Tragedi Abdullah bin Zubair dalam Perebutan Khalifah
Oleh: Nadirsyah Hosen
Sesama Muslim itu bersaudara. Tidak mungkin sesama umat Islam akan
rebutan jabatan khalifah, apalagi institusi khilafah itu diklaim bagian dari
ajaran Islam yang sempurna dan pasti benar. Sayang, kenyataannya tidak
demikian. Islam tentu diyakini kebenarannya, namun khilafah adalah
institusi politik yang tidak selalu bersih dan
suci dari perebutan kekuasaan.
Simak kisah pertarungan kekuasaan antara Khalifah Abdullah bin Zubair
dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam lanjutan ngaji sejarah politik Islam
di Geotimes.co.id
Saya sudah ceritakan dalam tulisan sebelumnya, Perseteruan Khalifah, Khalifah
Marwan bin Hakam meninggal dan digantikan anaknya, Abdul Malik. Imam Suyuthi bertahan dengan pendapatnya bahwa yang sah
itu adalah kekhilafahan yang dipimpin oleh Khalifah Abdullah bin Zubair.
Sementara Muawiyah II dan Marwan tidak sah, karena dibai’at belakangan–kalah
cepat dengan pembai’atan Abdullah bin Zubair.
Lalu, bagaimana dengan Abdul Malik bin Marwan? Imam Suyuthi, masih
dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, konsisten menganggap Abdul Malik juga tidak
sah selama masih berkuasanya Abdullah bin Zubair. Baru setelah Abdullah bin
Zubair wafat, maka Imam Suyuthi menganggap masa kekuasaan yang sah dari
Khalifah Abdul Malik baru dihitung.
Kalau kita ikuti pendapat Imam Suyuthi ini, maka ada masa sekitar
7 tahun dari
kekuasaan Abdul Malik yang tidak dianggap sah. Abdullah bin Zubair dibai’at tahun 683 dan wafat tahun 692 (9 tahun berkuasa). Sedangkan Abdul Malik diba’iat tahun 685 dan meninggal tahun 705 (20 tahun berkuasa).
kekuasaan Abdul Malik yang tidak dianggap sah. Abdullah bin Zubair dibai’at tahun 683 dan wafat tahun 692 (9 tahun berkuasa). Sedangkan Abdul Malik diba’iat tahun 685 dan meninggal tahun 705 (20 tahun berkuasa).
Imam Suyuthi secara apa adanya menjelaskan kualitas pribadi Abdul
Malik sebelum dan sesudah dia menjadi khalifah. Sebelum menjadi khalifah, Abdul
Malik banyak meriwayatkan hadis dan diakui banyak kalangan sebagai salah satu
rujukan dalam memecahkan persoalan keagamaan. Kealimannya tersiar luas sebagai
orang yang banyak puasa dan salat di masjid serta pecinta al-Qur’an, bahkan dia
termasuk yang menentang ketika Khalifah Yazid mengirim pasukan ke Mekkah
memerangi Abdullah bin Zubair.
Ketika Marwan, ayah Abdul Malik, dulu diba’iat menjadi Khalifah,
ada perjanjian dengan para syarif di Yaman dan tokoh senior Bani Umayyah bahwa
yang menggantikan Marwan nantinya adalah Khalid bin Yazid (saudara tiri
Khalifah Muawiyah II yang baru mangkat saat itu), dan setelahnya akan berkuasa
Amr bin Sa’id bin al-Ash al-Ashdaq. Namun, Marwan menciderai perjanjian itu,
dengan mengangkat putranya sendiri, Abdul Malik, dan kemudian di urutan
berikutnya ditentukan pula sebagai khalifah adalah putranya yang lain, yaitu
Abdul Azis.
Seperti bisa kita lihat kisah penodaan perjanjian antara Muawiyah
dan Sayyidina Hasan terulang kembali di sini. Bukan cuma itu, kisah wafatnya
Sayyidina Hasan karena ulah istrinya juga terulang kembali di sini. Demikianlah
kekuasaan dan perempuan menjadi bumbu yang menggiurkan, tak terkecuali di masa
khilafah.
Imam Thabari dalam kitab Tarikh-nya berkisah bagaimana Marwan,
yang khawatir dengan Khalid bin Yazid bakal menggantikan posisinya sesuai
perjanjian sebelumnya, mendapat nasihat agar menikahi janda Khalifah Yazid yang
tak lain ibunya Khalid. Marwan mengikuti saran itu dan Khalid menjadi anak
tirinya sehingga bisa dia kontrol pergerakannya.
Namun Marwan bertindak lebih jauh, dia membunuh karakter Khalid
bin Yazid di depan banyak orang dengan mencemooh: “Aku tidak pernah melihat
orang lain sebodoh dia!” Khalid tersinggung dan melapor ke ibunya. Ibunya
menyuruh Khalid diam dan menyerahkan urusan ini di tangannya.
Maka, suatu malam di saat Marwan tengah tidur, ibu Khalid (yang
merupakan salah satu istri Marwan) mendekap Marwan dengan bantal hingga
kemudian meninggal. Ini terjadi di bulan Ramadhan tahun 685. Begitulah
penuturan Imam Thabari, seorang ahli tafsir, fiqh, dan sejarah yang diakui
otoritasnya oleh dunia islam.
Imam Suyuthi menceritakan riwayat dari Ibnu Aisyah bahwa Abdul
Malik berada di masjid dan tengah membaca al-Qur’an ketika berita ayahnya,
Marwan, wafat. Itu artinya Abdul Malik akan menggantikan ayahnya sebagai
khalifah. Abdul Malik menutup mushaf al-Qur’an seraya berpamitan: “Ini masa
terakhir untukmu”.
Berdasarkan riwayat inilah kita bisa memahami bagaimana sejak
menjadi Khalifah, Abdul Malik berubah total. Dari seorang alim pecinta
al-Qur’an menjadi politikus yang tindak-tanduknya tidak lagi mengikuti petunjuk
al-Qur’an. Misalnya, Imam Thabari dan Imam Suyuthi melaporkan Abdul Malik
membunuh rivalnya, Amr bin Said bin al-Ash al-Ashdaq, yang di bagian atas sudah
saya sebutkan seharusnya menjadi khalifah pengganti Marwan.
Rivalnya yang lain, Khalid bin Yazid, dibiarkan hidup karena
mundur dari dunia politik dan memilih menjadi ahli kimia.
Abdul Malik diriwayatkan juga mengakui bahwa dia meminum khamr
setelah ibadah. Abdul Malik juga yang mengirim al-Hajjaj bin Yusuf memerangi
Abdullah bin Zubair hingga sahabat Nabi ini wafat dengan tragis.
Kekejaman Hajjaj di bawah komando Khalifah Abdul Malik sudah sangat melegenda
dan tercatat dalam literatur keislaman.
Abdullah bin Zubair dikenal kealimannya sejak di masa Nabi.
Setelah wafatnya Sayyidina Husain di Karbala dan wafatnya Yazid bin Muawiyah,
Abdullah bin Zubair dibai’at oleh penduduk Mekkah sebagai Khalifah. Pertarungan
perebutan khalifah ini berujung pada kekalahan Abdullah bin Zubair dan
berjayanya Dinasti Umayyah.
Atas perintah Abdul Malik, al-Hajjaj berangkat dengan dua ribu
pasukan mengepung Mekkah. Masih belum berhasil. Maka dating lagi bala bantuan
lima ribu pasukan membantu Hajjaj. Mereka berhasil menduduki kota Thaif. Lantas
mengalahkan pasukan Abdullah bin Zubair yang menyingkir.
Tiba musim haji dan Hajjaj memimpin sebagai amirul haj. Namun
beliau tidak ikut thawaf dan tidak mengenakan pakaian ihram. Dia membawa pedang
dan memakai baju besi. Abdullah bin Zubair tidak bisa berhaji karena tidak bisa
masuk ke padang Arafah yang dikuasai Hajjaj.
Peperangan terjadi 6 bulan. Selama pengepungan itu, kota Mekkah
dan juga Ka’bah dilaporkan menjadi terbakar akibat panah-panah api yang
dilepaskan pasukan Hajjaj. Imam Thabari melaporkan tiba-tiba langit menggelegar
dan kilat menyambar seolah melindungi Hajar Aswad dari serangan api panah
pasukan Hajjaj.
Pasukan Hajjaj menjadi ragu, namun panglima Hajjaj terus
memerintahkan mereka menyerang. Kiswah Ka’bah mulai terbakar, setelah itu kilat
menyambar 12 pasukan Hajjaj yang mati seketika. Hajjaj meminta pasukannya untuk
tidak mundur, meski banyak yang ragu melihat langit seolah melindungi Ka’bah.
Keesokan harinya ada berita kilat menyambar di sekitar Ka’bah dan
kali ini sejumlah pasukan Abdullah bin Zubair terkena. Hajjaj yang mendapat
laporan peristiwa itu segera bangkit dan berkata kepada pasukannya: “Lihat
mereka kena sambar kilat. Kita dalam keadaan yang benar; dan mereka yang
durhaka!” Ternyata sejak dahulu banyak yang mengklaim kebenaran seenaknya
sendiri.
Melihat betapa perkasanya pasukan al-Hajjaj, sejumlah sahabat dan
penduduk Mekkah mulai meninggalkan loyalitas mereka terhadap Abdullah bin
Zubair dan bergabung kepada al-Hajjaj. Imam Thabari melaporkan 10 ribu penduduk
Mekkah pindah mendukung Hajjaj, termasuk kedua anak Abdullah bin Zubair, yaitu
Hamzah dan Khubayb.
Abdullah bin Zubair pergi menemui ibunya, Asma’ binti Abu Bakar,
dan meminta saran. Asma’ yang merupakan putri khalifah pertama, Abu Bakar,
meminta anaknya terus bertahan melawan. Abdullah bin Zubair mencium kening
ibunya, dan kembai ke medan perang.
Imam Thabari meriwayatkan dengan lengkap dialog anak dan ibu ini.
Mereka tahu bahwa hanya tinggal menunggu waktu saja Abdullah bin Zubair akan
terbunuh. Sebuah dialog perpisahan yang sangat mengharukan. Dilaporkan bahwa
kemudian Abdullah bin Zubair dibunuh oleh pasukan al-Hajjaj dengan cara
kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib. Dan pasukan al-Hajjaj lantas
berteriak mengumandangkan takbir.
Ibunya, Asma binti Abu Bakar, menyaksikan itu semua. Begitu juga
dengan Abdullah bin Umar. Keduanya masing-masing adalah keturunan dua khalifah
pertama dalam Islam: Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Mereka menyaksikan takbir
disuarakan atas pembunuhan yang begitu kejam bertempat di tanah suci, kota
Mekkah. Abdullah bin Zubair wafat saat usianya sekitar 68 tahun.
Sejarah politik kekhilafahan mengandung berbagai pengkhianatan,
peperangan, perebutan kekuasaan hingga pembunuhan dan intrik-intrik politik.
Ada yang berargumen bahwa sejarah demokrasi pun seperti itu. Benar, namun
demokrasi tidak pernah mengklaim dirinya bagian dari ajaran kesempurnaan agama
tertentu. Demokrasi dimulai dari ide manusia yang lemah dan banyak
kekurangan namun kemudian belajar memperbaiki
sistemnya dengan berkaca dari pengalaman sejarah.
Sistem khilafah kebalikannya: mengklaim sempurna karena dianggap
bagian dari kesempurnaan ajaran Islam, tidak punya kelemahan, menjadi jawaban
dari berbagai persoalan dan karena telah dianggap sempurna, maka tidak mau
belajar dari kesalahan dan kekacauan yang terjadi.
Akibatnya, kita melihat demokrasi semakin lama semakin diperbaiki
praktiknya; sedangkan sistem khilafah menutup diri dari perbaikan hingga
akhirnya tumbang. Lakon khilafah selesai.
Maka, kita perlu terus ngaji sejarah politik Islam agar kita
bersedia belajar dari kesalahan masa lalu dan terus berusaha membenahi kondisi
umat. Itu hanya bisa kita lakukan jikalau kita mampu mengakui bahwa sistem
pemerintahan khilafah itu tidak sempurna.
Bagaimana Anda bisa belajar dari kesalahan masa lalu kalau Anda
merasa khilafah
adalah solusi umat? Solusinya saja bermasalah, kok! []
adalah solusi umat? Solusinya saja bermasalah, kok! []
GEOTIMES, 16 June 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar