Rabu, 20 September 2017

Nadirsyah Hosen: Khalifah Ketujuh Umayyah: Sulaiman yang Narsis



Khalifah Ketujuh Umayyah: Sulaiman yang Narsis
Oleh: Nadirsyah Hosen

Sulaiman bin Abdul Malik berusia sekitar 40 tahun ketika akhirnya berhasil menggantikan kakaknya, al-Walid, sebagai Khalifah ketujuh dari Dinasti Umayyah. Al-Walid dan Sulaiman sebelumnya ditunjuk satu paket oleh ayahanda mereka, Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Dalam tulisan sebelumnya, Kekuasaan itu Meninabobokan [Tentang Khalifah Abdul Malik dan Al-Walid], saya ceritakan bagaimana al-Walid gagal menggeser Sulaiman dari jalur suksesi karena keburu wafat. Lantas, bagaimana sosok dan kepemimpinan Khalifah Sulaiman ini?

Sulaiman dibai’at menjadi Khalifah pada tahun 96 H. Dia tercatat sebagai perawi Hadits Nabi dari jalur ayahnya dan Abdurrahman bin Hunaidah. Sejarah mencatat bahwa dia dikenal sebagai orator ulung dan senang berperang. Dia melarang nyanyian dan musik. Dia telah menghidupkan kembali Sunnah Nabi untuk salat di awal waktu, yang mana sebelumnya, menurut Imam Suyuthi, Bani Umayyah mematikan Sunnah Nabi dengan mengakhirkan waktu salat.

Di samping itu, masih menurut Imam Suyuthi, Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik terkenal sebagai pecinta kuliner; dia bisa melahap satu ekor kambing sendirian, plus enam ekor ayam dan memakan enam puluh buah delima sebagai cemilan “cuci mulut”-nya. Namun demikian, dia seorang khalifah yang percaya diri bahkan sampai ke tingkat narsis.

Baik Imam al-Thabari maupun Imam Suyuthi sama-sama meriwayatkan kisah bagaimana Sulaiman memakai surban hijau dan becermin lalu memuji dirinya sendiri yang, menurut penilaian dia sendiri, “dalam puncak kesempurnaan dan keperkasaan seorang lelaki”. Mungkin kalau beliau saat itu sudah punya akun media sosial, isinya hanya dipenuhi foto selfie dia seorang saja. Ironisnya dia wafat seminggu setelah sikap narsisnya itu.

Bagaimana dengan kebijakan Khalifah Sulaiman? Di masa Umayyah terjadi tarik-menarik pengaruh antara dua kubu, yaitu kubu Qays dari Arab Utara dan kubu Yaman dari Arab Selatan. Pada masa Mua’wiyah, pendiri Dinasti Umayyah, kubu Qays mendapat angin segar. Pada masa Marwan, kubu Yaman mendukung dan membela Marwan, sementara kubu Qays mendukung Abdullah bin Zubair di Mekkah.

Pada masa Sulaiman bin Abdul Malik ini, angin politik yang semula berpihak kepada Qays di masa Khalifah al-Walid menjadi berubah arah. Sulaiman yang sebelumnya Gubernur di Palestina lebih condong pada kelompok Yaman. Kita menjadi paham bagaimana agama dan etnik saling berkelindan dalam politik kekhilafahan masa lalu.
Itulah sebabnya Sulaiman segera mengganti sejumlah gubernur yang berasal dari Qays dengan para tokoh Yaman. Misalnya, Utsman bin Hayyan, Gubernur Madinah yang baru menjabat kurang dari dua tahun, langsung dicopot. Utsman saat itu sedang berkhalwat di Masjid Nabawi untuk beribadah menghadapi malam ke-21 Ramadhan. Namun, sikapnya ini hanya dianggap pencitraan belaka agar terkesan alim. Maka, segera saat utusan Khalifah Sulaiman tiba di Madinah, tentara khalifah mencopot serta menyeretnya keluar dengan rantai besi.

Gubernur Mekkah, Khalid bin Abdullah al-Qasri, juga dicopot dan diganti dengan tokoh dari Yaman, Thalhah bin Dawud al-Hadrami.

Nasib lebih tragis dialami Gubernur Khurasan Qutaybah bin Muslim. Qutaybah adalah seorang jenderal ternama, bersama al-Hajjaj bin Yusuf, di masa khalifah sebelumnya yang amat besar jasanya mendukung Bani Umayyah dengan segala cara. Ketika al-Walid hendak menyingkirkan Sulaiman dari jalur suksesi, Qutaybah mengusulkan agar al-Walid memilih anaknya ketimbang mengikuti kesepakatan sebelumnya untuk mengangkat Sulaiman.

Begitu Sulaiman berhasil menjadi khalifah, Qutaybah merasa dia akan menjadi target politik pembalasan dari Khalifah Sulaiman. Begitulah nasib pejabat saat itu; tergantung dengan politik khalifah yang baru. Dari nasib baik sebagai pejabat ternama bisa berubah seketika menjadi pesakitan atau kehilangan nyawa dan segalanya dalam sekejap.

Qutaybah sadar gentingnya posisinya. Lantas dia mendahului dengan mengirim tiga surat berbeda kepada khalifah, yang isinya selain menceritakan loyalitas dan kontribusinya kepada khalifah yang lama, Qutaybah juga meminta jaminan agar posisinya sebagai Gubernur Khurasan tidak diutak-atik. Qutaybah sedikit mengancam dan siap memberontak seandainya khalifah mencopotnya.

Sebagai Jenderal Perang, Khalifah Sulaiman cukup cerdik menghadapi Qutaybah. Dia mengirim utusan kepada Qutaybah yang menjanjikan agar Qutaybah tetap menjadi Gubernur. Namun Qutaybah yang panik dan gelisah sudah tidak sabar menunggu kepastian datangnya utusan khalifah menjawab suratnya.

Qutaybah, sebagaimana dilaporkan dengan sangat rinci oleh Imam al-Thabari, mengumpulkan pasukannya dan menyatakan berontak dari Khalifah Sulaiman. Pasukannya terdiam. Qutaybah menjadi marah dan mulai nyinyir sana-sini menyasar ke kelompok tertentu dalam pasukannya.
Alih-alih mendukung Sang Jenderal yang juga seorang Gubernur, pasukannya menjadi marah. Apalagi utusan Khalifah Sulaiman tiba dan ternyata Khalifah tetap mempertahankan Qutaybah sebagai Gubernur.

Qutaybah terkejut dengan strategi politik Khalifah Sulaiman. Pasukannya sendiri semakin naik pitam. Ternyata jelas sudah bahwa yang berkhianat itu Qutaybah, bukan Khalifah Sulaiman. Akhirnya pasukannya memberontak melawan Qutaybah dan kemudian memenggal kepala sang Gubernur dan mengirimkannya kepada Khalifah Sulaiman.

Ikut dibantai oleh pasukannya sendiri adalah keluarga Qutaybah, termasuk saudara dan anaknya. Strategi Khalifah Sulaiman memecah sendiri pasukan Qutaybah dan meminjam tangan para komandan di lapangan untuk menghabisi Qutaybah. Ini namanya nabok nyilih tangan. Tumindak ala kanthi kongkonan wong liya. Melakukan perbuatan jelek dengan meminjam tangan orang lain.

Meski demikian, meminjam tangan orang lain itu bisa jelek dan bisa juga untuk tujuan yang mulia. Salah satu kelebihan Khalifah Sulaiman dalam masa 3 tahun kepemimpinannya adalah dia menjadikan Umar bin Abdul Azis sebagai tangan kanannya. Kebijakannya banyak dipengaruhi oleh Umar bin Abdul Azis.

Umar adalah putra Abdul Azis yang seharusnya menjadi khalifah menggantikan Abdul Malik. Namun Abdul Azis wafat terlebih dahulu. Dan kini anaknya ketiban wahyu keprabon.

Karena peranannya membuka jalur kekuasaan kepada Umar bin Abdul Azis inilah Imam Suyuthi memuji Khalifah Sulaiman dan menganggapnya sebagai salah satu khalifah terbaik dari kalangan Dinasti Umayyah. Bahkan Khalifah Sulaiman tidak menunjuk anaknya sebagai penggantinya, seolah memutus tradisi sebelumnya, tetapi malah menunjuk Umar bin Abdul Azis sebagai penggantinya. Bagaimana kisahnya?

Setelah 3 tahun memerintah, Khalifah Sulaiman jatuh sakit. Salah seorang penasihatnya bernama Raja’ bin Hywah terbukti berhasil mempengaruhi Khalifah untuk bertindak benar dalam urusan suksesi kepemimpinan ini. Sulaiman semula hendak menunjuk anaknya. Namun anaknya, Muhammad bin Sulaiman, saat itu berusia 12 tahun. Nah, Raja’ bin Haywah menolak ide Khalifah Sulaiman ini.

“Bagaimana dengan anakku yang lain, Dawud bin Sulaiman?” tanya Khalifah Sulaiman.
Raja’ menjawab: “Dia sedang berperang di Konstantinopel, terlalu jauh jaraknya untuk dipanggil pulang, dan kita tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah wafat.”
Lantas Raja’ bin Haywah menyarankan Khalifah Sulaiman memilih al-rajul al-shalih (lelaki yang saleh). Khalifah memahami bahwa yang dimaksud itu adalah Umar bin Abdul Azis.

“Tapi, keluargaku, keturunan Abdul Malik, tidak akan menerimanya. Karena Umar itu keturunan Abdul Azis, meski sama-sama putra Marwan bin Hakam.” Khalifah tetap galau.

Maka, langkah kompromi diambil. Sebagaimana Marwan dan Abdul Malik yang menulis dua nama pengganti mereka secara berurutan, Khalifah Sulaiman menulis dua nama, yaitu Umar bin Abdul Azis, dan setelahnya akan digantikan oleh Yazid bin Abdul Malik. Langkah ini berhasil mencegah Hisyam bin Abdul Malik, yang sangat ambisi berkuasa, untuk naik sebagai khalifah.

Namun, berbeda dengan Marwan dan Abdul Malik, surat penunjukkan kedua orang tersebut ditulis dalam surat tertutup. Keluarga Umayyah diminta berbai’at kepada nama-nama yang tercantum dalam surat yang tersegel tanpa mereka tahu siapa nama-nama itu. Dengan cara ini mereka khawatir seandainya menolak berbai’at padahal jangan-jangan nama mereka yang disebut dalam surat itu. Bahkan Sulaiman telah memerintahkan bahwa barangsiapa yang menolak, maka akan dipenggal kepalanya. Akhirnya mereka menerima dan berbai’at.

Ketika Sulaiman wafat, Raja’ bin Haywah membacakan isi surat tersebut. Ucapan yang sama namun dengan reaksi berbeda dicatat oleh Imam al-Thabari. Ketika nama Umar bin Abdul Azis dibacakan sebagai pengganti khalifah, Umar tertunduk lemas dan spontan berucap inna lilahi wa inna ilaihi raji’un.

Umar memandang ini sebagai musibah besar karena terpilih menjadi khalifah. Sementara itu, wajah Hisyam bin Abdul Malik pun tertunduk lemas dan spontan berucap inna lilahi wa inna ilaihi raji’un, sebagai ungkapan kekecewaan akibat tidak terpilih menjadi Khalifah.

Lantas, bagaimana kepemimpinan khalifah yang baru terpilih, yaitu Umar bin Abdul Azis? Mengaji sejarah politik Islam akan dilanjutkan pada kesempatan berikutnya, insya Allah! []

GEOTIMES, 21 Juli 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty of Law, Monash University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar