Senin, 18 September 2017

Nasaruddin Umar: Memaknai Tahun Baru Hijriah



Memaknai Tahun Baru Hijriah
Oleh: Nasaruddin Umar

TAHUN Baru Hijriah kembali akan kita peringati. Hijrah secara harfiah berarti pindah. Hijrah menjadi populer karena dipilih sebagai penanggalan dalam dunia Islam. Asal-usul hijrah diambil dari momentum perpindahan Nabi dari Mekah ke Yatsrib lalu diubah menjadi Madinah. Dipilihnya peristiwa hijrah sebagai momentum penanggalan Islam karena beberapa pertimbangan, antara lain: dalam Alquran sangat banyak penghargaan Allah bagi orang-orang yang berhijrah (al-ladzina hajaru), masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terwujud setelah ke Madinah, dan umat Islam sepanjang zaman diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, yaitu jiwa dinamis yang tidak terpaku pada suatu keadaan dan ingin berhijrah kepada kondisi yang lebih baik daripada sebelumnya.

Tanggal 1 Muharram 1 Hijriah bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Penetapan Tahun Baru Hijriah ini ditetapkan langsung oleh keluarnya keputusan Khalifah Umar yang ditandai dengan keluarnya Maklumat Keamanan dan Kebebasan Beragama dari Khalifah Umar kepada seluruh penduduk Kota Aelia (Yerusalem) yang baru saja dibebaskan laskar Islam dari penjajahan Romawi pada tahun ke-17 H (638 M).

Makna hijrah Nabi tidak identik dengan perjalanan 'eksodus' yang mengisyaratkan kekalahan dan kepasrahan. Hijrah dalam Islam tidak semata-mata berkonotasi mobilitas dan transformasi fisik dari satu tempat ke tempat yang lain. Hijrah juga bisa berkonotasi nonfisik, yaitu bertransformasi dari keadaan buruk ke keadaan yang lebih baik, atau dari zona tidak aman dan tidak nyaman ke zona yang lebih aman dan nyaman.

Spirit dan semangat hijrah Nabi sesungguhnya lebih tepat diartikan dalam pengertian terakhir. Hal ini bisa difahami dari hadis Nabi melalui riwayat Saleh ibn Basyir ibn Fudaik yang menceritakan suatu ketika Fudaik mendatangi Nabi dan mengatakan, "Ya Rasulallah, mereka mengira bahwa mereka yang tidak hijrah akan celaka."

Nabi menjawab, "Wahai Fudaik, dirikanlah salat, keluarkanlah zakat, jauhi kejahatan, dan tinggallah bersama kaummu sesuka hatimu. Dengan cara demikian sesungguhnya Anda telah berhijrah."

Semangat hijrah sesungguhnya ialah penciptaan kondisi yang lebih kondusif untuk menjalankan fungsi dan kapasitas kita sebagai hamba dan khalifah di bumi. Jika di dalam suatu tempat tidak bisa atau sulit mewujudkan kedua fungsi dan peran yang diamanahkan Tuhan itu, di situ ada tantangan untuk hijrah. Akan tetapi, jika tantangan itu tidak muncul, tidak ada keharusan untuk hijrah.

Hijrahnya Nabi dan sekelompok sahabatnya ke Madinah bukan berarti pengecut, pergi ke Madinah meninggalkan umatnya di Mekah untuk mencari selamat. Hijrah bisa dimaknai mundur selangkah untuk mencapai kemenangan. Kenyataannya, di Madina Nabi berhasil membangun konsolidasi umat yang pada saatnya kembali merebut Kota Mekah dengan sangat mencengangkan. Bagaimana mungkin revolusi besar terjadi tanpa setetes darah, itulah Fathu Makkah.

Penanggalan Islam dipilih konteks hijrah Nabi, bukan milad yang sekaligus tahun kematian Nabi, bukan pula momentum turunnnya Alquran yang sekaligus pelantikannya sebagai Nabi dan Rasul. Ini membawa hikmah lebih besar bahwa konsep dan spirit hijrah sarat berisi pesan kemanusiaan. Bila di suatu tempat kemerdekaan beriman dan berekspresi sulit berkembang, dimungkinkan untuk hijrah.

Namun, tidak mesti harus hijrah fisik, tetapi bisa tetap di tempat fisik, namun suasana batin dan jalan pikiran yang harus berubah. Bagaimana mentransformasikan diri dari suatu kondisi yang tidak kondusif mengembangkan ekspresi keberimanan kita lalu hijrah ke kondisi lain yang lebih kondusif untuk hal tersebut. Dengan demikian, hijrah harus dianggap sebagai sesuatu yang berlangsung terus-menerus untuk sampai ke tarah yang lebih ideal sebagai hamba dan sebagai khalifah. Allahu a'lam. []

MEDIA INDONESIA, 15 September 2017
Prof Dr KH Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar