Rabu, 20 September 2017

(Ngaji of the Day) Inilah Kriteria Kesetaraan atau Sekufu dalam Perkawinan



Inilah Kriteria Kesetaraan atau Sekufu dalam Perkawinan

Pernikahan dipandang sebagai satu momen penting dalam kehidupan. Oleh sebab itu, masalah pernikahan ini diatur cukup ketat dan detil, bahkan dalam Al-Quran karena menyangkut banyak pihak. Tujuan yang diharapkan dari pernikahan bagi dua insan tentu saja sebagaimana tersebut Surat Ar-Rum ayat 30, “Supaya tercipta ketenangan bagi kalian, serta dijadikan rasa cinta dan kasih sayang...”

Salah satu ketentuan yang dibahas dalam fiqih pernikahan adalah kafa’ah. Kafa’ah secara harfiah artinya persamaan, atau kesebandingan. Dalam fiqih, kafa’ah diartikan sebagai persamaan derajat antara suami dan istri, dengan harapan tercipta keharmonisan rumah tangga dan pasangan yang ideal.

Di satu sisi, tentu hal ini sangat baik. Tetapi di sisi lain, bagi sebagian orang, penentuan pasangan yang sepadan baginya ini bisa sangat sulit. Tetapi muncul pertanyaan-pertanyaan, “Apakah gadis/pria itu pantas untukku?” Lalu banyak pertimbangan yang diambil sehingga seorang pemuda atau pemudi resah saat akan menikah.

Ulama fiqih banyak berkomentar terkait hal tersebut. Satu bisa disimak dalam Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Ba’alawi Al-Hadhrami disebutkan empat pendapat yang bisa dipertimbangkan untuk memahami parameter kafa’ah.

Pertama, pendapat yang dipegang oleh Imam An-Nawawi, Imam Ar-Rafi’i, serta Ibnu Hajar. Parameter kafa’ah calon pasutri adalah nasab, kredibilitas, status merdeka (bukan budak), ketokohan dalam ilmu dan kesalehan, serta sikap dan wawasan keislaman. Menurut pendapat ini, jika calon suami atau nenek moyangnya lebih unggul dari calon istri dalam parameter ini, maka sudah bisa dianggap setara. Sebaliknya, jika dari segi parameter tadi baik calon istri maupun leluhurnya lebih mulia dari lelaki, maka tidak bisa dikategorikan sederajat.

Kedua, pendapat yang meletakkan parameter nasab, kredibilitas, status merdeka, ketokohan dalam ilmu dan kesalehan, kepemimpinan, serta pekerjaan. Menurut Ibnu Qadli, pendapat ini diunggulkan oleh Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i, tetapi tidak dijadikan pegangan. Selain itu, pendapat kedua ini tidak mensyaratkan kesederajatan sebagaimana pendapat pertama. Bahkan bila kalah unggul dalam satu aspek atau lebih, masih bisa dianggap sekufu.

Pendapat ketiga, sebagaimana diunggulkan oleh Al-Adzra’i dan Ibnu Rif’ah, bahwa parameter kafa’ah sebagaimana di atas terkait kredibilitas, pekerjaan, ilmu, kesalehan, status merdeka, juga kepemimpinan. Hal itu benar-benar hanya didasarkan pada keadaan calon suami dan istrinya. Maka dalam pendapat ketiga ini faktor kemuliaan nasab ditangguhkan, sebagaimana tradisi zaman dahulu. Demikian kurang-lebih keterangan Al-‘Amudy dalam Bughyatul Mustarsyidin.

Keempat, parameter yang sama pada nasab, kredibilitas, juga keilmuan, dan ketokohan sebagaimana pendapat pertama atau kedua. Hanya menurut pendapat ini, kriteria kafa’ah dapat saling melengkapi bagi calon pasutri. Artinya, jika ada kriteria pada calon suami atau calon istri ini yang tidak terpenuhi dan kurang unggul dibanding pasangannya, asalkan keduanya saling mengungguli dan melengkapi dalam kriteria-kriteria yang ada, maka juga dianggap sederajat.

Demikianlah pandangan sebagian ulama terkait status kafa’ah dalam pernikahan. Tentu saja selain dalam bingkai agama, tradisi setempat juga amat menentukan bagaimana pandangan tentang kesamaan derajat calon pasangan suami dan istri ini dipertimbangkan. Pendapat ulama tentang kesepadanan calon suami dan istri ini disampaikan agar kesalahpahaman yang mungkin terjadi dalam keluarga dapat diminimalisasi. Dengan demikian, keharmonisan dan kerukunan antarsanak famili suami dan istri tetap terjaga.

Semoga Anda sekalian yang bermaksud menikah, bisa mendapatkan kedamaian sehingga tercipta cinta dan kasih sayang dalam keharmonisan keluarga. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar