Senin, 18 September 2017

Cak Imin: Memperkuat Kebhinekaan dengan 'Toleransi Plus'



Memperkuat Kebhinekaan dengan 'Toleransi Plus'
Oleh: A. Muhaimin Iskandar

Kebhinekaan adalah sunnatullah. Merusak kebinekaan berarti melawan sunnatullah. Dan, melawan sunnatullah merupakan kezaliman.

Pancasila merupakan titik temu yang dapat mempersatukan berbagai golongan dan aliran yang ada di Indonesia, terdiri dari beragam suku, etnis, agama dan daerah. Kita sepakat bahwa dalam keanekaragaman itu dipersatukan di bawah ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu sasanti kita adalah Bhinneka Tunggal Ika.

Kalimat itu merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa kuna yaitu Sutasoma karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kalimat aslinya adalah Bhinnêka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Budha. Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, tradisi budaya, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya, namun tetap satu kesatuan sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan lain-lain yang sama.

Para Founding Fathers menyadari bahwa kita adalah bangsa yang bhinneka, bangsa yang majemuk, yang heterogen dan plural. Meskipun kita bangsa yang bhinneka, kita mesti bersatu. Oleh karena, pada 28 Oktober 1928, mengikrarkan Sumpah Pemuda, yakni bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Ketika kita mencapai Kemerdekaan, kita sepakat untuk membentuk Negara Kesatuan yang berbentuk Republik (demokrasi) dan berideologi Pancasila. Sudah menjadi konsensus nasional bahwa Pancasila dan NKRI adalah final.

Dalam sebuah negara yang masyarakatnya majemuk seperti Indonesia, pertentangan akan selalu muncul, dan sulit bagi kita untuk menghindarinya. Dengan kata lain, kemajemukan harus diterima sebagai sebuah kenyataan, yang disertai dengan sikap yang positif. Bertitik tolak dari sikap inilah pertentangan-pertentangan yang muncul dalam masyarakat dapat dikelola dengan baik.

Ancaman Kebhinekaan

Menguatnya gejala intoleransi agama disertai dengan munculnya radikalisme serta fundamentalisme agama. Intoleransi agama mengancam kebhinekaan karena ia merupakan tindakan diskriminasi, pengabaian, larangan atau pengutamaan yang didasarkan pada agama atau kepercayaan. Akibat intoleransi ini adalah peniadaan atau pengurangan pengakuan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan mendasar atas dasar kesetaraan.

Kasus-kasus intoleransi agama di Indonesia pada umumnya didominasi oleh kekerasan dan penyerangan, penyebaran kebencian, pembatasan berpikir dan berkeyakinan, penyesatan dan pelaporan kelompok yang diduga sesat, pembatasan aktivitas atau ritual keagamaan, pemaksaan keyakinan, dan konflik tempat ibadah.

Intoleransi agama juga diwarnai dengan munculnya fundamentalisme atau gerakan-gerakan Islam trans-nasional, yang menyatakan diri sebagai antidemokrasi dan mengusung ideologi intoleran seperti khilafah dan takfiri. Sebagian besar umat Islam di Indonesia yang tertarik terhadap kelompok Islam trans-nasional ini adalah dari kalangan akademisi. Mudahnya orang-orang pintar dan potensial tertarik pada kelompok Islam trans-nasional menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak sendirinya menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang Islam, dimana doktrin-doktrin keislaman tidak cukup memadai jika diartikan secara harfiah.

Gejala intoleransi agama juga bisa dilihat penggunaan agama untuk kepentingan politik. Politisasi agama atau instrumentalisasi ajaran agama untuk kepentingan politik sering digunakan dalam pemilu legislatif, maupun pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden. Penggunaan ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi bagi kepentingan dan tujuan politik ini kerap diekspresikan melalui ungkapan-ungkapan kebencian, baik melalui media-media sosial, spanduk-spanduk yang dipasang di berbagai rumah ibadah, atau bahkan melalui khutbah-khutbah Jumat dan berbagai pengajian.

Politisasi agama muncul karena adanya pencampuradukan antara wilayah agama dan wilayah politik. Lebih jauh, pencampuradukan ini berakibat pada penghilangan agama dari fungsinya yang hakiki yaitu sebagai sumber moralitas. Ia hanya dijadikan sumber legitimasi untuk memobilisasi dukungan.

Pemerintah memang telah mencanangkan program deradikalisasi untuk mencegah tumbuh kembangnya paham radikalisme di Indonesia. Namun demikian, sejauh ini hasilnya belum memuaskan. Selama faktor sosial ekonomi yang terkait dengan rasa keadilan tidak memperoleh perhatian yang serius, radikalisme selalu akan menemukan lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembang.


Menguatkan Kebhinekaan

Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai ancaman terhadap kemajemukan bangsa. Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku tindak kekerasan dan pemaksaan kehendak yang mengatasnamakan agama. Negara tidak boleh lagi membiarkan tindakan-tindakan kekerasan dan tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu. Negara harus melindungi hak setiap warganya atau kelompok masyarakat untuk berekspresi, menyatakan pendapat, berkeyakinan dan menjalankan profesinya.

Kedua, ormas-ormas keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerja sama dalam berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi bisa ditumbuhkan secara menyeluruh. Semakin tinggi intensitas komunikasi dan kerjasama antarkelompok agama, maka semakin bisa dihindari kesalahpahaman dan dakwah-dakwah keagamaan yang menyebarkan sikap tidak toleran.

Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Toleransi perlu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan atau setiap mata pelajaran agama dan budaya, sehingga sikap toleran tertanam kokoh dan menyatu dalam jiwa setiap siswa.

Dalam pandangan Islam, kebhinekaan atau keberagaman merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak akan berubah dan tidak bisa ditolak. Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa manusia memang diciptakan dalam berbagai bangsa dan suku (QS. al-Hujurat: 13). Karena itu, pluralisme harus diterima sebagai kenyataan yang mesti dihargai dan dipandang secara optimis dan positif sebagai salah satu tanda-tanda kekuasaan Tuhan (QS. al-Rum: 22).

Bahkan, Al-Quran menyatakan bahwa perbedaan pandangan tidak harus ditakuti atau ditiadakan tetapi justru harus dijadikan titik tolak untuk berkompetisi menuju kebaikan (QS. al-Maidah: 48). Untuk menegakkan dan melindungi prinsip pluralisme ini diperlukan adanya nilai-nilai toleransi.

Dalam Islam, persoalan ini banyak disinggung Al-Quran, seperti QS. al-Baqarah [2] ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Nilai-nilai keterbukaan dan persaudaraan sudah sejak awal inheren dengan ajaran Islam. Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW, sudah dikenal Piagam Madinah yang berisi perjanjian antarkelompok agama dan etnik guna mengikat perdamaian dalam sebuah tatanan negara. Seperti dikemukakan KH Mujab Mahali dalam buku Kiai dan Demokrasi, negara Madinah sendiri bukanlah dar al-Islam (negara Islam) melainkan dar assalam (negeri perdamaian).

KH Abdurahman Wahid (1991), yang dikenal sebagai Bapak Toleransi dan Pluralisme Indonesia mengatakan bahwa tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai, karena hal demikian masih sangat rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar-kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan menerima. Kesadaran semacam inilah yang disebut toleransi plus.

Gus Dur --panggilan akrabn cucu Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari tersebut-- berpikiran dan bergerak jauh lebih maju. Toleransi plus yang diajarkan dan dipraktikkan Gus Dur tidak sekadar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama dan peradaban lain itu sendiri. Gus Dur menyatakan bahwa ia akan menerima dan menyampaikan kebenaran yang datang dari mana pun, apakah itu datang dari Injil, Bhagawad Gita, atau yang lain.

Toleransi plus berasal dari pemikiran yang sangat mendalam tentang nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Toleransi plus memungkinkan manusia bisa melihat kebaikan dan kebenaran dari agama atau kelompok berbeda, bukan untuk menihilkan kebenaran agama yang dianutnya sendiri, tetapi justru untuk mematangkan, mendewasakan, memperkaya dan mendinamisasi pemikiran dan perilaku keagamaan sendiri dan masyarakatnya. []

DETIK, 14 September 2017
A. Muhaimin Iskandar | Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar