Disiplin Mengaji Para
Pemimpin Bangsa
Suatu ketika,
almarhum Ali Sastroamijoyo mengingat peran ibundanya yang berjasa besar dalam
membentuk kepribadian dan karakter mentalnya. Ali Sastroamidjoyo (1903-1976),
tokoh penting pada masa kemerdekaan, bertutur jika gemblengan ibundanya sangat
membekas, bahkan hingga usia dewasa, ketika berada di lingkaran kekuasaan
mengomando politik di Indonesia.
Kisah masa kecil Ali
Sastroamidjoyo, dituangkan dalam bukunya, "Tonggak-Tonggak di Perjalanan
(1974)". Kisah ini diceritakan ulang oleh Kiai Saifuddin Zuhri dalam
buku "Kaleidoskop Politik di Indonesia Jilid I" (1982). Dalam kisah
Ali, ibundanya mewajibkan anak-anaknya mengaji al-Qur'an pada sore hari,
selepas belajar di sekolah.
Proses mengaji di sore
hari ini, berkesan ketika Ali Sastroamijoyo menempuh pendidikan lanjutan di
negeri Belanda. Ali Sastroamijoyo, mengisahkan kepada Saifuddin Zuhri, betapa
ibundanya marah besar jika Ali mbolos mengaji. Ketika itu, Ali lebih sering
membelot, mbeling, dan menghindari mengaji untuk mengejar kesenangan
bermain.
Ibunda Ali
Sastroamidjoyo menghardik: "Jangan bikin malu akan priyayi tidak bisa
membaca al-Qur'an..!". Peringatan ibundanya ini, sangat membekas di hati
Ali, bahkan ketika ia dewasa dan menjadi pemimpin bangsa. Suatu didikan
disiplin dari ibundanya yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter
mentalnya.
Ali merasa, jika
ibundanya tidak keras mendidiknya agar disiplin mengaji, mempelajari al-Qur'an,
belum pasti ia dapat menjadi pemimpin. Rupanya, didikan yang keras dan disiplin
tingkat tinggi dalam pendidikan agama, mampu menjadikan sosok pemimpin kokoh
dapat prinsip, matang dalam pengetahuan, sekaligus kuat spiritualitasnya.
Kiai Wahid Hasyim
berbeda cerita, dalam penanaman kedisiplinan kepada kader-kadernya. Dalam
sebuah riwayat, Kiai Wahid menasehati seorang kadernya: "Begitu kau
menduduki kursi ini, bayangkanlah mulai sekarang, bahwa suatu ketika kursi yang
kau duduki ini, bakal diduduki orang lain. Sebagai prajurit yang bertugas,
suatu saat akan datang prajurit lain untuk meng-aflos", titah Gus Wahid,
ayahanda KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kiai Wahid merupakan
sosok disiplin, yang menginspirasi politik Indonesia. Sepak terjangnya dalam
proses kemerdekaan, terlebih membangun jaringan antar pejuang, tidak lagi
terbantahkan. Ia sosok penting dalam periode sulit menjelang kemerdekaan.
Penguasaan khazanah kitab kuning mendalam, ditunjang kemampuan beberapa
bahasa.
Kiai Wahid sosok
santri yang disegani dalam bidang diplomasi internasional. Bagi Kiai Wahid,
kedisiplinan membuahkan prestasi dan kematangan diri, serta kecakapan memimpin
organisasi, kesungguhan menjaga amanah dalam perjuangan membela negeri. Namun,
kekuasaan dan jabatan bukan segalanya.
Dr. Sukiman, memiliki
kisah berbeda lagi. Ia mengisahkan masa kanak-kanaknya, yang ditempa
ayahandanya dengan semangat untuk terus belajar. Bersama abangnya, Dr. Satiman,
Sukiman diwajibkan oleh Sang Ayah mengaji al-Qur'an pada sore hari. Ia tidak
boleh malu mengawali belajar al-Qur'an meski telah hampir merampungkan Sekolah
Dasar (HIS, Hollandsch Inlandsche School).
Ketika Sukiman dan
Satiman bersaudara berhasil menghafal surat al-Faatihah, ayahandanya girang
bukan kepalang. Dua bersaudara itu mendapat hadiah langsung: dibelikan sepeda
baru. Kita bisa membayangkan, betapa kedisiplinan mengaji menjadi pondasi bagi
pembentukan karakter pemimpin.
Kisah Dr. Satiman,
dan Ali Sastroamijoyo menegaskan pentingnya pembentukan karakter masa kecil.
Mengaji al-Qur'an pada masa kanak-kanak, menguatkan tonggak spiritualitas dan
karakter sang pemimpin.
Tentu saja, kita
tidak bisa menganggap remeh kisah-kisah masa kecil sang pemimpinan.
Kedisiplinan, pola gemblengan yang keras dari orang tua, dan pembangunan
karakter melalui mengaji, berhasil menjadi bagain penting membangun titian
seseorang untuk menjadi pemimpin masa depan. []
(Munawir Aziz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar