Asa di Hari Kemerdekaan
Oleh: Azyurmardi Azra
"Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan
samudera agar tidak menjadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa
yang kerja keras… bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian
cita.”
(Presiden Pertama RI Soekarno)
Peringatan 72 tahun kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
pekan lalu tampak lebih daripada sekadar kemeriahan rutin upacara dan acara
perayaan Agustusan di tahun-tahun silam. Keluar dari kerutinan, Presiden Joko
Widodo menampilkan perayaan 17 Agustus 2017 yang semestinya dapat memperkuat kembali
semangat kebangsaan dan kesatuan yang belakangan mencemaskan.
Dalam seputar peringatan 17 Agustus tahun ini, Presiden Jokowi
juga menciptakan peristiwa penting dan bersejarah lewat pertemuan elite politik
yang sedang dan pernah memimpin negara Indonesia. Pertemuan ini juga memberikan
isyarat rekonsiliatif yang menumbuhkan asa dan harapan bagi masa depan
Indonesia lebih maju.
Tanpa semangat kebangsaan yang kuat, kesatuan yang padu, dan asa
yang menggelora, negara-bangsa Indonesia boleh jadi tidak bisa melangkah lebih
baik. Sebaliknya, bakal membuat kian meruyaknya pesimisme, baik di dalam maupun
luar negeri.
Dalam konteks itu, pemaknaan beberapa peristiwa penting seputar
peringatan Hari Kemerdekaan 72 tahun secara kenegaraan perlu dilakukan. Dengan begitu,
warga Indonesia dapat melihat makna dan hikmah yang tersurat dan tersirat dalam
peringatan 17 Agustus kali ini.
Pertama, pakaian adat yang dipakai Presiden Jokowi dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla sampai menteri dan pejabat tinggi serta tetamu kehormatan
dari berbagai suku dan daerah. Jokowi mengenakan pakaian adat Kalimantan
Selatan, sedangkan Kalla mengenakan pakaian adat Sulawesi Selatan.
Pemakaian pakaian adat ini keluar dari pakem sebelumnya, yaitu
pakaian sipil lengkap (PSL). Biasanya pada peringatan 17-an, hanya anak-anak
sekolah yang memakai pakaian adat atau seragam tertentu. Eksotisme lebih
menonjol dari dunia kanak-kanak dan remaja yang mengenakan bermacam pakaian
adat dari beragam suku dan daerah.
Namun, tampaknya pesan yang ingin disampaikan Presiden Jokowi jauh
lebih besar dari eksotisme atau keingintahuan (curiosity) tentang keragaman
pakaian adat Nusantara. Pesan itu adalah Indonesia sangat bineka—kaya keragaman
dan kemajemukan. Kebinekaan itu—tersirat dalam pesan Presiden Jokowi—bukan
sekadar slogan atau retorik, tetapi dicontohkan dan dipraktikkan sampai ke
tingkat tertinggi di negara ini.
Tak kurang pentingnya adalah perlunya pertukaran budaya di antara
tradisi suku-suku berbeda. Pertukaran budaya jelas memperkuat saling pengertian
dan respek satu sama lain. Pada saat yang sama mengurangi prasangka dan
persepsi stereo-tipikal timbal balik yang masih bertahan di tengah menguatnya
proses ”menjadi Indonesia”.
Indonesia sangat beruntung dengan berkah keragaman. Tidak ada
negara lain di jagat raya ini yang memiliki kebinekaan seperti Indonesia—dari
Merauke sampai Sabang. Kebinekaan Indonesia jelas bukan hanya dalam hal pakaian
adat dari bermacam suku bangsa, melainkan juga dalam hal agama, sosial,
tradisi, bahasa, dan seterusnya.
Kini lewat peringatan Hari Kemerdekaan, kebinekaan ditegaskan
kembali lewat politik pengakuan (politics of recognition) yang merupakan
prinsip dasar multikulturalisme. Politik pengakuan tidak memadai hanya tertulis
dalam prinsip ”Bhinneka Tunggal Ika”. Sebaliknya juga perlu menjadikan
kebinekaan sebagai bagian integral upacara dan acara resmi—terikat dalam
keikaan atau kesatuan kerangka negara-bangsa Indonesia.
Adanya sikap saling mengakui dan menghormati keragaman juga
terlihat di antara beberapa tokoh yang berbeda kubu, pandangan, dan sikap
politik. Datang memenuhi undangan Presiden Jokowi untuk Peringatan 17 Agustus,
tiga figur yang pernah menduduki jabatan presiden. Mereka adalah presiden
ketiga, BJ Habibie; presiden kelima, Megawati Soekarnoputri; dan presiden
keenam, Susilo Bambang Yudhoyono.
Kecuali Habibie yang berhubungan baik dengan Presiden Jokowi dan
kedua mantan presiden lain, bukan rahasia lagi hubungan di antara Presiden
Jokowi dan SBY kadang-kadang terlihat ”panas-dingin”. Hubungan yang lebih dari
sekadar ”panas-dingin” cukup lama terjadi antara Megawati Soekarnoputri dan
SBY. Keduanya saling menghindar dalam berbagai kesempatan.
Kini Presiden Jokowi berhasil menghadirkan semuanya. Mereka tidak
hanya sekadar ikut upacara, tetapi juga beramah tamah dan bersalaman satu sama
lain. Publik merasa surprise sekaligus mengapresiasi ketika SBY bersalaman
dengan Megawati. Mereka tidak hanya sekadar bersalaman. Mereka juga berfoto
bersama Presiden Jokowi dan Iriana Jokowi serta Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
Mufidah Kalla.
Peristiwa ini disebut media massa sebagai ”peristiwa langka”.
Lebih dari itu, peristiwa ini dapat menjadi awal dari ”rekonsiliasi” atau
”islah” di antara para pemimpin puncak negara ini. Jelas sangat menguntungkan
bagi negara-bangsa Indonesia jika elite puncak senantiasa dapat berhubungan
baik—melintasi berbagai perbedaan di antara mereka.
Jika para elite politik bangsa ini dapat saling menghormati dan
selalu berhubungan baik, sedikit memodifikasi pernyataan Bung Karno yang
dikutip di atas, Indonesia akan menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan
menggelorakan samudra.
Dengan semangat seperti itu disertai kerja keras, warga Indonesia
dapat tidak terjerumus menjadi bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi
mencapai cita-cita kemerdekaan menjadi negara-bangsa yang maju, memiliki marwah
dan martabat tinggi, baik di dalam negeri maupun di mancanegara. []
KOMPAS, 22 Agustus 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar