau ‘beku’) sehingga dinamai
Jumadilawal-Jumadilakhir (Jumadil Awwal-Jumadil Akhir). Salju mulai mencair
(Rajab) pada Maret. Datanglah musim semi pada April dinamai Syakban (syi’ib =
lembah) karena pada saat ini, saatnya turun ke lembah-lembah untuk mengolah
pertanian atau menggembala ternak. Pada Mei, suhu mulai membakar kulit lalu
suhu meningkat pada Juni, inilah Ramadan (‘pembakaran’) dan Syawal (syawwal,
‘peningkatan’).
Juli
merupakan puncak musim panas yang membuat orang lebih senang istirahat duduk di
rumah daripada bepergian sehingga bulan itu dinamai Zulkaidah
(Dzul’Qa’dah/qa’id = duduk). Akhirnya, Agustus dinamai Zulhijah (Dzul-Hijjah)
sebab pada bulan itu masyarakat Arab menunaikan ibadah haji ajaran nenek moyang
mereka, Nabi Ibrahim.
Kedua
sistem penanggalan itu masing-masing memiliki keunggulan karena bulan dan
matahari yang dijadikan patokan sama-sama ciptaan Tuhan yang begitu setia
mengikuti perintah-Nya, tidak pernah bergeser mengalami kemajuan atau
keterlambatan barang sedikit pun sepanjang dunia Bimasakti atau biasa disebut
milky way masih normal. Itu sejalan dengan apa yang ditegaskan di dalam QS
al-Isra’/17:12 dan QS Yasin/36:38-40.
Sebelum
penetapan kalender H bangsa Arab menggunakan sistem penanggalan lunisolar dan
tahunnya dihubungkan dengan peristiwa terpenting dalam tahun itu. Misalnya Nabi
Muhammad dilahirkan pada Senin, 12 Rabiulawal Tahun Gajah karena dalam tahun
itu peristiwa memilukan hati dengan hancurnya pasukan bergajah yang dipimpin
Raja Abrahah dari Yaman.
Tahun-tahun
berikutnya dicari lagi peristiwa penting yang terjadi di kawasan jazirah Arab
yang bernilai penting. Sampai pada masa Rasulullah SAW, para sahabat sering
menggunakan momentum itu sebagai penanda tahun, misalnya kejadian Bai’atul
’Aqabah pertama terjadi pada Zulhijah tahun ke-11 dari kenabian, Bai’atul
’Aqabah kedua (kubra) terjadi dalam Zulhijah tahun ke-14 dari kenabian.
Sahabat
lain secara tradisional masih menggunakan penanggalan tradisi Arab. Ketika
dunia Islam semakin meluas sampai keluar dari jazirah Arab, terutama pada zaman
pemerintahan Khalifah Umar (635-645 M) yang meluas sampai ke Mesir, Persia, dan
berbagai wilayah di luar Arab lainnya.
Adalah
Khalifah Umar mulai menertibkan administrasi pemerintahan dengan mengangkat
beberapa sahabat untuk menjadi gubernur, di antaranya Muawiyyah diangkat
menjadi gubernur di Syiria, termasuk wilayahnya ialah Yordania. Amru bin Ash
diangkat menjadi Gubernur Mesir. Musa Al-As’ari diangkat menjadi Gubernur
Kuffah. Mu’adz bin Jabal diangkat menjadi Gubernur Yaman. Abu Hurairah diangkat
menjadi Gubernur Bahrain.
Dalam
mengatur pemerintahan, timbul berbagai persoalan, termasuk di antaranya sistem
penanggalan yang tidak seragam. Dalam tahun ke-5 pemerintahan Khalifah Umar,
beliau mendapat surat dari Musa Al-Asy’ari Gubernur Kuffah, salah satu yang
dipersoalkan ialah sistem kalender pemerintahan. Ia kemudian mengumpulkan para
sahabat yang berada di Madinah untuk menyepakati sistem penanggalan
pemerintahan. Dalam musyawarah tersebut dibicarakan rencana akan membuat tarikh
atau kalender Islam. Dalam musyawarah itu muncul berbagai usul tentang momentum
yang akan digunakan sebagai penanggalan H.
Setidaknya
ada lima usul yang muncul dalam musyawarah itu, yaitu 1) momentum kelahiran
Nabi Muhammad SAW (‘Aam al-Fill, 571 M), 2) momentum pengangkatan Nabi Muhammad
SAW sebagai rasul (‘Aam al-Bi’tsah, 610 M), 3) momentum Isra Mikraj Nabi
Muhammad SAW, 4) momentum wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan 5) momentum hijrahnya
Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah atau pisahnya ‘Negeri Syirik’ ke
‘Negeri Mukmin’.
Pada
waktu itu, Mekah dinamakan ‘Negeri Syirik’ atau ‘Bumi Syirik’. Pendapat
terakhir itu diusulkan Ali ibn Abi Thalib. Akhirnya musyawarah yang dipimpin
Amirul Mukminin Umar Ibn Khatthab sepakat memilih momentum yang dijadikan awal
kalender Islam ialah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah.
Momentum itulah yang menjadi cikal bakal kalender Islam. []
MEDIA
INDONESIA, 20 September 2017
Nasaruddin
Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar