Keterangan
Al-Qur'an soal Siapa Saja yang Tak Boleh Dinikahi
Al-Qur’an tidak
menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut
diserahkan kepada selera masing-masing:
“Maka kawinilah siapa
yang kamu senangi dari wanita-wanita.” (QS An-Nisa [4]: 3)
Meskipun demikian,
Nabi Muhammad SAW menyatakan, biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau
keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan pilihanmu atas
yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui
Abu Hurairah).
Di tempat lain,
Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa Laki-laki yang berzina tidak (pantas)
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).
“Pezina laki-laki
tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan
musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali pezina laki-laki atau
dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang
mukmin.” (QS An-Nur: 3)
Walhasil, seperti
pesan surat Al-Nur (24): 26, wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan
Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
“Perempuan-perempuan
yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan
yang keji (pula), sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik pula,
dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih
dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia
(surga).” (QS An-Nur: 26)
Al-Qur’an merinci siapa
saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.
“Diharamkan kepada
kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan
kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang
bersuami.” (QS Al-Nisa' [4]: 23-24)
Kalaulah larangan
mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, maka
mengapa selain itu --yang disebut di atas-- juga diharamkan? Di sini berbagai
jawaban dapat dikemukakan.
Ada yang menegaskan
bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah
jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan
kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana
yang dapat terjadi antar suami istri.
Ada lagi yang
memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak,
saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa birahi.
Ada lagi yang memahami larangan perkawinan antara kerabat sebagai upaya
Al-Qur'an memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu
masyarakat. ***
Disunting dari M.
Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2000).
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar