Nilai
Kemanusiaan Agung dalam Rukun Haji
Pakar Tafsir Muhammad
Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (1999) menjelaskan bahwa ibadah haji pertama kali
dikumandangkan oleh Nabi Ibrahim sekitar 3.600 tahun yang lalu. Setelah era
beliau, praktik-praktik ibadah haji beberapa telah mengalami perubahan. Namun
perubahan tersebut telah diluruskan oleh Nabi Muhammad. Salah satu yang
diluruskan Nabi SAW ialah praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan universal.
Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 199 menegur sekelompok manusia (yang dikenal dengan nama
al-hummas) yang merasa memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu bersama
orang banyak dalam momen wuquf. Mereka wuquf di Muzdalifah sedangkan orang
banyak melakukan wuquf di Arafah. Pemisahan diri yang dilatarbelakangi
superioritas itu dicegah oleh Al-Qur’an dan turunlah ayat 199 tersebut.
“Bertolaklah kamu
dari tempat bertolaknya orang-orang banyak dan mohonlah ampun kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 199)
Pada akhirnya,
sejumlah rukun dalam ibadah haji yang dipraktikkan oleh jutaan umat Islam di
dunia ini bermuara pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Terminologi
kemanusiaan universal tidak hanya terdapat dalam esensi ibadah haji, tetapi
juga harus melekat pada diri seorang yang telah melakukan ibadah haji dalam
kehidupan sehari-hari ketika sudah kembali ke tempat atau negaranya
masing-masing.
Nilai-nilai
kemanusiaan universal yang terdapat dalam setiap rukun ibadah haji yaitu,
pertama, ibadah haji diawali dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan
mengenakan pakaian ihram. Seperti diketahui bahwa fungsi pakaian antara lain
sebagai pembeda antara satu orang dengan orang lain atau satu kelompok dengan
kelompok lain dalam hal status sosial, ekonomi atau profesi.
Pakaian khusus ihram
yang telah disyariatkan memungkinkan bersatunya seluruh umat Islam dalam status
yang sama, yakni jemaah calon haji. Tidak ada perbedaan status sosial dan
lain-lain karena perbedaan pakaian yang dikenakan. Hal ini menunjukkan juga
bahwa seluruh manusia pada dasarnya sama di mata Allah kecuali atas dasar
ketakwaannya.
Kedua, dengan memakai
pakaian ihram, sejumlah larangan harus dihindari oleh jemaah haji. Ketika salah
satu rukun haji tersebut dilaksanakan, Islam mensyariatkan bahwa jemaah haji
dilarang menyakiti dan membunuh binatang, jangan menumpahkan darah, dan jangan
mencabut pepohonan.
Laku syariat tersebut
mengandung pesan bahwa manusia berfungsi memelihara makhluk-makhluk Allah serta
memberikan kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Dilarang juga memakai wangi-wangian, bercumbu atau kawin, serta berhias agar
jemaah haji menyadari bahwa kehidupan manusia semata-mata materi dan nafsu
birahi melainkan kondisi ruhani yang ada dalam posisi penghambaan yang kuat di
sisi Allah.
Ketiga, Ka’bah yang
dikunjungi dalam momen ibadah haji juga mengandung arti dari sisi kemanusiaan
bahwa salah satunya terletak hijr Ismail yang berarti pengakuan Ismail. Di
sanalah Ismail putra Ibrahim pembangun Ka’bah pernah berada dalam pengakuan
ibunya yang bernama Hajar, seorang perempuan hitam, miskin bahkan budak, yang
konon kuburannya pun berada di tempat itu.
Dengan latar belakang
tersebut, namun peninggalan Hajar diabadikan Allah agar menjadi pelajaran bahwa
Allah SWT memberikan kedudukan seseorang bukan karena keturunan atau status
sosialnya, tetapi kedekatannya kepada Allah dan usahanya untuk berhijrah
(hajar) dari kejahatan menuju kebaikan juga dari keterbelakangan menuju
peradaban. (Quraish Shihab, 1999: 336)
Keempat, setelah
selesai melakukan ritus thawaf, jemaah haji larut dan berbaur dalam kebersamaan
dengan manusia-manusia lain. Rukun ibadah haji tersebut juga memberikan kesan
kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam hadirat Allah SWT.
Begitu juga dengan ritual sa’i yang menggambarkan perjuangan Siti Hajar dalam
upaya memperoleh penghidupan untuk anaknya Ismail yang kehausan luar biasa di
tengah gurun pasir.
Usaha dan kerja Siti
Hajar yang beberapa kali bolak-balik antara bukit shafa dan marwa menunjukkan
bahwa kenikmatan yang diperoleh dari anugerah Allah harus didahului perjuangan
dan kerja keras dari seorang manusia. Karena Allah tidak mungkin menurunkan
anugerah dan rezekinya kepada manusia yang hanya berpangku tangan.
Kelima, ketika jemaah
haji berkumpul di padang ‘Arafah. Tempat yang konon diriwayatkan menjadi lokasi
pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa. Di tempat tersebut, seharusnya manusia
menemukan ma’rifah pengetahuan tentang jati dirinya dan perjalanan hidupnya
selama ini sehingga mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Di padang ‘Arafah
itulah manusia diantarkan menuju laku yang ‘arif (sadar) dan mengetahui. Karena
Nabi Muhammad pun menerangkan dalam sabdanya bahwa sesiapa yang mengenal
dirinya, maka ia bakal mengenal Tuhannya.
Keenam, dari ‘Arafah
jemaah haji menuju ke Muzdalifah kemudian ke Mina menuju rukun haji yaitu mabit
dan melempar jumroh. Ritus ini dilakukan untuk memerangi perangai setan yang
ada pada diri manusia.
Untuk tujuan
tersebut, manusia harus mempersiapkan senjata dalam melawan setan dengan
mengumpulkan batu di malam hari di Muzdalifah kemudian melampiaskan kebencian
dan kemarahan mereka kepada setan dengan melemparkan batu di Mina dalam ritual
melempar jumroh. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar