Memaknai
Tahun Baru Hijriah
Oleh: Nasaruddin
Umar
TAHUN
Baru Hijriah kembali akan kita peringati. Hijrah secara harfiah berarti pindah.
Hijrah menjadi populer karena dipilih sebagai penanggalan dalam dunia Islam.
Asal-usul hijrah diambil dari momentum perpindahan Nabi dari Mekah ke Yatsrib lalu
diubah menjadi Madinah. Dipilihnya peristiwa hijrah sebagai momentum
penanggalan Islam karena beberapa pertimbangan, antara lain: dalam Alquran
sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru),
masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah ke Madinah,
dan umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriah,
yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah
kepada kondisi yang lebih baik daripada sebelumnya.
Tanggal 1
Muharram 1 Hijriah bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Penetapan Tahun Baru
Hijriah ini ditetapkan langsung oleh keluarnya keputusan Khalifah Umar yang
ditandai dengan keluarnya Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari
Khalifah Umar kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Yerusalem) yang baru saja
dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi pada tahun ke-17 H (638 M).
Makna
hijrah Nabi tidak identik dengan perjalanan 'eksodus' yang mengisyaratkan
kekalahan dan kepasrahan. Hijrah dalam Islam tidak semata-mata berkonotasi
mobilitas dan transformasi fisik dari satu tempat ke tempat yang lain. Hijrah
juga bisa berkonotasi nonfisik, yaitu bertransformasi dari keadaan buruk ke
keadaan yang lebih baik, atau dari zona tidak aman dan tidak nyaman ke zona
yang lebih aman dan nyaman.
Spirit
dan semangat hijrah Nabi sesungguhnya lebih tepat diartikan dalam pengertian
terakhir. Hal ini bisa difahami dari hadis Nabi melalui riwayat Saleh ibn
Basyir ibn Fudaik yang menceritakan suatu ketika Fudaik mendatangi Nabi dan
mengatakan, "Ya Rasulallah, mereka mengira bahwa mereka yang tidak hijrah
akan celaka."
Nabi
menjawab, "Wahai Fudaik, dirikanlah salat, keluarkanlah zakat, jauhi
kejahatan, dan tinggallah bersama kaummu sesuka hatimu. Dengan cara demikian
sesungguhnya Anda telah berhijrah."
Semangat
hijrah sesungguhnya ialah penciptaan kondisi yang lebih kondusif untuk
menjalankan fungsi dan kapasitas kita sebagai hamba dan khalifah di bumi. Jika
di dalam suatu tempat tidak bisa atau sulit mewujudkan kedua fungsi dan peran
yang diamanahkan Tuhan itu, di situ ada tantangan untuk hijrah. Akan tetapi,
jika tantangan itu tidak muncul, tidak ada keharusan untuk hijrah.
Hijrahnya
Nabi dan sekelompok sahabatnya ke Madinah bukan berarti pengecut, pergi ke
Madinah meninggalkan umatnya di Mekah untuk mencari selamat. Hijrah bisa
dimaknai mundur selangkah untuk mencapai kemenangan. Kenyataannya, di Madina
Nabi berhasil membangun konsolidasi umat yang pada saatnya kembali merebut Kota
Mekah dengan sangat mencengangkan. Bagaimana mungkin revolusi besar terjadi
tanpa setetes darah, itulah Fathu
Makkah.
Penanggalan
Islam dipilih konteks hijrah Nabi, bukan milad yang sekaligus tahun kematian
Nabi, bukan pula momentum turunnnya Alquran yang sekaligus pelantikannya
sebagai Nabi dan Rasul. Ini membawa hikmah lebih besar bahwa konsep dan spirit
hijrah sarat berisi pesan kemanusiaan. Bila di suatu tempat kemerdekaan beriman
dan berekspresi sulit berkembang, dimungkinkan untuk hijrah.
Namun,
tidak mesti harus hijrah fisik, tetapi bisa tetap di tempat fisik, namun
suasana batin dan jalan pikiran yang harus berubah. Bagaimana
mentransformasikan diri dari suatu kondisi yang tidak kondusif mengembangkan
ekspresi keberimanan kita lalu hijrah ke kondisi lain yang lebih kondusif untuk
hal tersebut. Dengan demikian, hijrah harus dianggap sebagai sesuatu yang
berlangsung terus-menerus untuk sampai ke tarah yang lebih ideal sebagai hamba
dan sebagai khalifah. Allahu
a'lam. []
MEDIA
INDONESIA, 15 September 2017
Prof Dr
KH Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar