Senin, 18 September 2017

(Ngaji of the Day) Hakikat Shalat dan Peningkatan Kualitas Iman



Hakikat Shalat dan Peningkatan Kualitas Iman

Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. adalah peristiwa yang sangat agung, dari peristiwa tersebut Nabi memperoleh berbagai macam pengalaman dan pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi kelengkapan dirinya, untuk mengemban tugas yang berat sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Pengetahuan dan pengalaman yang paling beharga dalam peristiwa tersebut adalah berkaitan dengan memahami tanda-tanda kebesaran Allah SWT., baik kebesaran yang ada di alam raya ini yang dapat ditangkap oleh panca indera ataupun dalam alam ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia.

Isra, pengertiannya menurut bahasa adalah perjalanan di malam hari, sedangkan mi’raj adalah tangga untuk naik ke atas. Karena itu pengertian Isra yang dimaksudkan adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedangkan Mi’raj adalah perjalanan beliau dari masjid al-Aqsa ke Sidrah al-Muntaha. Sidrah al-Muntaha adalah tempat di langit yang bersifat ghaib, tidak mungkin dijangkau oleh panca indera manusia, bahkan tidak dapat dijangkau oleh akal  fikiran.

Di antara tujuan diisrakannya Nabi Muhammad SAW, adalah agar beliau mengetahui secara mendalam tanda-tanda keagungan Tuhan, kekuasaan dan kasih sayang-Nya terhadap semua makhluk, peristiwa ini disebutkan dalam Al-Qur’an:

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Isra, 1).

Dalam peristiwa Isra Mi’raj, sebagaimana disebutkan berbagai kitab tarikh dan kitab hadits, Nabi Muhammad dan umatnya diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu sehari-semalam. (Nur al Yakin, hal. 67 dan Nabi al-Rahmah, 54). Peristiwa Isra Mi’raj menurut para ahli sejarah, selain disebutkan dalam kitab al-Hadits juga diisyaratkan Al-Qur’an pada awal surat an-Najm:

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauannya sendiri melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diwahyukan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cedas dan Jibril itu menampakkan diri dalam bentuk yang asli, sedang ia berada di ufuk yang tinggi. Lalu ia menyampaikan kepada hamba-Nya  (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan”. (Q.S. an-Najm, 1 – 7 dan 10).

Dengan diperintahkannya shalat lima waktu bagi Nabi Muhammad dan umatnya pada malam Isra Mi’raj tersebut, dirasakan betapa pentingnya ibadah shalat harus ditegakkan oleh setiap pribadi Muslim. Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan perintah agar menegakkan shalat, perintah itu diulang berkali-kali sampai lebih dari delapan puluh kali. Di dalam hadits juga banyak disebutkan agar setiap Muslim mengerjakan shalat dengan baik, dimana saja mereka berada.

Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan sangat menentukan kualitas keimanan seorang Muslim, apakah kuat atau lemah. Kalau kita rajin mengkaji ayat demi ayat dari Al-Qur’an dan al-Hadits maka akan dijumpai berbagai pengarahan agar manusia Muslim dapat mengerjakan dan menegakkan shalat dengan baik. Shalat yang baik dan benar adalah shalat yang dikerjakan dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta ketentuan-ketentuan lainnya, diikuti dengan gerakan kejiwaan dan disertai rasa khusu’ dan keikhlasan yang mendalam.

Pengertian shalat menurut etimologi adalah doa dan pujian, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya memuji Nabi, wahai orang-orang yang beriman, berdo’alah untuk Nabi dan ucapkanlah salam kehormatan kepadanya”. (Q.S. al-Ahzab, 56).

Pengertian shalat menurut terminologi adalah “Beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat rukun tertentu”. Pengertian di atas, baru menggambarkan bentuk shalat secara lahiriyah. Agar melengkapi semua itu, kita ikuti definisi shalat dari segi hakikatnya yaitu: “Menghadapkan hati kepada Allah sehingga dapat mendatangkan rasa takut kepada-Nya dan menanamkan dalam jiwa rasa keagungan-Nya dan kesempurnaan-Nya”.

Shalat sempurna adalah shalat dengan kriteria di atas, shalat yang dilakukan dengan memenuhi syarat, rukun dan ketentuan lain serta diikuti dengan gerakan kejiwaan. Dengan demikian ibadah shalat itu akan berdampak pada sikap mental kita dalam kehidupan sehari-hari. Mereka yang telah melakukan shalat dengan baik dapat mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar.

Dengan ketentuan-ketentuan shalat yang disebutkan di atas, Insyaallah kita akan terhindar dari segolongan orang yang mengerjakan shalat, tetapi pada hakikatnya mereka tidak shalat. Nabi SAW mensitir kelompok ini dalam salah satu haditnya:  “Akan datang suatu masa menimpa umatku mereka yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat”. (H.R. Ahmad).

Dengan memperingati Isra Mi’raj ini, semoga kita dapat meningkatkan shalat kita sebaik mungkin, sehingga dapat meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Amiin... []

KH Zakky Mubarak, Rais Syuriah PBNU, Dosen Pascasarjana UI

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar