Rabu, 13 September 2017

(Ngaji of the Day) Nilai Kemanusiaan Agung dalam Rukun Haji



Nilai Kemanusiaan Agung dalam Rukun Haji

Pakar Tafsir Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan bahwa ibadah haji pertama kali dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim sekitar 3.600 tahun yang lalu. Setelah era beliau, praktik-praktik ibadah haji beberapa telah mengalami perubahan. Namun perubahan tersebut telah diluruskan oleh Nabi Muhammad. Salah satu yang diluruskan Nabi SAW ialah praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 199 menegur sekelompok manusia (yang dikenal dengan nama al-hummas) yang merasa memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu bersama orang banyak dalam momen wuquf. Mereka wuquf di Muzdalifah sedangkan orang banyak melakukan wuquf di Arafah. Pemisahan diri yang dilatarbelakangi superioritas itu dicegah oleh Al-Qur’an dan turunlah ayat 199 tersebut. 

“Bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 199)

Pada akhirnya, sejumlah rukun dalam ibadah haji yang dipraktikkan oleh jutaan umat Islam di dunia ini bermuara pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Terminologi kemanusiaan universal tidak hanya terdapat dalam esensi ibadah haji, tetapi juga harus melekat pada diri seorang yang telah melakukan ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari ketika sudah kembali ke tempat atau negaranya masing-masing.

Nilai-nilai kemanusiaan universal yang terdapat dalam setiap rukun ibadah haji yaitu, pertama, ibadah haji diawali dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram. Seperti diketahui bahwa fungsi pakaian antara lain sebagai pembeda antara satu orang dengan orang lain atau satu kelompok dengan kelompok lain dalam hal status sosial, ekonomi atau profesi.

Pakaian khusus ihram yang telah disyariatkan memungkinkan bersatunya seluruh umat Islam dalam status yang sama, yakni jemaah calon haji. Tidak ada perbedaan status sosial dan lain-lain karena perbedaan pakaian yang dikenakan. Hal ini menunjukkan juga bahwa seluruh manusia pada dasarnya sama di mata Allah kecuali atas dasar ketakwaannya.

Kedua, dengan memakai pakaian ihram, sejumlah larangan harus dihindari oleh jemaah haji. Ketika salah satu rukun haji tersebut dilaksanakan, Islam mensyariatkan bahwa jemaah haji dilarang menyakiti dan membunuh binatang, jangan menumpahkan darah, dan jangan mencabut pepohonan. 

Laku syariat tersebut mengandung pesan bahwa manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Allah serta memberikan kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya. Dilarang juga memakai wangi-wangian, bercumbu atau kawin, serta berhias agar jemaah haji menyadari bahwa kehidupan manusia semata-mata materi dan nafsu birahi melainkan kondisi ruhani yang ada dalam posisi penghambaan yang kuat di sisi Allah.

Ketiga, Ka’bah yang dikunjungi dalam momen ibadah haji juga mengandung arti dari sisi kemanusiaan bahwa salah satunya terletak hijr Ismail yang berarti pengakuan Ismail. Di sanalah Ismail putra Ibrahim pembangun Ka’bah pernah berada dalam pengakuan ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya pun berada di tempat itu. 

Dengan latar belakang tersebut, namun peninggalan Hajar diabadikan Allah agar menjadi pelajaran bahwa Allah SWT memberikan kedudukan seseorang bukan karena keturunan atau status sosialnya, tetapi kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk berhijrah (hajar) dari kejahatan menuju kebaikan juga dari keterbelakangan menuju peradaban. (Quraish Shihab, 1999: 336)

Keempat, setelah selesai melakukan ritus thawaf, jemaah haji larut dan berbaur dalam kebersamaan dengan manusia-manusia lain. Rukun ibadah haji tersebut juga memberikan kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam hadirat Allah SWT. Begitu juga dengan ritual sa’i yang menggambarkan perjuangan Siti Hajar dalam upaya memperoleh penghidupan untuk anaknya Ismail yang kehausan luar biasa di tengah gurun pasir.

Usaha dan kerja Siti Hajar yang beberapa kali bolak-balik antara bukit shafa dan marwa menunjukkan bahwa kenikmatan yang diperoleh dari anugerah Allah harus didahului perjuangan dan kerja keras dari seorang manusia. Karena Allah tidak mungkin menurunkan anugerah dan rezekinya kepada manusia yang hanya berpangku tangan.

Kelima, ketika jemaah haji berkumpul di padang ‘Arafah. Tempat yang konon diriwayatkan menjadi lokasi pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa. Di tempat tersebut, seharusnya manusia menemukan ma’rifah pengetahuan tentang jati dirinya dan perjalanan hidupnya selama ini sehingga mendekatkan diri kepada Tuhannya. 

Di padang ‘Arafah itulah manusia diantarkan menuju laku yang ‘arif (sadar) dan mengetahui. Karena Nabi Muhammad pun menerangkan dalam sabdanya bahwa sesiapa yang mengenal dirinya, maka ia bakal mengenal Tuhannya.

Keenam, dari ‘Arafah jemaah haji menuju ke Muzdalifah kemudian ke Mina menuju rukun haji yaitu mabit dan melempar jumroh. Ritus ini dilakukan untuk memerangi perangai setan yang ada pada diri manusia. 

Untuk tujuan tersebut, manusia harus mempersiapkan senjata dalam melawan setan dengan mengumpulkan batu di malam hari di Muzdalifah kemudian melampiaskan kebencian dan kemarahan mereka kepada setan dengan melemparkan batu di Mina dalam ritual melempar jumroh. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar