Kiai Muchit Muzadi
dan Kegemarannya
Mbah Muchit begitu
beliau akrab disapa. Pria kelahiran 4 Desember 1925 di Bangilan, Tuban itu,
terlahir dengan nama lengkap Abdul Muchit. Ketika dewasa, ia menisbatkan nama
ayahnya dibelakang namanya, sehingga menjadi Abdul Muchit Muzadi.
Bagi warga NU, nama
Mbah Muchit tak asing. Ia dikenal sebagai pengawal khittah NU setelah
ditetapkan pada muktamar NU tahun 1984 di Situbondo. Saat itu, kakak kandung
Ketua Umum PBNU 1999 - 2009 KH Hasyim Muzadi itu, menjadi sekretaris pribadi
Rais ‘Aam PBNU KH Achmad Siddiq. Konon, teks Khittah An-Nahdliyah yang
dipresentasikan oleh Kiai Siddiq saat itu, ia yang mengetiknya.
Sepanjang hidupnya ia
dedikasikan dirinya untuk NU. Bahkan, beberapa saat sebelum kembali ke haribaan
Allah SWT, 6 September dua tahun yang lalu, beliau masih sempat
"cawe-cawe" menenangkan hiruk pikuk pasca Muktamar 33 NU.
Namun, dibalik
kiprahnya di NU dan masyarakat, ada sisi yang menarik dari sosok Mbah Muchit.
Ia merupakan sosok yang gemar membaca dan menulis. Sampai di penghujung
usianya, ia masih berlangganan beberapa surat kabar nasional di kediamannya di
Jember. Setiap pagi ia rajin membaca koran dan juga majalah.
Selain itu, ia juga
gemar membaca berbagai literatur. Tak hanya literatur yang sefaham, bahkan ia
juga mengkaji literatur lintas madzab dan lintas kajian. Pada sebuah kesempatan
ia pernah bercerita. Kawan-kawannya di Muhammadiyah Jember tak pernah
mendebatnya. Meski, anatara NU dan Muhammadiyah kerap kali berbeda pendapat.
Apa pasalnya?
"Mereka tidak
berani berdebat karena referensi kemuhammadiyahannya lebih lengkapan
saya," tuturnya sembari tersenyum.
Berkat kegemarannya
membaca ini, beliau juga penulis yang cukup produktif. Banyak artikelnya yang
dimuat di media massa. Terutama tentang ke-NU-an. Selain itu, juga ada beberapa
buku yang berhasil diselesaikan oleh beliau.
Di antaranya adalah
Fikih Perempuan Praktis (Khalista), Mengenal Nahdlatul Ulama (Khalista) dan NU
dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (khalista).
Selain yang sudah
terbit, ketika beliau wafat, masih banyak pula tulisan-tulisannya yang masih
berupa manuskrip. Belum pernah dipublikasikan dan tersimpan di perpustakaan
pribadinya di Jember.
Tak hanya membaca dan
menulis, sisi literasi Mbah Muchit yang menarik adalah tentang kegemarannya
membagikan buku. Untuk hal ini, ada beberapa cerita sebagaimana yang ditulis
oleh Muhammad Subhan dalam "Berjuang Sampai Akhir: Kisah Seorang Mbah
Muchit".
Suatu ketika, Mbah
Muchit menggelar pengajian setiap malam Sabtu di Masjid Sunan Kalijaga di
samping rumahnya yang tak jauh dari Kampus UNEJ tersebut. Pengajian yang ia
ampu adalah tentang keaswajaan. Yang menjadi rujukan dalam pengajian tersebut,
adalah "Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU" dan "Wawasan Umum
Ahlussunnah wal-Jama'ah" yang keduanya ditulis oleh KH Tolchah Hasan.
Kedua buku tersebut
ternyata sudah jarang beredar di toko-toko buku. Adanya hanya di penerbitnya
yang berada di Jakarta. Mbah Muchit pun memesan buku yang harganya Rp. 50 ribu
per ekslempar itu. Lalu, ia membagikannya kepada para jama'ahnya. Sayangnya,
setelah buku itu dibagikan, malah tak banyak jama'ahnya yang kembali datang
untuk mengkaji buku tersebut.
Tak hanya itu, pada
2006 Mbah Muchit membagikan bukunya sendiri yang berjudul "Mengenal Nahdlatul
Ulama". Buku yang setebal 60 halaman dan dicetak dengan biaya sendiri itu,
ia bagikan ke pengurus MWC dan Cabang NU se-Jawa Timur. Juga kepada pengurus
PWNU dan PBNU yang saat itu sedang mengadakan pertemuan di kantor PWNU di
Surabaya. Total ada 1.200 ekslempar buku yang ia bagikan dari 1.500 buku yang
dicetak.
Honorium yang
didapatnya dari penerbit ketika menerbitkan buku, juga tak pernah beliau ambil.
Mbah Muchit lebih senang mengambilnya dalam bentuk buku. Lalu, ia bagikan
kepada orang lain yang datang bertamu atau saat ada acara.
Desember 2005, ketika
ulang tahunnya ke-80, Mbah Muchit juga membagikan bukunya yang berjudul
"Fikih Perempuan Praktis". Saat itu, ia sedang mengadakan acara di
Pesantren KH Wahid Hasyim, Bangil, Pasuruan. Begitu pula saat Munas dan Konbes
NU di Surabaya pada 2006. Saat itu, beliau membagikan buku "NU dalam
Perspektif Sejarah dan Ajaran".
Untuk buku yang
terakhir ini, saya pernah mendapatkannya pula. Gratis pula. Saat itu, saya
diberi oleh seseorang di pondok. Setelah cukup lama saya pelajari dan nangkring
di rak buku, ada teman yang meminjamnya. Sampai saat ini, buku itupun tak
kunjung balik. Mungkin, ada lagi yang meminjamnya dari teman saya tersebut. Tak
balik juga. Dan terus bergulir demikian.
Seperti itu, mungkin
yang diharapkan oleh Mbah Muchit atas buku-buku yang ia bagikannya. Ia tidak
rela jika buku yang dibagikannya tersebut sampai tidak terbaca. Maka, ketika
buku itu sudah nangkring dan tak dibaca lagi, buku itu pun berpindah tangan.
Bisa jadi, bukan? []
(Ayunk Notonegoro)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar